x

Pelajar mengumpulkan buku pelajaran dari bangunan sekolahnya yang telah dibersihkan oleh relawan yang ambruk akibat gempa di SD Negeri Tampui, Pidie Jaya, Aceh, 17 Desember 2016. ANTARA FOTO

Iklan

Admiral Musa Julius

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Masyarakat Tangguh Gempabumi dan Tsunami

Ilmuwan tidak diam untuk melatih kesadaran masyarakat terhadap gempa bumi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tangis kembali terjadi di tanah rencong, tepatnya di kabupaten Pidie Jaya dan lagi-lagi akibat bencana alam gempa bumi. Gempa bumi tersebut mengingatkan kita pada gempa bumi dahsyat yang membangkitkan tsunami pada waktu hampir bersamaan di akhir tahun 2004 yang kita peringati pada saat ini. Beruntung gempabumi akhir tahun 2016 ini tidak berpotensi tsunami karena berpusat di darat sehingga korban yang berjatuhan jauh lebih sedikit daripada tsunami Aceh 2004. Masih banyaknya korban jiwa dan harta pasca gempabumi membuat masyarakat pesimis dengan masa depan ketangguhan masyarakat terhadap bencana gempabumi. Ilmuwan dan pemerintah seakan belum sungguh belajar mitigasi gempabumi yang efektif supaya masyarakat merasa aman dan tenang. 

Ilmuwan tidak diam, berbagai kajian telah diujicoba untuk melatih kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fenomena gempabumi dan tsunami. Tsunami Aceh 2004 menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk meningkatkan performa infrastruktur dan teknologi, serta yang terpenting adalah mengubah mental masyarakat. Kita harus merubah harapan dari 'semoga tidak lagi terjadi gempabumi' menjadi 'semoga masyarakat semakin tangguh gempabumi'. Layaknya hujan, gempabumi tidak dapat dihindari karena pasti, harus dan selalu terjadi setiap saat. Namun tidak semudah mitigasi banjir, gempa belum dapat diprediksi.

Forum Pengurangan Risiko Bencana Dunia (UNISDR) menyebutkan bahwa 95 persen kesuksesan penyelamatan saat bencana alam ditentukan oleh komunikasi. Kita bersyukur pelayanan masyarakat dalam rangka pengurangan risiko bencana telah cukup dirasakan. Sistem Peringatan Dini Tsunami kini tidak hanya sekedar informasi cepat untuk evakuasi, namun juga melatih masyarakat rentan agar memahami informasi gempabumi dan rantai peringatan dini tsunami. Pelatihan tersebut dinamakan Gladi Ruang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami yang diadakan secara rutin tiap bulan oleh BMKG. Pelatihan tersebut diharapkan mampu mengubah mental masyarakat dari sikap acuh menjadi peduli kepada bencana gempabumi dan tsunami. Upaya pelatihan tersebut sejalan dengan gagasan Prof. Agus Supangat dari Tim Kajian Ekonomi Maritim Dewan Pertimbangan Presiden yang menyarankan agar institusi pemerintah  dapat mengupayakan koordinasi yang tertata dalam penanganan Loss and Damage (LD) metode risk assessment dengan melakukan 4A (Amati, Analisa, Ajarkan, Aksi), serta memanfaatkan South-south cooperation dalam early warning system, risk management strategy dan insurance facilities.

Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Kita harus sepakat bahwa dalam pengurangan risiko bencana perlu kerjasama antar lembaga yaitu pemerintah, non-pemerintah, perguruan tinggi dan media. Kerjasama ini adalah modal sosial yang harus dimanfaatkan semaksimal dan sedini mungkin untuk membangun mental masyarakat. Kusumawardhani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa modal sosial menjadi modal terpendam yang harus diasah dalam pengurangan risiko bencana. Modal sosial yang dapat dikuatkan diantaranya peningkatan kapasitas kerjasama komunitas tingkat desa berupa tradisi penghijauan untuk menghindari longsor dan banjir. Begitu juga Anny Isgiati dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengajak pemerintah dan peneliti bekerjasama kuat dalam menentukan kebijakan berbasis kajian ilmiah sebab kebijakan terkait penanggulangan bencana akan mendukung nawacita Presiden RI yakni pelestarian lingkungan dan pengurangan risiko bencana. Ditambah lagi Milly Mildawati dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) menekankan bahwa bilamana pemerintah tidak dapat ‘memindahkan’, atau warga tidak dapat ‘dipindahkan’, maka warga harus ‘disiapkan’ atau menjadi tangguh bencana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Belajar dari Tata Kota Padang                                       

Tata kelola risiko bencana di kota Padang patut mendapat apresiasi. Walikota Padang membentuk program prioritas pembangunan yang di dalamnya terdapat Pengelolaan Risiko Bencana dengan  mencontoh provinsi Chengdu di China yang sudah berpengalaman dalam menangani risiko bencana. Infrastruktur di kota Padang telah ditata agar mampu memberi edukasi kepada masyarakat terhadap gempabumi. Masyarakat Padang kini juga telah mengenal sumber gempabumi dan tsunami di wilayahnya, memahami daerah terancam dan antusias belajar prosedur evakuasi saat darurat.

Program ini sejalan dengan kajian Harkunti Rahayu dari Institut Teknologi Bandung (ITB) terkait kebijakan pembangunan berorientasi pada masyarakat yang terintegrasi dengan tata kelola risiko bencana. Harkunti Rahayu menyatakan isu strategis penataan ruang perlu menjadi perhatian dalam pengurangan risiko bencana seperti  infrastruktur yang kurang memadai dan pergeseran pola pikir dari disaster management menjadi disaster reduction. Begitu juga Beta Paramita dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam kajiannya terkait perspektif penataan ruang berbasis mitigasi bencana alam menekankan pentingnya data bencana yang lengkap dan prakiraan risiko untuk pembangunan.

Kita boleh meniru Jepang yang telah menerapkan kurikulum antisipasi bencana sejak Taman Kanak-kanak sehingga masyarakatnya telah menjadi tangguh bencana saat usia dewasa. Namun tidak ada kata telat, marilah kita belajar dari masa lalu, melihat sekitar, berpegangan tangan dan melangkah cermat, serta hilangkan ego sektoral dalam rangka pengurangan risiko bencana.

Ikuti tulisan menarik Admiral Musa Julius lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler