x

Monumen Pancasila Sakti karya Edhi Sunarso di Lubang Buaya, Jakarta. Dok. TEMPO/Dwianto Wibowo

Iklan

Sabartain Simatupang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kejujuran Berideologi

Harus diakui, generasi muda kita selama ini disuguhkan fakta-fakta sejarah yang bias tentang pelaksanaan Ideologi Pancasila.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hal yang sangat krusial perlu direnungkan kembali pada peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-71 tahun ini adalah “komitmen dan kejujuran kita dalam berideologi Pancasila”. Setelah sekian lama kita merdeka, barulah pada tanggal 1 Juni 2016 yang lalu pemerintah menetapkannya sebagai Hari Lahirnya Pancasila.

 

Anomali terhadap Pancasila

Pada saat menyaksikan diskusi ILC TV One tanggal 17 Mei lalu, penulis terhenyak menyimak pandangan Anhar Gonggong (sejarawan senior) bahwa “Sejak merdeka sampai sekarang kita asyik bertikai terus, karena pada kenyataannya tidak ada satupun pemerintahan yang benar-benar melaksanakan Pancasila!”. Sungguh ironis memang bila hal ini secara faktual menjadi kenyataan sampai sekarang. Lalu  bagaimana sesungguhnya perlakuaan pemerintah selama ini terhadap Pancasila sebagai Ideologi Negara?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Menurut hemat penulis, pengakuan terhadap Presiden RI Pertama Ir.Soekarno (sekaligus Proklamator Kemerdekaan RI) sebagai “penggagas awal” lahirnya Pancasila sudah menjadi fakta sejarah yang tidak perlu dibantah lagi. Karena inilah jasa terbesar Bung Karno bagi bangsa Indonesia yang patut diapresiasi oleh semua anak bangsa saat ini. Fakta ini menurut keluarga Bung Karno sempat “dikaburkan” oleh pemerintahan Presiden Suharto pada masa Orde Baru. Sementara fakta lain memperlihatkan pada awal pemerintahannya, Suharto berupaya untuk meluruskan kembali “kekeliruan” perlakuan Bung Karno terhadap Pancasila dalam konsepsi “Nasakom”nya.       

Sesungguhnya realitas sejarah bernegara/berpemerintahan pada dua masa pemerintahan Presiden Sukarno dan Presiden Suharto harus diakui memang bahkan menunjukkan “anomali politik” yang sama. Di satu sisi kedua pemerintahan ini sudah melakukan komitmen dan kesetiaan yang sama terhadap Pancasila. Tetapi sayangnya di akhir masing-masing pemerintahan, keduanya berakhir tragis dengan fenomena kekuasaan yang sama-sama korup, menyimpang dan tidak jujur dalam melaksanakan Pancasila dengan benar dan konsisten.

Kalau kita saksikan kedua keluarga besar mendiang mantan Presiden RI ini sampai sekarang akhirnya “saling menuding/menyalahkan” satu sama lain. Sayangnya  keluarga Bung Karno masih saja “menaruh dendam politik” terhadap mantan Presiden Suharto.  Hal ini sebagaimana pernah disampaikan Sukmawati di forum diskusi ILC TV One tersebut, yang membicarakan “Kemungkinan Gelar Pahlawan kepada Suharto”. Di akhir diskusi melihat ironi ini muncullah pernyataan yang kritis dari Anhar Gonggong yang menegaskan “anomali” semua pemerintahan selama ini dalam memperlakukan Pancasila sebagai Ideologi Negara.

            Pengkritik dan penentang Orde Baru sampai saat ini menempatkan Suharto sebagai yang “paling keliru” memperlakukan ideologi Pancasila. Pemerintahannya dianggap “gagal” melaksanakan konsistensi ideologi negara dan kesejahteraan masyarakat,  sehingga semua kebijakan politiknya (terutama P4 dan GBHN) ditolak oleh penggagas Orde Reformasi. Tiga dekade masa kekuasaannya memang berakhir pada penyimpangan, kesenjangan ekonomi dan kerusuhan politik. Tetapi bukanlah berarti penafsiran dan penjabaran Orde Baru terhadap Pancasila menjadi ‘mubazir” untuk kita pahami secara obyektif. Keluarga Suharto dan kroninyalah yang salah menggunakan kekuasaan yang dimiliki, sehingga membuat pemerintahan Orde Baru menyimpang dari komitmen awalnya.

            Setelah Suharto lengser muncullah pemerintahan Orde Reformasi yang menggugat “penyimpangan” Orde Baru tersebut. Silih berganti pemerintahan yang berkuasa, mulai dari mantan Presiden B.J.Habibie, Abdulrachmad Wahid, Megawati sampai kepada dua periode kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semuannya menawarkan program-program kebijakan pembangunan di semua bidang yang pro-rakyat, penegakan demokrasi dan keadilan sosial. Namun pada kenyataannya di samping “keberhasilan yang positif” dari kinerjanya masing-masing, kedua mantan Presiden Megawati dan SBY sampai saat ini saling mengeritik dan mengklaim secara apriori sesuai kepentingannya.

Bila kita evaluasi secara kasat mata saja, semenjak digantikannya pemerintahan Orde Baru tampak muncul suatu ironi kecenderungan yang “kontra produktif” dengan ide awal gagasan Reformasi Total terhadap semua “penyimpangan” Suharto. Faktanya hasil pembaharuan politik dan hukum bukannya menunjukkan tendensi positif. Malahan sebaliknya muncul tendensi negatif yang menunjukkan terjadinya dekadensi moral (sosial budaya), ideologis, politik dan hukum di semua lapisan masyarakat dan lembaga tinggi negara!   

 

Kejujuran Ideologis

            Harus diakui memang sebagaimana yang disampaikan Anhar Gonggong di atas, para generasi muda kita selama ini disuguhkan fakta-fakta sejarah yang bias tentang pelaksanaan Ideologi Pancasila. Realitasnya memang praktek penyelenggaraan pemerintah sejak pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, justru memperlihatkan betapa Ideologi Pancasila hanya dijadikan “legitimasi dan komoditas politik” oleh penguasa. Akibatnya muncul sikap yang paling benar, otoriter, dogmatis dan monolog dari pemerintah yang berkuasa untuk menafsirkan Pancasila sesuai kepentingannya.

Dalam rangka untuk kembali pada pemahaman yang jujur terhadap ideologi Pancasila, sudah saatnya pemerintah dan semua lembaga tinggi negara mengkaji ulang “implementasi Pancasila dan UUD 1945 dalam pelaksanaan kehidupan bernegara dan berpolitik sejak era Reformasi”.  Semua pihak di bawah koordinasi pemerintah perlu merumuskan bersama program pengkajian mendasar terhadap sistem politik (termasuk sistem pemilu dan kepartaian yang telah dipraktekkan sejak reformasi), sistem pemerintahan (pusat dan daerah) dan sistem hukum (termasuk produk hukum dan sistem peradilannya), ditinjau dari dasar falsafah dan ideologi negara Pancasila. Jangan biarkan bentuk dan praktek bernegara saat ini semakin “kebablasan” pada kepentingan ideologis di luar Pancasila, yang mengakibatkan NKRI menjadi hancur!..

Yang dibutuhkan rakyat saat ini bukanlah hanya sekadar kebulatan tekad untuk “saling mengklaim kebenarannya mengedepankan Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa Indonesia”. Dan penetapan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahirnya Pancasila itu jangan sampai sekadar “legitimasi” bagi pemerintahan Presiden Jokowi-JK terhadap dukungan politik penuh PDI-P, koalisi awal (partai Hanura, Nasdem, PKB, PKPI) dan keluarga besar Bung Karno. Tantangan strategis berikutnya adalah semua kebijakan dan program kerja masa pemerintahan Jokowi-JK nantinya akan dievaluasi oleh setiap anak bangsa. Apakah pemerintahan yang sekarang ini berhasil menjabarkan dan melaksanakan Pancasila dengan “jujur dan sungguh-sungguh”? “Dirgahayu RI ke-71”.

 

Oleh: Sabartain Simatupang

Alumnus Magister KSKN UI dan akademisi Universitas Pertahanan, tulisan ini bersifat pribadi.

Ikuti tulisan menarik Sabartain Simatupang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu