x

Iklan

Antonius Galih Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tuntaskan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Pemerintah terkesan enggan menyelesaikan kasus HAM karena memiliki beberapa kekhawatiran, padahal sesungguhnya ini saat yang paling tepat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prospek penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu agaknya tak kunjung menampakkan titik cerah. Kontroversi mengenai hilangnya dokumen asli Tim Pencari Fakta kasus meninggalnya Munir menjadi simtom dari proposisi tersebut.

Sungguh aneh ketika dokumen resmi sepenting itu tiba-tiba hilang. Alih-alih berusaha menemukannya, pemerintah justru mengajukan banding atas putusan Komisi Informasi Pusat. Langkah antiklimaks ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam mewujudkan janjinya untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu sebagaimana tertuang dalam Nawacita. 

Jika untuk kasus yang terbilang masih segar pun prospek penyelesaiannya suram, kita dapat menebak bagaimana nasib kasus lainnya. Padahal selain kasus meninggalnya Munir, masih banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menumpuk dan belum diselesaikan seperti kasus pembunuhan massal 1965, peristiwa Talang Sari, pembunuhan misterius, penculikan aktivis 1997-1998, dan Tragedi Mei 1998.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa pemerintah enggan menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM? Kita dapat mengidentifikasi beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, pemerintah khawatir bahwa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menimbulkan kegaduhan politik. Beberapa kasus tak dapat dipungkiri mengandung dimensi politik yang kuat dengan banyak kekuatan politik yang sebagiannya masih bercokol hingga saat ini. Mengorek kembali persitiwa tersebut, dengan konsekuensi membawa kekuatan politik tersebut kepada meja hijau, akan menimbulkan resistensi dan berujung pada kegaduhan.

Kedua, kegaduhan tersebut akan menimbulkan instabilitas yang mengganggu upaya pembangunan. Kita tahu bahwa pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya melaksanakan pembangunan infrastruktur dan berbagai kebijakan reformasi regulasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Syarat utama dari pembangunan yang mulus adalah stabilitas politik. Manakala terjadi kegaduhan politik, akan timbul berbagai efek negatif bagi kerja besar pembangunan tersebut.

Alasan ketiga adalah bahwa pemerintah sendiri tampaknya sadar mengena tabiat masyarakat di negeri ini yang mudah lupa. Peristiwa sejarah kelam datang silih berganti tanpa pernah diselesaikan untuk kemudian dilupakan dan hanya dituntut oleh segelintir aktivis. Kesadaran kritis mengenai pentingnya HAM belum menyentuh masyarakat luas. Jika dengan mendiamkannya pemerintah tidak dikritik secara keras dan meluas, maka untuk apa berbuat sesuatu, demikian kira-kira nalar pemerintah.

Bagaimana pun, semua alasan yang dikemukakan di atas sesungguhnya hanyalah stereotipe yang menyesatkan. Meskipun bukan tidak mengandung risiko, menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu justru akan memberikan berbagai manfaat yang lebih besar dalam perspektif kebangsaan. Pertama, penyelesaian secara berkeadilan akan memutus prasangka historis dan lingkaran dendam yang telah berurat akar. Dalam upaya penyelesaian ada kebenaran yang ditegakkan. Di hadapan kebenaran, berbagai prasangka yang selama ini merebak dapat mencair dan diklarifikasi. Rantai dendam juga akan terputus karena dalam penyelesaian ada janji untuk memaafkan tanpa harus melupakan. Ini pada akhirnya akan memperkuat integrasi bangsa. 

 

Kedua, masyarakat akan mendapatkan pembelajaran sejarah yang berharga. Apa yang telah berlalu memang patut disesali, namun peristiwa tersebut dapat diambil hikmahnya agar kita sebagai bangsa tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dalam hal ini maka semua fakta harus dibeberkan seutuhnya. Sejarah adalah guru yang paling berharga jika ceritanya tidak dimanipulasi dan kita pandai merefleksikannya.

Alasan ketiga sekaligus yang paling penting adalah bahwa penyelesaian pelanggaran HAM menjadi tanda yang jelas bahwa kita telah menjadi bangsa yang sungguh beradab dan demokratis. Komitmen sebagai negara demokrasi mensyaratkan penerimaan tanpa syarat akan prinsip HAM di samping prinsip-prinsip pokok lainnya seperti kesetaraan, keadilan, dan inklusivitas. Adalah mustahil suatu negara dikatakan demokratis jika masih mempunyai hutang sejarah berupa tumpukan pelanggaran HAM yang dibiarkan tanpa penyelesaian.

Sesungguhnya, momen terbaik untuk menyelesaikan pelanggaran HAM datang pada saat ini. Presiden Joko Widodo adalah sosok yang tidak terkait dengan konstelasi politik masa lalu sehingga dia mestinya berani untuk secara serius menyelesaikannya. Dukungan harus diberikan oleh seluruh elemen masyarakat agar Presiden berani berbuat tegas. Adapun mengenai cara penyelesaiannya, hal itu sangat bergantung pada karakter dari kasusnya dan tidak bisa digeneralisasi.  

Sumber foto: http://3.bp.blogspot.com/-K59VflirUMs/T3qBKaIRxTI/AAAAAAAAAN4/11l9aLzDjJQ/s1600/kamisan.jpg

Ikuti tulisan menarik Antonius Galih Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu