x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahok Kalah dalam Tiga Laga: Sosial-Politik-Hukum

Kalah tidak selalu identik dengan salah. Banyak orang salah tetapi menang, seperti banyaknya orang benar yang mengalami kalah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jarang-jarang terjadi seorang tokoh mengalami kekalahan dalam tiga laga sekaligus dan dalam rentang waktu yang relatif singkat: sekitar tujuh bulan, dan dengan intensitas yang nyaris tanpa jeda.

Vonis dua tahun penjara terhadap Ahok pada 09 Mei 2017, dan langsung ditahan, membuktikan bahwa dalam periode sekitar tujuh bulan (Oktober 2016 s.d Mei 2017), Ahok telah mengalami kekalahan – yang semuanya telak – dalam tiga medan laga: (1) secara sosial kalah melalui serangkaian Aksi Bela Islam; (2) secara politik, tumbang di Pilgub DKI 2017; dan (3) secara hukum kalah melalui vonis dua tahun di pengadilan.

Terkait itu, berikut beberapa catatan kontemplasi:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, perlu ditegaskan bahwa kalah tidak selalu identik dengan salah. Banyak orang salah tetapi menang, seperti banyaknya orang benar yang mengalami kalah. Dan kita tahu, perdebatan tentang apakah Ahok kalah karena salah, atau benar namun tetap dianggap salah, masih akan terus berlanjut.

Kedua, sebuah kekalahan yang terjadi dan dikukuhkan melalui mekanisme dan proses yang disepakati, pada akhirnya akan diposisikan sebagai kekalahan sungguhan, meskipun ada yang menilainya sebagai kekalahan yang dipaksa-paksakan.

Ketiga, kekalahan sosial melalui serangkaian aksi bela Islam (1410, 411, 212, 505 dan sejumlah aksi lanjutannya), dengan segala perdebatan dan dinamikanya, dapat diposisikan sebagai pemicu yang terus mengawal dan memastikan kekalahan-kekalahan selanjutnya di ranah politik dan hukum. Sebab meski masih sangat debatable, namun label “penista agama” yang disematkan kepada diri Ahok, dalam sejarah Rebublik, adalah stigma sosial yang bagi sebagian orang dinilai sebagai “kesalahan yang tak layak lagi diberikan simpati”. Khususnya bila penistaan itu dilakukan dengan pongah.

Keempat, kekalahan Ahok di meja pengadilan, yang divonis lebih berat daripada tuntutan jaksa, dengan segala perdebatannya, suka tidak suka, akhirnya melegitimasi dua kekalahan pertama di ranah sosial dan politik. Ibaratnya, sudah jatuh, tertimpa tangga pula, lalu dicela dengan ungkapan: rasain, salah sendiri.

Kelima, dari tiga kekalahan (sosial, politik, hukum) itu, kekalahan politik – tumbang dalam Pilgub DKI 2017 – barangkali merupakan kekalahan yang paling kuat legitimasi intelektualitasnya. Bahkan pendukung Ahok yang paling militan sekalipun tidak memiliki argumen bantahan untuk meragukan kekalahan Ahok di Pilgub DKI melalui mekanisme Pikada.

Keenam, kecuali untuk beberapa kasus pengecualian, tapi seorang tokoh yang mengalami kekalahan telak dalam tiga laga sekaligus (sosial-politik-hukum) mungkin akan sudah sangat sulit menemukan momentumnya kembali.

Ketujuh, kasus Ahok dan kekalahannya dalam tiga laga sekaligus, bolehlah disebut sebagai “fenomena Ahok” secara par excellence, yang akan selalu menjadi tema kajian yang menarik, dan sekaligus menjadi pelajaran penting bagi siapapun yang sedang-atau-ingin menduduki jabatan publik: jangan bermain api jika tidak memiliki kekuatan dan kapasitas yang cukup untuk memadamkannya.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 10 Mei 2017 / 13 Sya'ban 1438H.

Sumber foto: https://www.tempo.co.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu