x

Iklan

Agus Priyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Presidential Threshold: Cara Oligarkhi Lemahkan Presiden

Presidensial Treshold di Pemilu Serentak 2019 adalah cara Oligarkhi Mempertahankan Politik Transaksional & Memperlemah Sistem Presidensial dalam UUD 1945

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam tenggat waktu yang pendek, pemerintah dan DPR sedang membahas RUU Pemilu 2019 sebagai tindak lanjut atas keputusan MK yang mengamanatkan Pemilu 2019 diselenggarakan secara serentak. Namun, dalam tenggat waktu RUU Pemilu 2019 harus diputuskan di April 2017 ini, oleh sebagian besar suara parpol di DPR malah dipakai untuk berkutat pada besaran Presidential Threshold yang tak lebih dari kepentingan sempit elit pimpinan parpol yang terus mengalami kehilangan legitimasi di tengah rakyat.

Jamak diketahui bahwa perkembangan demokrasi di negeri ini paska 1998 justru mengarah kepada pemusatan kekuatan pada segelintir orang dengan kekayaan yang melimpah. Sistem pemilu yang diharapkan membuka jalan bagi terwujudnya pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, justru sebaliknya menghasilkan pemusatan kekayaan 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Sehingga tak mengherankan jika tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik dan DPR terus menurun dari waktu ke waktu.

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam pemilu 2009 dan 2014, calon presiden yang sebelumnya diusung oleh parpol saat pileg tidak dapat diusung oleh koalisi parpol di pilpres karena pragmatisme politik yang lebih dipengaruhi oleh kebutuhan pemenuhan biaya politik tinggi. Situasi demikian, membuat siapa yang memiliki modal besar  dapat menggusur calon berkualitas dan tak punya modal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi demikian, menurut Jeffry A Winters disebut sebagai Oligarkhi, yaitu pemerintahan oleh sekumpulan elit politik yang memiliki basis kekayaan meterial. Hal senada sesungguhnya juga telah diungkapkan dalam landasan gugatan terhadap UU nomor 42 2008 tentang Pilpres di MK yang dilakukan oleh Effendi Gazali.

Dalam gugatan yang akhirnya dikabulkan oleh MK tersebut (baca: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013), Effendi Gazali menyebutkan bahwa politik transaksional terjadi dalam proses pengajuan capres-cawapres karena ketentuan Presidential Threshold. Melalui penerapan Presidential Threshold, pengajuan capres-cawapres lebih banyak dipengaruhi oleh negoisasi politik jangka pendek dan pragmatis, sehingga menegasikan kebutuhan konsolidasi parpol berbasis persamaan ideologi dan kepentingan strategis. Dengan demikian, usaha untuk menciptakan penyederhanaan parpol secara alamiah dan demokratis sangat terbuka dilakukan ketika Presidential Threshold dihapuskan.

Membaca berbagai argumentasi yang dikemukan oleh parpol di DPR yang menginginkan Presidential Threshold sebagai cara untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan stabil, sesungguhnya adalah alasan yang ‘klenik’. Demikian menurut pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin, ketika menyampaikan pendapatnya sebagai saksi ahli dalam gugatan Effendi Gazali di MK. Fakta bahwa Pemerintahan SBY yang didukung oleh 2/3 anggota DPR hasil Pemilu 2009, ternyata tidak memberi jaminan pemerintahannya tenang dalam menghadapi parpol pendukungnya di DPR. Pun demikian dengan Pemerintahan Jokowi yang tidak memperoleh dukungan 50% kursi di DPR pada awal pemerintahannya, tapi pemerintahan Jokowi tetap dapat berjalan.

Alasan bahwa Presidential Threshold adalah untuk menciptakan pemerintahan yang kuat juga bertentangan dengan UUD 1945. UUD 1945 telah menetapkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Dengan sistem pemerintahan Presidensial, DPR tidak mudah untuk melakukan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden ditengah jalan karena ketika Presiden dan Wakil Presiden diduga melakukan pelangaran terhadap UUD, maka harus melalui proses pengujian di Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu.

Disisi lain, dengan sistem pemerintahan presidensial ini apabila Presiden dalam menetapkan suatu kebijakan yang harus memperoleh persetujuan dari DPR pun, secara umum tidak tergantung pada ada atau tidaknya dukungan DPR seperti lazimnya dalam sistem pemerintahan Parlementer. Sehingga, ketika Presiden tidak memperoleh persetujuan dari DPR dalam pengajuan Rancangan APBN pun, Presiden bersama pemerintahannya masih diberikan kewenangan untuk menggunakan APBN tahun sebelumnya.

Tepat kiranya apa yang dikatakan oleh Saldi Isra, bahwa menggunakan hasil Pileg sebagai dasar untuk membatasi hak pilih warga dalam Pilpres melalui Presidential Threshold, sesungguhnya tidak dapat dibenarkan sama sekali karena UUD telah menyatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem Presidensial. Dengan demikian, maka alasan parpol-parpol pendukung Presidential Threshold tak lebih dari pendukung oligarkhi yang ingin mempertahankan politik transaksional dan memperlemah sistem presidensial dalam UUD 1945.

Ikuti tulisan menarik Agus Priyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu