Dirga Maulana
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta
Masa depan kebinekaan dalam bahaya. Putusan hakim yang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada pekan lalu dianggap problematis. Majelis hakim memutuskan melebihi tuntutan jaksa atau ultra petita. Hal tersebut sangat memperlihat bahwa hakim berada di bawah tekanan publik.
Indikasi ini menunjukkan fakta bahwa negara bertindak tidak adil dan berpretensi menafikan kaum minoritas. Desakan tirani mayoritas yang lantang menggunakan identitas agama kerap mempengaruhi ruang putusan di pengadilan. Demokrasi kemudian bersalin rupa menjadi mobocracy (desakan massa). Hukum menjadi prematur karena kadung mendapat intimidasi massa.
Kita tahu bahwa pasal penodaan agama untuk Ahok adalah pasal karet. Pasal 156a KUHP ini bisa ditarik ke mana saja sesuai dengan kepentingan politik. Jika demikian, bagaimana nasib kebinekaan Indonesia ke depan? Masa depan Indonesia yang memiliki banyak kelompok etnis, agama, dan kepercayaan yang semuanya dilindungi oleh UUD 1945.
Dalam kasus Jakarta, Ahok telah gagal dalam pemilihan kepala daerah DKI 2017. Dia hanya mendapat suara 42,05 persen, sedangkan lawannya, Anies Baswedan, memperoleh sekitar 57,95 persen. Ahok sebagai non-muslim tampaknya tidak direstui oleh warga Jakarta yang notabene mayoritas muslim. Hal senada bisa dilihat dari hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta bahwa sekitar 89 persen responden guru pendidikan agama Islam tidak setuju kepala daerah dijabat oleh non-muslim. Riset tahun lalu tersebut menegaskan kepada kita bahwa kondisi bernegara dan wawasan kebangsaan kita jauh panggang dari api, sehingga ruang ekspresi minoritas kerap terbelenggu oleh persoalan mayoritas versus minoritas.
Inilah tantangan bagi Indonesia dalam menangkap isu keberagaman dan kebinekaan. Indonesia jelas bukan negara berlandaskan agama, melainkan negara berlandaskan hukum. Supremasi hukum adalah panglima. Kebinekaan adalah keniscayaan dan persatuan Indonesia untuk semua.
Tapi politik "melacur" pada agama untuk kepentingan politik akan menjadi fenomena lumrah ke depan. Di bawah panji politisasi agama oleh Islam politik, ancaman "pedang Tuhan" tidak hanya mengancam kebebasan orang atau kelompok agama yang berbeda, tapi juga sesama penganut Islam sendiri. Maka, pemelintiran isu dan kebencian terus digelorakan. Hal ini bisa terjadi pula pada pemilihan kepala daerah di daerah lain maupun pada pemilihan presiden 2019. Putusan hukum bagi Ahok semakin menyempitkan ekspresi kaum minoritas untuk unjuk gigi di pentas politik. Dengan begitu, hal ini akan mencederai nilai-nilai demokrasi substantif dan toleransi beragama, sehingga masyarakat dengan mudah langsung membenarkan "kita dan mereka".
Ekspresi fanatisme telah tecermin dalam sikap membela agama yang telah dinodai. Fanatisme juga menolak representasi dengan mengabaikan adanya "ruang antara" yang memberi kemungkinan interpretasi manusiawi antara "kota Tuhan" dan "kota duniawi", antara agama dan negara, antara teks-teks kitab suci dan konteks sosial yang lebih spesifik. Yang kemudian terjadi adalah agama dicerabut dari akar sosialnya dengan menghadirkan wajah Tuhan yang bengis, membunuh akal pikiran, membungkam pendapat manusiawi, dan memaksakan hukum Tuhan daripada hukum negara.
Indonesia tidak boleh terjerumus ke dalam kubang gelap demokrasi, yang mengandalkan rasionalitas agama dibanding rasionalitas bernegara. Maksudnya, agama kerap dipakai sebagai alat untuk mengancam kehidupan bernegara, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara yang organik menjadi rusak akibat sikap fanatisme ini.
Benang kusut ini mesti kita urai. Pertama, penyadaran publik tentang wawasan kebangsaan menjadi sangat relevan dalam kehidupan berbangsa. Kedua, tafsir agama yang ramah perlu dikembangkan dalam kehidupan berbangsa. Ketiga, rakyat harus kritis, sadar hukum, dan bersikap toleran kepada yang lain. Bagaimanapun, kehidupan berbangsa dan bernegara kita dibangun di atas keragaman. Ini sudah menjadi kesepakatan final para pendiri bangsa.
*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 15 Mei 2017
Ikuti tulisan menarik dirga maulana lainnya di sini.