x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Relasi Kuasa di Balik Cium Tangan

Di balik ciuman tangan pejabat publik tecermin relasi kuasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Mencium tangan orang yang lebih tua telah menjadi tradisi dalam masyarakat kita. Saat bertemu orang tua, paman, bibi, atau kakek dan nenek serta guru, kita mencium punggung tangan mereka sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih sepuh. Mereka telah melahirkan kita, membesarkan kita, mendidik kita, menyayangi kita. Lazim dan wajar belaka bila kita mencium punggung tangan mereka saat bertemu.

Tapi sebagian kita mungkin bertanya-tanya ketika menyaksikan pejabat publik mencium tangan pejabat publik lain—sesama menteri, bahkan ketua partai politik. Beberapa waktu lalu, seorang menteri mencium tangan menteri lain yang bahkan lebih muda usianya. Lain waktu, seorang pejabat publik mencium tangan ketua partai politik dengan takzim. Beberapa tahun lalu, seorang perwira tinggi mencium tangan presiden setelah dilantik untuk suatu jabatan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya lantas teringat kepada momen ketika keluarga mafioso mencium tangan Don Corleone dalam kisah The Godfather karya Mario Puzo. Don Corleone adalah penguasa tertinggi dunia-di-balik-layar yang sepanjang ia masih berkuasa, bos-bos yang lebih kecil mesti tunduk kepadanya—pengakuan akan kekuasaan Don Corleone ditunjukkan dengan mencium punggung tangannya.

Apakah relasi serupa juga berlaku di sini, saat pejabat publik mencium tangan orang lain—yang (bukan) kebetulan juga sama-sama pejabat publik atau ketua partai politik berpengaruh atau presiden sekalipun? Kelirukah bila mencium tangan tersebut ditafsirkan sebagai manifestasi dari relasi kuasa patron-klien—bukan mencium tangan sebagai cara menghormati orang tua? Sebab, yang seorang demikian berpengaruh, dan yang seorang lagi bergantung kepadanya.

Jangan remehkan isyarat yang dikirim oleh gestur ketika peristiwa itu terjadi—alangkah sumringahnya wajah si pemilik tangan (barangkali ia merasa sebagai ‘king maker’); tak terlihat keinginan untuk segera menarik tangan itu. Sayangnya, figur yang dicium punggung tangannya bukanlah ratu yang merepresentasikan negara seperti di Inggris, sebab peristiwa itu terjadi di negeri ini, di sebuah republik yang berusaha keras menghalau sisa-sisa feodalisme yang merugikan perkembangan masyarakatnya.

Adegan mencium punggung tangan oleh pejabat publik menyiratkan bahwa yang mencium memiliki ketergantungan, meminta dukungan dan restu dari yang dicium, atau sekurang-kurangnya mengungkapkan rasa berterima kasih. Mencium tangan adalah pengakuan terhadap kuasa yang lebih tinggi, yang kepadanya ia bergantung. Mencium tangan adalah pengakuan terhadap kuasa yang memberinya restu, dukungan, bahkan yang menentukan nasibnya.

Sosok yang dicium tangannya terlihat menikmati momen itu—ia tidak mencoba menarik tangannya, atau menahannya agar tetap terbatas berjabat tangan yang menandakan kesetaraan relasi. Sayangnya, mereka—yang mencium dan dicium punggung tangannya—tidak menempatkan diri sebagai pejabat publik yang tengah berada dalam lingkungan formal kenegaraan. Ciuman punggung tangan itu menyiratkan relasi kuasa di antara mereka. (Foto: murid mencium tangan guru; tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

17 jam lalu

Terpopuler