x

Monumen Pancasila Sakti karya Edhi Sunarso di Lubang Buaya, Jakarta. Dok. TEMPO/Dwianto Wibowo

Iklan

Sabartain Simatupang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Revitalisasi Pancasila

Faktanya, di masa Reformasi saat ini marak terjadi indikasi reradikalisasi (terorisme), liberalisasi, dekadensi moral dan rasa kebangsaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam memperingati hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober kali ini muncul sindiran sebagian masyarakat. Mereka menuding kebenaran “kesaktian” Pancasila selama ini hanya sebagai “indoktrinisasi politik” Orde Baru. Dalam menyikapinya pemerintahan sekarang dihadapkan pada pertanyaan kritis. Bagaimana sebaiknya memperlakukan Pancasila sebagai ideologi negara?

Faktanya di masa Reformasi saat ini semakin marak terjadi indikasi reradikalisasi (terorisme), liberalisasi, dekadensi moral dan rasa kebangsaan di kalangan generasi muda pada beberapa tahun terakhir. Dalam konteks ini tawaran program Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang diinisiasi oleh Menhan Ryamizard Ryacudu semakin menemukan relevansinya. Salah satu nilai dasar yang sangat fundamental dalam konsepsi Bela Negara tersebut adalah “yakin terhadap Pancasila sebagai ideologi Negara”.

 

Ironi Orde Reformasi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semenjak lengsernya mantan Presiden Suharto pada tahun 1998 (berarti berakhirnya pemerintahan Orde Baru), tampak muncul suatu ironi kecenderungan yang kontra produktif dengan ide awal gagasan Reformasi Total pemerintahan baru. Pemerintahan Orde Baru yang tadinya dianggap gagal mempertahankan eksistensi ideologi negara dan kesejahteraan masyarakat, akhirnya semua kebijakan politiknya (termasuk PKBN) ditolak oleh penggagas Orde Reformasi.

Ironisnya setelah 18 tahun Orde Reformasi sudah berjalan, faktanya pembaharuan (reformasi) politik dan hukum bukannya menunjukkan tendensi positif dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Malahan sebaliknya muncul tendensi negatif yang menunjukkan terjadinya dekadensi moral (sosial budaya), ideologis, politik dan hukum di kalangan masyarakat luas, khususnya generasi muda. Hal ini bisa diamati dengan semakin masifnya pelibatan generasi muda di berbagai kasus narkoba, korupsi, terorisme, kriminalitas, dan tindak pidana kekerasan lainnya.   

Bila kita memetakan secara ideologis kecenderungan pola pikir dan sikap masyarakat saat ini, maka ada beberapa ancaman yang semakin intensif terjadi. Pertama, ancaman reradikalisasi nilai-nilai dasar keagamaan di kalangan generasi muda khususnya mahasiswa (lihat berbagai hasil penelitian yang dilakukan LIPI, UI, Balitbangdiklat Kemenag). Fenomena ini jelas sangat dikuatirkan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku generasi penerus terutama anak-anak dan remaja (tingkat pendidikan dasar, menengah dan atas).

Indikasi fenomena dan keterpengaruhan ini antara lain dapat dilihat dari berbagai fakta keterlibatan beberapa mantan aktifis keagamaan kampus menjadi pelaku teror dan relawan pengikut ISIS (terakhir kasus ditangkapnya mahasiswa Indonesia di Turki), munculnya sikap intoleran dan tawuran antar mahasiswa dan pelajar, aksi teror oknum pelajar terhadap rumah ibadah, memudarnya kesadaran ideologis Pancasila di kalangan anak sekolah dan artis muda, kurangnya minat mahasiswa/pelajar terhadap aktifitas yang bertemakan nasionalisme/patriotisme, dan sebagainya.

Kedua, ancaman neo-liberalisme yang bertumpu pada individualisme dan materialisme, sebagai anti tesa bagi deideologisasi Pancasila di kalangan masyarakat. Pesatnya kemajuan Ilpengtek (modernisasi), selain dapat berdampak positif, dikuatirkan berimplikasi negatif bagi kalangan generasi muda. Indikasi maraknya dekadensi moral (kasus korupsi, penyalahgunaan narkoba, pornografi) sebagai akibat (side efect) dari kemajuan teknologi informatika di kalangan pemimpin politik saat ini, ternyata secara psikologis dapat berakibat fatal dan menyimpang bagi alam pikir dan sikap generasi muda.

Ketiga, meskipun hal ini dianggap “debatable” di kalangan penolak rezim Suharto, sadar tidak sadar kecenderungan kembalinya pengaruh faham (reideologisasi) Komunsime bisa saja terjadi pada situasi kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Sebagai alternatif bagi efek negatif dari dampak penguruh Neo-liberalisme, kemunculan pengaruh faham tersebut mendapat tempat di kelompok masyarakat tertentu.

 

Upaya Revitalisasi

Konsepsi Bela Negara yang dianut oleh Indonesia secara mendasar mengacu kepada konstitusi NKRI (UUD 1945). Dalam konstitusi ini disebutkan bahwa semangat dan upaya Bela Negara merupakan hal yang vital (hak dan kewajiban) bagi semua warga negara Indonesia (Pasal 27 ayat 3 UUD 1945). Konsepsi Bela Negara ini secara substansial mengandung 5 (lima) nilai dasar, yaitu Cinta Tanah Air, Sadar Berbangsa dan Bernegara, Yakin Pancasila sebagai Ideoologi Negara, Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara, dan Memiliki Kemampuan Awal Bela Negara.

Dalam rangka untuk mensosialisasikan kembali PKBN ini, perlu dilakukan revitalisasi terhadap konsepsi Bela Negara. Agar tidak terkesan dogmatis atau doktriner, konsepsi Bela Negara ini sebaiknya diformulasikan kembali, relevan dengan kemungkinan ancaman dan tantangan ideologis saat ini. Salah satu upaya revitalisasi konsepsi Bela Negara ini adalah bagaimana pemahaman terhadap Pancasila sebagai ideologi Negara relevan dengan dinamika ancaman nyata saat ini. Beberapa dinamika ancaman ideologis yang mengemuka telah diuraikan secara gamblang di atas.

Untuk merevitalisasi konsepsi Bela Negara khususnya nilai Keyakinan Pancasila sebagai ideologi negara, dapat ditempuh beberapa langkah strategis berikut ini. Pertama, Presiden dan semua lembaga tinggi pemerintahan lainnya perlu segera untuk merumuskan payung hukum yang tepat bagi penyadaran kembali pentingnya Ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya ini juga selaras dengan wacana untuk kembali memunculkan konsepsi semacam pedoman haluan negara (GBHN) yang sesuai dengan Sistem Hukum Ketatanegaran dan Konsitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945). 

Kedua,   semua kementerian perlu merumuskan kembali program pembinaan kesadaran Ideologi Pancasila sesuai dengan lingkup kewenangan, tugas dan tanggungjawabnya masing-masing. Perumusan ini dapat dilakukan oleh Badiklat dan Balitbang yang ada di tiap kementerian, tentunya secara fungsional di bawah koordinasi setiap kemenkonya, sehingga dapat diselaraskan kepada penjabaran kebijakan dan program kerja pemerintahan.   

Ketiga, semua pemangku kepentingan dalam pendidikan nasional di Indonesia sudah saatnya untuk merumuskan kembali penguatan materi Ideologi Pancasila dalam kurikulum pembelajaran di setiap tingkat pendidikan. Perumusan ini harus disesuaikan kepada ancaman dan tantangan ideologis yang benar-benar rentan pada kondisi kemajemukan (pluralisme) masyarakat Indonesia.

 

Sabartain Simatupang*

*Penulis adalah akademisi Universitas Pertahanan dan Alumnus Magister KSKN UI

Ikuti tulisan menarik Sabartain Simatupang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu