x

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menuju Peradilan yang Agung

Peradilan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman itu dapat dilihat atau dapat menjadi rujukan tentang bagaimana seharusnya melindungi hak rakyat dan para

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Menuju Peradilan Yang Agung”

Oleh : Anthomi Kusairi, SH., MH.*

 

Peradilan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman itu dapat dilihat atau dapat menjadi rujukan tentang bagaimana seharusnya melindungi hak rakyat dan para pencari keadilan. Dimana didalamnya meletakkan dasar-dasar fundamental bagi berlangsungnya apa itu yang disebut Independent Trial.  

Trial adalah sebuah proses untuk menguji sebuah kebenaran secara formil dimuka persidangan sebelum hakim mengambil keputusan benar atau salahnya seseorang terdakwa. Secara ideal seharusnya peradilan bisa menjadi kawah candradimuka ilmu hukum yang secara otomatis dapat menjadi yurisprudensi, pusat pembelajaran, dan kebijaksanaan merupakan gambaran utuh terhadap makna Independent Trial. Independent sendiri mengandung makna bebas dan merdeka serta berdiri diatas kaki sendiri mengandung makna prinsip moral dan sistem untuk tidak terpengaruh terhadap tekanan pihak eksternal dalam mengambil keputusan sehingga Independent Trial adalah kondisi dimana peradilan bukan sekedar proses mencari benar atau salah namun lebih dari itu, lembaga peradilan sebagai pusat kebijaksanaan, seharusnya menjelma sedemikian rupa, yang menjamin putusan memiliki citra rasa keadilan yang didasarkan pada hukum dan hati nurani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hak untuk dapat memutuskan suatu perkara secara bebas dan merdeka adalah salah satu hak yang harus dimiliki serta diakui dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (Undang- Undang Nomor 3 tahun  2009). Ini berarti bahwa suatu perlakuan yang adil, ataupun membangun sistem yang berakibat melahirkan perlakuan yang adil adalah sejajar dengan hak memberikan kebebasan. Dalam konsep ini, steak holder peradilan dalam proses pengambilan keputusan adalah para aparat hukum baik langsung maupun tidak langsung tidak boleh atau tidak dapat di intervensi dalam suatu proses peradilan baik oleh para pihak, pengacara, jaksa, polisi, pihak yang mempunyai irisan kepentingan, atau institusi atau individu yang bertindak atas nama hukum dan kekuasaan, jelas ini bertentangan dengan prinsip Independent Trial.

Prinsip Independent Trial yang terumuskan dalam norma hukum dan kepatutan, secara umum memuat tentang berbagai bentuk independensi hukum didalam dunia peradilan mulai dari pelimpahan berkas perkara, proses pemeriksaan barang bukti, saksi hingga terdakwa didepan sidang pengadilan  dan seterusnya. Rumusan aspek independensi tersebut di Indonesia diatur dalam keputusan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang kode etik dan perilaku hakim, semakin dipertegas pula dalam Visi Mahkamah Agung “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung”, yang terletak pada cetak biru pembaharuan peradilan 2010-2035.  Kedua ketentuan ini harus diuji, apakah subtansinya telah terimplementasikan secara baik sehingga dapat memberikan jaminan berlangsungnya independent trial.

Disadari benar, analisis apakah peradilan telah berjalan sebagaimana seharusnya, tidaklah dapat dilihat semata-mata hanya dari aspek prosedural hukum semata. Mengingat praktek hukum juga amatlah dipengaruhi oleh sistem dan budaya hukum yang berkembang. Tentunya ini menyangkut pula aspek-aspek diluar semata-mata ketentuan hukum acara. Penting untuk melihat hal tersebut, karena berbagai pengalaman pahit telah dialami oleh dunia peradilan, seperti contoh dibawah ini :

 

Peradilan atas

Waktu

Tuduhan (perkara)

Pelanggaran prosedur

Pelaku

PT Kapuas Tunggal Persada sebagai tergugat melawan PT Mitra Maju Sukses

30 Juni 2016

Perdata

Suap  menyuap

Pengacara

Panitera pengganti

Saipul jamil

15 Juni 2016

Perbuatan cabul

Suap  menyuap

Pengacara

Panitera pengganti

Syafri syafi’i dan Edi santoni

23 Mei 2016

Korupsi Honor Dewan Pembina RSUD Dr. Muhammad Yunus Bengkulu

Suap menyuap

Ketua Pengadilan Negeri

Hakim Ad hoc

Panitera

Kabag RSUD Dr. M Yunus

Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr. M. Yunus

Lippo Group PT. Kymco Lippo Motor Indonesia Across Asia Limited Vs PT. First Media Tbk

20 April 2016

Perkara Niaga penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan pailit

Suap menyuap

Panitera

Pihak Swasta

Ichsan Suaidi

12 Februari 2016

korupsi pekerjaan pembangunan Dermaga Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur

Suap menyuap

Pengacara

Pengusaha

Kepala Subdit Kasasi dan PK Mahkamah Agung (MA)

(Dokumentasi Roda Indonesia)

Daftar kasus diatas mungkin terlalu sempit untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai praktek peradilan yang ada. Namun realitas diatas menunjukkan betapa lembaga peradilan kini telah menjadi milik publik dan dapat diawasi kapan saja dan dimana saja oleh lembaga pengawas anti rasuah semisal KPK. Hal ini penting untuk dicatat, agar lembaga peradilan sesegera mungkin untuk cepat berubah, masih banyaknya praktek suap menyuap, ataupun mafia peradilan, merupakan pekerjaan rumah yang nyata yang harus dibenahi.  

Dari masalah tersebut jelas, ketentuan yang ada dalam cetak biru pembaharuan peradilan 2010-2035 saja tidak cukup untuk menjadi jaminan bagi berlangsungnya independent trial, akan tetapi juga terletak pada posisi lembaga peradilan dalam sistem ketatanegaraan, instrumen hukum lain yang mengintervensi proses peradilan, maupun perilaku politik negara.

 

Revitalisasi lembaga     

 

            Perdebatan posisi lembaga peradilan paska tumbangnya rezim orde baru patut disimak kembali. Perdebatan strategis tentang posisi dan kemandirian lembaga peradilan berhimpitan erat bagaimana sistem bernegara yang akan dibangun paska lengsernya Suharto. Secara lebih makro perdebatan itu diwakili oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) vs Lembaga Pemerintah, yang diwakili oleh Departemen Hukum dan HAM serta beberapa komponen Partai Politik. Ikahi wadah para Hakim menghendaki tempat yang lebih strategis dalam konsep ketatanegaraan, dengan menghendaki perubahan secara radikal atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Hal ini didasari pula oleh kesadaran politik yang berkembang dikalangan Hakim, yang telah puluhan tahun hidup terkungkung dalam pola Demokrasi Pancasila. Kesadaran pentingnya kemandirian lembaga peradilan melalui konsepsi satu atap dan terpisah dari eksekutif menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditunda.         

             Paska satu atapnya lembaga peradilan, Pemerintah dengan dukungan dari partai politik masih  menghendaki adanya perubahan atas UU No. 5 tahun 2004. Akan tetapi kehendak perubahan itu justeru di respon dingin oleh para hakim yang tidak ingin adanya intervensi kekuasaan terhadap lembaga peradilan. Pemikiran ini memperoleh pembenaran institusional, mengingat peran sentral lembaga peradilan dimana penting untuk dilihat dalam posisinya membangun stabilitas nasional dan penataan posisi partai politik dan kekuasaan paska reformasi. Perdebatan itu pun berakhir dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang menggantikan undang-undang sebelumnya. Penggantian itu hanyalah satu hal, yaitu perihal memberikan celah bagi pihak diluar peradilan mengintervensi secara tidak langsung institusi yang bermarkas di Medan Merdeka Utara. Sementara perdebatan antara Ikahi dan pemerintah harus diakhiri dengan kemenangan ditangan para pencari keadilan, para pencari keadilan adalah pihak yang paling dirugikan bila kekuatan yudikatif ikut terbelah pula.

Secara teoritis, dikatakan oleh Daniel S. Lev, dalam kurun waktu demokrasi terpimpin, negara hukum tenggelam dibawah patrimonialisme dan ideologi rezim yang radikal populis (LP3ES, 1990). Boleh dikatakan para politikus dan penguasa adalah pelaku politik yang memiliki kemampuan yang cukup untuk campur tangan mempengaruhi posisi lembaga peradilan. Dalam satu fungsi yudikatif yang cukup penting yaitu memberikan kepastian hukum dalam suatu proses peradilan, mengontrol bagaimana suatu proses penangkapan berjalan seharusnya, melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap seluruh lembaga pemasyarakatan yang ada dan seterusnya. Intervensi dari politisi dan penguasa dapat berakibat terganggunya prosedur penanganan perkara yang ada, sekaligus hilangnya kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara, menjadi preseden yang tidak baik. Hakim tidak memiliki kekuatan yang cukup misalnya mempertimbangkan untuk menolak atau menerima dalam kasus tertentu (terutama yang kental dengan nuansa kepentingan penguasa) dengan alasan untuk stabilitas politik dan keamanan dicarilah keterangan dengan cara-cara yang tidak sah, misalnya dengan tekanan dan ancaman. Ketika fungsi ini hilang, boleh dikata hakim menjadi bagian penting alat pembenaran dari mereka yang berkuasa. Maka kemudian menjadi tidak relevan hakim diharapkan mampu memutus perkara secara independen, baik itu dalam menelaah inti dari keterangan saksi, mencari kebenaran materiil, nilai serta memenuhi rasa keadilan.      

Dalam posisi demikian, posisi lembaga peradilan hanyalah menjadi alat politik belaka dan ini merupakan ancaman bagi kehidupan lembaga peradilan di Indonesia. Apa yang pernah dikatakan oleh Daniel S. Lev, bahwa hukum sedikit banyak selalu dijadikan alat politik dan bahwa tempat hukum dalam negara tergantung pada keseimbangan politik, definisi kekuasaan, evolusi ideologi politik, ekonomi, sosial dan seterusnya. Disinilah dalam proses hukum yang paling menentukan adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik,  kemudian hukum berkembang dan memperlihatkan bentuk serta dinamikanya sebagaimana maksud pembentukan hukum tersebut, bukan karena independensinya dalam bidang hukum. Tugas pokok yang sebenarnya semakin terpojokkan dan akhirnya berkembang pandangan sinis terhadap lembaga yang satu ini.

Perdebatan subtantif tentang batang tubuh UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung cenderung dikecilkan menjadi persoalan profesi hakim dan turunannya. Padahal Mahkamah Agung sebagai sebuah institusi hukum, didalamnya bukan hanya melulu bicara hakim dan profesi hakim, sebenarnya amatlah penting untuk disadari tentang keberadaan kekuatan lain yang sama dominannya, sehingga lembaga peradilan dalam tingkat tertentu merupakan cerminan bagaimana keadilan harus diletakkan baik didalam maupun diluar lembaga. Dalam posisi yang demikian tidak saja penguatan dilakukan pada profesi hakim, namun juga penting untuk diingat apakah layak profesi panitera dan panitera perlu juga untuk diperhatikan. Aspek profesi yang satu ini menjadi sangat dominan misalnya, untuk prosedural persidangan, bagaimana aktivitas dipersidangan didokumentasikan. Bukankah itu faktor penting yang menentukan terbukti – tidaknya suatu perbuatan. Bahkan banyak putusan perkara-perkara di pengadilan, yang menarik perhatian publik atau pun yang memiliki dimensi politik yang cukup kuat, teknis yudisial adalah menjadi kata kunci, bahkan banyak putusan yang sebenarnya tidak memenuhi standar dikarenakan kurang cakapnya oknum panitera.

            Perkecualian dalam beberapa kasus, misalnya  beratnya vonis politisi partai yang terlibat korupsi dan Para  Gembong Narkotika, para hakim memiliki ruang bagi pengambilan keputusan yang tepat melalui mekanisme prosedural dan pembuktian yang efektif. Hal itu terjadi, karena dalam kasus korupsi elit politik para Hakim dan para Panitera memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat, melalui berbagai opini. Ketika dominasi elit politik harus berhadapan dengan berbagai tekanan masyarakat yang cukup kuat, maka intervensi terhadap Hakim dan Panitera pun melemah, dan institusi peradilan kembali memiliki wibawa yang lebih untuk mengambil keputusan. Hal itupun menunjukkan, bahwa  perlu adanya penguatan terhadap kewibawaan hakim dan panitera, karena posisi keduanya amat mencerminkan gambaran betapa agungnya lembaga peradilan di mata masyarakat. Ketika intervensi elit politik datang, Hakim dan Panitera menjadi bagian penting bagi politik akomodasi, dengan arah  keputusan yang mengikuti arus kebijakan akomodasi. Kembali nilai independensi yang dipertaruhkan bukan hanya oknum hakim dan panitera yang dipersalahkan, akan tetapi seluruh elemen peradilan turut pula dipersalahkan karena oknum tersebut telah menggunakan kewenangan tidak sebagaimana mestinya (mungkin perkecualian dalam hal ini disematkan kepada Hakim Agung Artidjo Alkostar, dan para Hakim dan Panitera yang memiliki dedikasi).

Upaya membangun suatu sistem yang menjamin Independent Trial masih merupakan sebuah harapan. Tidak saja penting dilakukannya perubahan berbagai ketentuan perundangan, akan tetapi lebih dari itu, perlu adanya perubahan struktur lembaga peradilan, posisi dan kewibawaan lembaga peradilan. Tentunya perlu didengar apa yang pernah direkomendasikan IKAHI pada tahun 2013, perlu upaya untuk mewujudkan UU contemp of court (penghinaan terhadap peradilan) yang menjadi landasan bagi kewibawaan lembaga peradilan. Rekomendasi dari lembaga lain semisal organisasi profesi pengacara, komisi yudisial atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) perlu juga untuk dipertimbangkan demi lahirnya sebuah sistem yang akan mewujudkan sebuah badan peradilan yang agung.

Lebih penting dari itu obsesi negara hukum, dimana peradilan memiliki posisi tawar dan keagungan, amatlah tergantung kepada kepercayaan masyarakat pencari keadilan atas keberadaan Peradilan dan jaminan kepastian hukum. Karenanya Lembaga Peradilan tidak boleh menutup diri untuk terus berdiskusi, untuk membangun sebuah sistem yang menjadi marwah keagungan bagi lembaga peradilan.

 

*Advisory Board Roda Indonesia

  Ketua Komisi Hukum dan HAM PB HMI 2005 – 2007

  Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Purwakarta

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu