x

Iklan

Heri Andreas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tiga Pertanyaan Penting Reklamasi Pantai Jakarta

Bukan tentang siapa yang lebih ‘gila’ antara Rizal dan Ahok, bukan tentang dasar hukum mana yang paling benar, bukan tentang reklamasi merusak lingkungan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apabila kita melakukan analisa mendalam, seksama, bertumpu pada data-data, sadar akan pentingnya manfaat yang paling bermanfaat, maka ada sekitar tiga pertanyaan penting yang patut dipertanyakan dan dicarikan jawabannya tentang reklamasi Pantai Jakarta.  Apakah pertanyaannya tentang siapa yang lebih ‘gila’ antara Rizal Ramli atau Ahok? Itu tidak penting.  Apakah Ahok cengeng? Itu sangat tidak penting.  Apakah Keppres Nomor 52 Tahun 1995 lebih lemah dari Perpres Nomor 122 Tahun 2012? Bukan itu yang lebih penting, karena hukum bisa banyak interpretasinya. Apakah reklamasi merusak lingkungan Pantai Jakarta? Itu tidak begitu penting juga, karena faktanya lingkungan Pantai Jakarta sudah rusak sejak belasan lebih tahun yang lalu.  Apakah Nelayan jadi lebih jauh melaut? Itu tidak penting, karena fakta dari analisis citra satelit cuma belok sedikit. Apakah ada Pulau di kepulauan seribu yang hilang akibat reklamasi? Itu juga tidak begitu penting, karena dari hasil penelitian time series citra satelit resolusi tinggi tidak terdapat bukti yang dituduhkan tersebut.  Lalu apa gerangan tiga pertanyaan yang penting tersebut?

Yang pertama, Apakah benar akan terwujud manfaat yang nyata perubahan hidup yang lebih baik bagi masyarakat wilayah pesisir Pantai Jakarta khususnya para Nelayan dari reklamasi? Gubernur DKI, Ahok pernah menyampaikan bahwa hal terbaik adalah mengawal proses pelaksanaan reklamasi di Pantai Utara Jakarta supaya dilakukan dengan benar, dan mengupayakan keuntungan yang besar bagi Pemerintah, supaya bisa jadi subsidi bagi kepentingan masyarakat seperti Nelayan. Rancangan Perda yang menginginkan kontribusi tambahan 15 % merupakan salah satu langkah yang nyata ungkapnya.  Sontak sebagian dari masyarakat ada yang memandang pesimis akan ungkapan Gubernur DKI tersebut.  Sudah banyak katanya Nelayan yang dijanjikan hal-hal seperti kompensasi dari gangguan pelaksanaan reklamasi, namun mereka bilang realisasinya belum ada.  Di sisi lain, sebagian dari masyarakat ada yang optimis akan ungkapan sang Gubernur.  Telah banyak rusun-rusun yang di bangun untuk masyarakat, dan akan dibangun lebih banyak lagi sebagai ungkapan nyata. Ahok pun telah meminta Pengembang untuk membuat rumah pompa atau pumping station, tanggul penahan ROB, dan sarana-prasarana lainnya untuk DKI Jakarta yang lebih baik, untuk penyelamatan wilayah utara Jakarta dari Banjir laut dan banjir hujan, dan lain-lain.  Kemudian DKI telah membuat aturan bahwa di Pulau reklamasi harus dibuatkan rusun atau apartemen untuk para pekerja, dan termasuk para Nelayan.  Masyarakat kecil sebenarnya sudah diperhatikan, dan tinggal menunggu waktu untuk perbaikan taraf hidupnya.  Ahok bukanlah alibaba yang dapat menyulap Jakarta untuk lebih baik dalam sehari.  Beri waktu untuk menjawabnya atau minta Sangkuriang jadi Gubernur 2017 kalau menginginkan perubahan hanya dalam 24 jam saja.

Yang kedua, dari mana air bersih untuk lahan reklamasi?  Pertanyaan ini mungkin akan menyulitkan para Pengembang dalam menjawabnya.  Faktanya untuk wilayah DKI sekarang saja kebutuhan akan air bersih baru bisa disediakan oleh Pemerintah sekitar 40 persen saja (secara catatan laporan), bahkan realitanya malah kurang dari nilai tersebut.  Kita bisa lihat bagaimana fakta yang terjadi di wilayah Kamal Muara yang harus membeli air bersih dengan harga termahal sedunia.  Fakta lainnya menunjukkan orang berlomba melakukan penyedotan air tanah sehingga menyebabkan muka air tanah turun drastis, yang lambat laun akan merusak sumber air tanah itu sendiri (kerusakan akuifer), dan juga memberikan dampak lain seperti penurunan tanah, intrusi air laut, dan lain-lain.  Apabila ditambah dengan adanya reklamasi, apa jadinya dengan masalah air bersih tersebut?  Sontak bagi orang yang kontra reklamasi pertanyaan ini akan dijadikan senjata untuk menentang reklamasi.  Bagi yang pro, tidak khawatir karena teknologi dapat menjawabnya.  Pemenuhan air dari waduk-waduk di selatan Jakarta seperti waduk Jatiluhur, waduk Krian, atau waduk lainnya dengan sistem perpipaan mungkin dapat menjawabnya.  Penyulingan air laut, penampungan air hujan, water waste cycle system mungkin akan menjawabnya.  Pembuatan Danau NCICD mungkin dapat menjawabnya. Sistem artificial recharge di area reklamasi mungkin akan menjawabnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang ketiga, Apakah reklamasi tidak akan mengganggu objek vital Nasional?  Seperti diketahui di sekitar Teluk Jakarta ada beberapa objek vital seperti PLTGU Muara Karang, PLTGU Priok, Jaringan Pipa Gas dari Anjungan Migas PHE ONWJ ke PLGTU Muara Karang, dan dari Muara Karang ke PLTGU Priok,  kemudian ada jaringan pipa gas milik Nusantara Regas, anak usaha Pertamina yang mengelola FSRU Jawa Barat.  Sejatinya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010, jika ada instalasi seperti pipa gas maka dalam jarak 500 meter baik ke kiri maupun ke kanannya tidak boleh ada objek seperti bangunan, lahan yang dikhawatirkan akan mengganggu fasilitas tersebut.  Dapat dibayangkan apabila pasokan gas melalui pipa gas PHE ONWJ ke PLTGU Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok terganggu, maka gangguan listrik sangat dimungkinkan bisa terjadi di sebagian besar DKI Jakarta bahkan sebagian Pulau Jawa.  PLTGU Muara Karang dan juga PLTGU Priok juga mengkhawatirkan gangguan dari reklamasi bagi air pendingin kondensor yang diperoleh dari air laut.  Jadi mengulang pertanyaannya, apakah reklamasi tidak akan mengganggu objek vital Nasional di sekitar Teluk Jakarta?  Tanyakan langsung ke PHE ONWJ, PLTGU Muara Karang, PLTGU Priok, dan para Pengembang, serta unsur terkait lainnya untuk jawaban pastinya.  Sebagai informasi, banyak jaringan pipa gas yang membentang kesana kesini baik di Jakarta, di Bekasi, maupun daerah lainnya, melewati depan rumah orang, pinggir jalan, pinggir sawah, pinggir sungai, dan lain-lain, sehingga penerapan koridor sesuai aturan apa daya dikata.  Kenapa juga baru pada reklamasi dipertanyakan, kenapa tidak dari Indonesia merdeka hal ini menjadi perhatian.

Heri Andreas, Pengajar dan Peneliti Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Ikuti tulisan menarik Heri Andreas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu