x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: To Thrive with Love and Pepper

Kepemimpinan yang berhasil hampir selalu dimulai dengan visi yang melampaui keadaan zaman dan batas-batas sejarah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Vision Set You Free and Thriving

Vision is the reason to live, kata Michael Gerber.

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Business and Executive Coach

Satya siap berangkat ke Eropa. Sesuai beasiswa yang diperolehnya, Satya akan melanjutkan pendidikan ke School of Europe, Belgia. Sebuah pendidikan tinggi prestisius di Eropa, yang didirikan 1949 oleh para tokoh sekaliber Winston Churchill, Salvador de Madariaga, Paul Henri Spaak, dan Alcide De Gasperi.

Dua tahun sebelumnya, ketika berangkat dari kota kecil di sebelah timur Tegal, Jawa Tengah, dengan kereta ekonomi ke Jakarta, sebenarnya Satya mendaftar kuliah di Universitas Indonesia.

Ibunya, keluarga saudagar di salah satu kota pesisir itu, melaksanakan pesan suaminya, seorang aktivis pergerakan kemerdekaan yang kemudian meninggal dieksekusi tentara Balanda. “Dalam keadaan bagaimana pun, anak-anak harus sekolah, ya,” demikian pesan tersebut. Saat ayahnya meninggal, Satya masih tujuh tahun.

Maka, dalam kondisi ekonomi keluarga yang tengah menurun, Satya tetap berangkat ke Jakarta masuk UI. Untuk menghemat, Satya tinggal bersama kakaknya yang sudah membangun keluarga di kawasan Jakarta Barat. Setiap hari menuju kampus UI di Salemba dia tempuh dengan sepeda.

Karena aktivitasnya di luar kampus makin banyak dan menurut perspektifnya perkuliahan dia anggap membatasi pemikirannya, Satya memilih keluar. Ibunya sempat cemas dan meminta Satya pulang.

Dengan hati gundah, Satya menolak.

Waktu itu, dengan kemampuan Bahasa Inggrisnya yang baik, Satya sudah terlanjur membiasakan diri dengan percaturan pemikiran dunia, melalui tulisan-tulisan Albert Camus, Franz Kafka, Jean Paul Sartre, ect.

Pola pikir yang sudah mendunia, kualitas pergaulan, ditambah engagement yang kuat dalam aktivitas kemerdekaan berpikir, memudahkan Satya memperoleh rekomendasi dan beasiswa ke School of Europe.

Ibunya tentu mendukung keberangkatan Satya ke Eropa untuk sekolah lagi, sebagaimana amanah “untuk menyekolahkan anak-anak dalam kondisi apa pun”. Namun, sebagai orang pantai utara Jawa yang tidak mengenal hawa dingin, tidak ada jaket tebal yang dapat dibawa Satya.

Lalu, apa bekal Satya untuk survive menghadapi hawa dingin Eropa? Ibunya membekalinya dengan beberapa botol merica bubuk, hasil tumbukan di lumpang batu yang dia kerjakan bersama anggota keluarga lainnya. Sebagian untuk pemilik rumah indekosan, pesan ibunya.

Di kemudian hari, setelah belajar di Eropa dan negara lain, Satya pulang ke Tanah Air dan mendirikan perusahaan bersama kawan-kawannya. Kini perusahaan tersebut sudah beranak-pinak. Satya resminya pensiun dan berperan di belakang layar.

Pada usia usia sekitar 75 tahun sekarang, Satya tetap menjaga kualitas engagement-nya dengan kegiatan-kegiatan yang mendorong pendidikan, kemajuan masyarakat dan kemerdekaan berpikir.

Selain Bung Karno, hampir semua presiden di Indonesia, sampai Presiden Jokowi sekarang, dia kenal secara langsung, artinya lebih dari sekali bercengkerama di luar acara seremonial.

Berbekal merica bubuk dan doa ibunya saat berangkat kuliah ke Eropa, Satya pulang dan berperan penting ikut mewarnai perkembangan Indonesia.

Apa konteks cerita Satya dengan behavioral change for leadership growth?

Kepemimpinan yang berhasil hampir selalu dimulai dengan visi yang melampaui keadaan zaman dan batas-batas sejarah.

Ketika masih di bawah penjajahan Belanda dan aktif dalam pergerakan antikolonial, ayah Satya yang terampil menulis dalam bahasa Belanda itu ternyata juga mendalami bahasa Inggris dan mendidik anak-anaknya dengan disiplin untuk menguasainya. Suatu hari bahasa Inggris yang akan jadi alat komunikasi internasional, katanya. Ini dituturkan oleh kakak Satya.

Berpuluh tahun sebelum ada Amazon, ayah Satya sudah membiasakan anak-anaknya dari kota kecil di pesisir utara Jawa itu memesan buku-buku, di antaranya dalam bahasa Inggris, lewat pos.

Vision is a reason to live,” kata Michael E. Gerber dalam bukunya, E-Myth Mastery. “The passion of the mind and the passion of the soul creates vision.”

Visi juga dapat membebaskan diri kita dari batasan-batasan cara berpikir (limiting belief) dan perilaku yang menghambat, antara lain terikat masa lalu – apalagi mengagung-agungkannya.

Don’t look back,” pesan ayah Satya kepada anak-anaknya, sesuai penuturan kakak Satya. “Kalian tidak perlu berbangga siapa orang tua kalian. Kalian akan dinilai oleh kontribusi kalian kepada masyarakat, bukan karena orang tua kalian.”

Spirit tersebut dan kasih sayang ibunya, serta kualitas pergaulan internasionalnya,  menjadikan Satya terus semangat menembus keterbatasan, selalu membaca buku untuk mengasah pikiran dan menguji kembali asumsi-asumsinya selama ini. Tetap up to date dan merdeka dari prasangka-prasangka sempit.

Ia juga membebaskan diri dari simbol-simbol. Dengan sejumlah perusahaan yang dulu dirintisnya tetap berjalan baik, sebenarnya Satya mampu mengendarai mobil mewah. Tapi sampai sekarang kemana-mana dia tetap memilih menggunakan kendaraan lamanya, kelas medium, jauh dari mewah.

Visi, reason to live, memang membuat kita merdeka dari limiting belief.

Berapa banyak di antara kita, para pemimpin di institusi bisnis dan lembaga lain di negeri ini, sudah membangun visi yang melampaui keterbatasan sejarah? Sudahkah Anda membuat gambaran yang jernih, lima tahun lagi lembaga yang Anda pimpin seperti apa?

Selalu masih indah untuk saling mengingatkan, dalam dinamika perubahan ekonomi dan sosial yang sangat cepat dan tidak pernah terjadi sebelum ini, untuk tetap layak memimpin, selain memiliki reason to live, jalan terbaik adalah menjaga perilaku continuous learning.

Untuk menjaga proses continuous learning dan continuous improvement berlangsung secara terstruktur dan akuntabilitasnya terjaga, di banyak perusahaan dan lembaga yang ingin meningkatkan kontribusinya ke masyarakat, para pemimpinnya selalu didampingi coach (coaches), dari level supervisor sampai jajaran manajemen.

Mereka meniru tradisi di dunia olah raga. Para atlet professional yang bertanding belum tentu sebulan sekali, berlatih praktis setiap hari dan didampingi coach. Para leaders di dunia usaha dan insitusi yang harus berkompetisi tiap hari, berapa banyak yang mengikuti tradisi tersebut?

Peter F. Drucker, guru leadership dan manajemen, pernah mengingatkan kerugian diri sendiri dan organisasi akibat para eksekutif terkena sindrom sudden incompetence dalam tugas-tugas barunya, walaupun selama sekian tahun sebelumnya mereka sangat kompeten. Itu karena mereka menggunakan pola pikir, perilaku, dan strategi lama untuk menghadapi tantangan baru.

Saran Peter Drucker, “When you enter a new assignment, ask ‘what new things should I be doing in my new assignment to be effective?” (Drucker on Asia).

Bagi yang sudah merdeka dari ego, arogansi, dan limiting belief, menjadi pribadi dan pemimpin yang lebih efektif dapat diwujudkan – dengan izin Tuhan.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting

Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu