x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berdagang Pengaruh: 100 Juta Itu Kecil

Seratus juta rupiah itu sangat kecil untuk dipertaruhkan dengan kepercayaan yang diamanahkan rakyat kepada jabatan publik apapun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Seratus juta rupiah, bagi seorang pejabat publik setara Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), semestinya ‘uang kecil’—entah jika ini sekedar uang muka. Seratus juta itu sangat kecil bila dibandingkan dengan tingginya jabatan—salah satu jabatan tinggi dalam institusi negara yang kita miliki.

Seratus juta itu sangat kecil bila dibandingkan dengan kehormatan yang melekat pada jabatan itu karena DPD merupakan representasi wakil daerah-daerah se-Indonesia, negeri yang amat luas dengan jumlah penduduk seperempat milyar orang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seratus juta itu sangat kecil bila dibandingkan dengan besarnya kepercayaan rakyat yang diamanahkan pada jabatan itu dan besarnya harapan yang ditumpukan rakyat agar Ketua DPD mampu menghela institusinya dan menginspirasi anggotanya hingga menjadi sekuat dan setara DPR.

Seratus juta itu sangat kecil bila dibandingkan dengan kepercayaan dan harapan rakyat kepada demokrasi yang sedang kita bangun. Berapa trilyun uang dihabiskan untuk menyelenggarakan berbagai pemilihan wakil rakyat dan pejabat publik serta membiayai program-program mereka. Sangat banyak.

Jadi, mengapa angka yang sangat kecil itu mesti dipertaruhkan untuk nilai-nilai yang jauh lebih besar?

Kerusakan yang ditimbulkan oleh aksi korupsi dan upeti, bila dugaan suap itu benar, sangatlah besar—terlebih lagi karena kepercayaan, harapan, kehendak, dan amanah rakyat sudah terkoyak oleh peristiwa serupa: ditangkapnya beberapa ketua umum partai politik, menteri, gubernur, bupati dan walikota, ketua Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah anggota DPR/D. Peristiwa ini berpotensi menghancurkan harapan rakyat terhadap tata kelola pemerintahan yang bersih dari korupsi dan suap, sekaligus membangkitkan sikap skeptis kepada demokrasi: “Apakah demokrasi memang menyuburkan korupsi dan suap?”

Setelah penangkapan Ketua DPD, rakyat banyak juga berujar: “Kok tidak kapok!” Contoh sudah banyak. Barangkali Ketua DPD menyangka bahwa KPK tidak akan mengendus kejadian malam itu, sementara di saat yang sama Ketua DPD mungkin lupa (atau tidak peduli) bahwa si penyuap sedang dalam status terdakwa karena menyuap (pula) seorang jaksa dalam urusan gula juga. Bahkan, sedemikian saktinya, menurut media, penyuap ini mampu menjadikan jaksa tersebut seakan-akan penasihat hukumnya, antara lain dengan menyusun pembelaan atas perkaranya.

Pimpinan DPD mengatakan bahwa kasus Ketua DPD tidak terkait dengan institusi DPD—ini urusan pribadi, kira-kira seperti itulah, tidak ada kaitan dengan fungsi dan jabatan di DPD. Memang benar, ini urusan pribadi, namun bukan berarti tidak berkaitan sama sekali. Pertanyaannya: seandainya seseorang tidak duduk sebagai Ketua DPD (ataupun jabatan publik lainnya), apakah pesan rekomendasinya berpengaruh kepada pihak lain atau diperhatikan pihak lain? Betapapun, jabatan Ketua DPD memberikan ‘aura pengaruh’ kepada pemegangnya—entah besar atau kecil pengaruh itu.

Sebagai institusi, DPD memang tidak mengemban fungsi laiknya DPR dalam berurusan dengan anggaran maupun kerja-bersama dengan kementerian maupun BUMN. Secara struktural, Ketua DPD tidak punya kekuasaan seperti yang dimiliki menteri terkait dalam memengaruhi keputusan direksi Bulog, yang mengurusi impor gula. Tapi, sebagai Ketua DPD, mungkin saja suaranya didengar—inilah asumsi yang disadari benar dan sering digunakan oleh pemegang jabatan, sehingga banyak orang sangat berminat menjadi pejabat publik; asumsi ini pula yang membuat banyak pemburu rente mendekati pejabat publik sebagai jalan pintas untuk meraih keuntungan ekonomi. Mereka yang ingin memperoleh proyek akan berlaku sok kenal sok dekat dengan pejabat publik.

Umumnya pula, mereka yang melakukan barter pengaruh dengan uang adalah orang-orang yang sudah relatif kaya. Kekayaan mereka sudah mencapai puluhan milyar rupiah. Apa lagi yang mereka cari dengan korupsi dan upeti? Apakah karena selalu melihat ke atas—mereka yang hartanya mencapai trilyunan? Pertanyaan lain: apabila ini benar kasus suap, apakah ini fenomena gunung es, yang puncaknya sudah mencuat ke permukaan laut? (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

10 jam lalu

Terpopuler