x

program-kantongplastik

Iklan

Haryo Kuncoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membingkai Cukai Plastik

pemerintah dalam RAPBN-P 2017 mengusulkan kemasan plastik sebagai barang kena cukai (BKC) baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di tengah potensi kekurangan penerimaan perpajakan, pemerintah berupaya mencari sumber pemasukan lain. Pendapatan dari pos cukai, misalnya, hingga akhir September tercatat hanya Rp76,26 triliun lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 73 triliun.

Rendahnya kontribusi cukai terkait dengan strukturnya yang masih bertumpu pada tiga komoditas, tembakau, minuman beralkohol, dan etil alkohol. Sebagai komparasi, negara-negara lain sudah menetapkan objek cukai hingga 20 jenis macam barang.

Mengantisipasi kecenderungan ini akan terjadi lagi di tahun depan, pemerintah dalam RAPBN-P 2017 mengusulkan kemasan plastik sebagai barang kena cukai (BKC) baru. Target yang dibidik dari kebijakan ini adalah sebagai sumber pemasukan baru sekaligus menekan perilaku konsumsi plastik.

Konsumsi plastik nasional dinilai sudah mengkhawatirkan, menembus 3,2 juta ton dari 3 juta ton per tahun pada 2015. Uniknya, akselerasi konsumsi plastik yang mencapai 7% justru lebih kencang daripada laju pertumbuhan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rencananya, cukai plastik akan dikenakan bertahap. Tahap awal yang disasar adalah kemasan plastik atau kresek. Besaran cukai lebih rendah dari Rp 200 per buah mengadopsi kantong plastik berbayar yang diberlakukan sejak 21 Februari. Perkiraan pemasukan cukai plastik setidaknya mencapai Rp 1,6 triliun.

Dalam perspektif teoretis, fenomena di atas memperlihatkan pertentangan konseptual antara tujuan menggenjot penerimaan negara dengan target pengendalian konsumsi plastik. Patut dicatat sumber penerimaan negara yang utama adalah pajak, alih-alih penerimaan nonpajak (di dalamnya termasuk cukai).

UUNo. 39/2007 menyebutkan cukai dikenakan pada barang-barang tertentu yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan atau pemakaiannya. Prinsip cukai adalah pengendalian dan pencegahan.

Atas dasar kedua definisi di atas, pajak dan cukai memiliki fungsi yang berbeda sehingga sulit dipersatukan. Bahwa dengan penerapan cukai, negara memperoleh penerimaan itu semu lantaran pemasukan cukai harus dikembalikan lagi padahal-hal yang terkait erat dengan BKC.

Pemungutan cukai plastik flat, taruhlah sebesar Rp 200, memberikan implikasi tersendiri pada efektivitasnya. Mengikuti pemahaman di atas, pungutan yang sama rata untuk semua jenis barang sesungguhnya lebih memenuhi prinsip sebagai pajak daripada cukai.

Per definisi, cukai adalah charge. Hal ini berakibat langsung tarif cukai semestinya ditetapkan atas dasar besaran efek yang ditimbulkan. Konsekuensinya, spesifikasi plastik berdampak negatif lebih besar bagi lingkungan dipatok tarif cukai yang lebih tinggi demi memenuhi aspek keadilan dan keseimbangan.

Pengenaantarifyang seragamimplisit menafikankemasan plastikproduksibaru ataudaurulang. Artinya, pemerintahbisamemungutcukaiberkali-kali atasfisikplastik yang sama. Alhasil, tarifflattidakmemilikidayaconditioningkepadaprodusenuntukmengurangipenggunaankemasan plastik.

Pengurangan penggunaan kemasan plastik sejatinya masih bisa dilakukan dengan pemanfaatan bahan substitusinya. Pertanyaan besarnya adalah apakah produk substitusinya secara sempurna mampu menggantikan peran kemasan plastik.

Saat bahan substitusinya inferior terhadap kemasan plastik, surplus yang dinikmati konsumen niscaya berkurang. Ketika barang substitusi yang sempurna tidak ada, pungutan cukai menghadirkan dead weight loss, yaitu nilai ekonomi yang hilang dari pengurangan konsumsi plastik tak sebanding dengan pungutan finansial yang diraup pemerintah.

Apapun siasatnya, pungutan cukai niscaya akan digeserkan pada konsumen dalam bentuk kenaikan harga jual. Produk makanan, minuman, dan kosmetik adalah pengguna intensif kemasan plastik. Kajian LPEM Universitas Indonesia melaporkan apabila harga minuman naik 1% maka akan terjadi penurunan kuantitas yang diminta sebesar 1,7%.

Angka tersebut mengindikasikan pemungutan cukai akan memberatkan konsumen. Konsumen tentu mengurangi pembelian ketiga komoditas tersebut kemudian beralih pada alternatif produk sejenis. Jangka panjangnya, pungutan cukai berpotensi menghambat perkembangan industri terkait.

Ironisnya lagi, sistem target masih berlaku di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dalam upaya untuk mengejar target penerimaan setiap tahunnya, DJBC dihadapkan pada opsi menaikkan tarif cukai dan/atau kuantitas BKC.

Di satu sisi, kemungkinan tarif cukai untuk naik selalu terbuka. Di sisi lain, dengan asumsi tarif cukai tidak berubah, masifnya penggunaan kemasan plastik seolah ‘diidamkan’ agar target DJBC tercapai. Alhasil, kepentingan fiskal mengalahkan pertimbangan kelestarian ekosistem.

Dengan konfigurasi problematika semacam ini, cara pandang terhadap kemasan plastik dengan segala dampak negatif dan kemanfaatannya hendaknya dibingkai dalam cakrawala yang komprehensif. Apabila cukai mengandung spirit ‘denda’, pendekatan ‘hadiah’ potensial bisa lebih efektif.

Konkretnya, produsenyang berhasil merekayasa kemasan lain yang lebih ramah lingkungan mutlak diberi insentif. Atas nama keadilan, produsen terpacu untuk berinovasi tanpa merugikan kepentingan konsumen.

 

Haryo Kuncoro

Dosen Keuangan Negara Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs-UGM Yogyakarta

Ikuti tulisan menarik Haryo Kuncoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu