x

Iklan

Ahmad Yusdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa PBB Mengecam Eksekusi Mati Bandar Narkoba?

Demi melemahkan negara target, narkoba pun digunakan. Dua mata pisau, melemahkan moral bangsa sementara keuntungan bisnisnya untuk mendanai separatis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sumber gambar: dedihumas.bnn.go.id

Aksi Koordinator KontraS, Haris Azhar, mem-publish testimoni terpidana mati Freddy Budiman menghebohkan publik. Tak kurang Jaksa Agung Muhammad Prasetyo angkat bicara soal testimoni yang isinya mengklaim bahwa BNN, Polri dan TNI selama ini membantu operasi kejahatan Freddy mengedarkan narkoba di negara ini.

Menurut Prasetyo, testimoni disampaikan pada 2014, mengapa baru disampaikan sehari jelang eksekusi mati Freddy Budiman. Situasinya akan berbeda apabila testimoni Freddy diberikan jauh hari sebelum eksekusi gelombang ketiga dilakukan. Mungkin hal ini tak menghentikan eksekusi Freddy, tapi setidak-tidaknya dapat mengungkapkan kebenaran akan kasus Freddy.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selama ini, KontraS diketahui berjalan seirama dengan Polri. Pengungkapan pengakuan Freddy itu jelas ‘mengganggu’ kedekatan keduanya. Bahkan, beberapa pengamat menilai, kerenggangan KontraS dengan Polri ini akan dimanfaatkan oleh TNI untuk mendorong Revisi UU Terorisme. TNI memang sedang berupaya mengambil-alih urusan keamanan nasional dan penanganan terosrisme dari Polri.

Muncul kemudian usulan agar kewenangan TNI dalam memberantas terorisme dimasukkan dalam revisi undang-undang terorisme, didasari keberhasilan aparat TNI menembak mati buronan kasus terorisme di Poso.

Kewenangan TNI dalam menghadapi aksi terorisme dalam skala tertentu memang sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Akan tetapi, batasan peran TNI dan polisi dalam memerangi terorisme harus dijelaskan karena kedua institusi itu dibutuhkan ketika menghadapi masalah ancaman terorisme.

Konflik TNI-Polri ini pada akhirnya akan melemahkan keamanan dalam negeri, membuka celah polarisasi geopolitik global menguasai negara. Lantas, apa hubungannya bandar narkoba, konflik TNI-Polri dan polarisasi geopolitik global?

Politik Global Narkoba

Tahun 1979, kelompok komunis Sandinista di Nikaragua berhasil menjatuhkan pemerintahan diktator Somoza yang disokong Amerika Serikat (AS).  Kemenangan komunis Nikaragua adalah ancaman bagi AS dan operasi anti-komunis di Amerika Latin. Presiden AS Ronald Reagan punya pekerjaan rumah serius. Pada waktu yang sama, AS sedang menghadapi permasalahan di dalam negerinya, yakni kebangkitan kulit hitam AS yang diprakarsai James Brown dan Malcolm X.

Reagen gagal mendapatkan persetujuan dari kongres guna menjatuhkan kelompok Sandisnista dan meredam gerakan kulit hitam dalam negeri. Sementara dunia internasional dan dalam negeri menekan AS guna penyelesaian ancaman itu.

Dunia tiba-tiba dihebohkan dengan artikel seorang wartawan investigasi, Gary Webb, yang dipublikasi San Jose Mercury News (1996) yang diberi judul "Dark Alliance." Dalam artikelnya, Webb menulis, CIA mengimpor kokain dari gerilyawan Contra ke Amerika dan kemudian diberikan ke pengedar narkoba kulit hitam domestik. CIA kemudian memeras dan menjarah para pengedar kulit hitam, hasilnya digunakan untuk membiayai operasi intelijen ke sejumlah negara Amerika Latin, termasuk ke Nikaragua, menjatuhkan rezim Sandinista.

Sejarah perdagangan Narkoba di Asia Tengah juga sangat erat terkait dengan operasi-operasi rahasia CIA. Sebelum perang Sovyet-Afghanistan, produksi opium di Afghanistan dan Pakistan diarahkan untuk pasar regional kecil. Tidak ada produksi lokal heroin. (Alfred McCoy, Drug Fallout: the CIA’s Forty Year Complicity in the Narcotics Trade. The Progressive, 1 August 1997).

Studi Alfred McCoy memastikan bahwa dalam dua tahun sejak serangan operasi CIA di Afghanistan, “perbatasan Pakistan-Afghanistan menjadi produsen heroin terbesar di dunia.” Berbagai kelompok paramiliter Islam dan organisasi diciptakan. Hasil dari perdagangan obat bius Afghanistan, yang dilindungi oleh CIA, digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan terorisme.

Narkoba Mendanai GAM, RMS dan OPM

Dalam testimoninya, Freddy Budiman mengungkapkan bahwa harga beli sebutir pil ekstasinya dari pabrik di negara China hanya Rp 5000, dan dia menjualnya di pasaran Rp 200000. Bisa dibayangkan keuntungan dari bisnis haram ini.

Formula temuan Presiden Reagen sebagai solusi untuk pendanaan operasi politik dan intelijen luar negeri banyak digunakan dalam penanganan konflik geopolitik global oleh banyak negara. Sulitnya mengalokasikan dana guna mendanai pemberontakan dan separatisme di negara-negara target sebagai akibat transparansi keuangan memungkinkan menggunakan bisnis narkoba sebagai jalan keluarnya. Dua sisi mata pisau yang efektif. Mata pisau yang satu menghancurkan moral mesyarakat negara yang menjadi target, sedang mata pisau lainnya untuk menangguk dana guna membiayai separatis.

Sudah bukan rahasia umum kalau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibiayai dari penjualan ganja ke kota-kota besar di Indonesia. Narkoba yang dipasarkan dapat merusak mental dan moral generasi bangsa ini, sedangkan keuntungan dari bisnis haram ini digunakan untuk membeli senjata dan membiayai gerakan.

Hal yang sama dilakukan oleh Kerajaan Belanda membiayai gerakan Maluku Merdeka (RMS) dengan memasuk jutaan pil ekstasi ke negeri ini. Kepentingannya tidak lain adalah menguasai kilang laut di Blok Masela oleh Shell. Kita tahu, Shell merupakan perusahaan kongsi Kerajaan Belanda dan keluarga Rothschild.

Demikian juga yang dilakukan Australia dan AS dalam membiayai Organisasi Papua Merdeka (OPM), menggunakan perdagangan narkoba sebagai operasi rahasianya. Semuanya bermuara pada kepentingan geopolitik global dan penguasaan atas sumberdaya alam yang kita miliki.  

Mungkin itu sebabnya, mengapa eksekusi mati terhadap gembong narkoba Freddy Budiman mengundang kecaman tajam negara-negara yang memiliki kepentingan di atas. Bahkan, Sekjen PBB, Ban Ki Moon dan Koordinator Komisi HAM PBB, Zeid Ra’ad Al Hussein meminta Indonesia mengakhiri hukuman mati. Kecaman PBB ini disinyalir adalah tekanan dari negara-negara yang berkepentingan di atas. Menunjukan demikian kuatnya kepentingan geopolitik global di belakang bisnis narkoba dalam rangka perebutan sumberdaya alam di negara kita ini.

Sedini mungkin seharusnya kita sudah menyadarinya. Dan, semoga KontraS bukan bagian atau salah satu dari mereka.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yusdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu