x

Depok Larang Ojek Online di Rute Angkot

Iklan

Hani Adhani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konstitusionalitas Angkutan Umum Online

Terkait dengan permasalahan angkutan online, sudah ada masyarakat yang mengajukan pengujian UU LLAJ

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Kisah pilu tentang bentrokan antara pengemudi angkutan online dan angkutan konvensional yang terjadi di beberapa kota di Indonesia jelas sangat mengkhawatirkan kita semua sebagai masyarakat. Fenomena angkutan online ini jelas menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi masyarakat pengguna jasa angkutan umum, adanya aplikasi angkutan online ini jelas sangatlah menguntungkan. Dengan rate harga yang di bawah angkutan umum konvensional dan tingkat trust yang tinggi maka pada akhirnya angkutan online mendominasi dan menyebabkan banyak angkutan konvensional non-online yang tergerus dan gulung tikar.

            Kita masih ingat bagaimana demonstrasi yang dilakukan oleh para supir taksi dan angkutan umum non online di Jakarta yang dilakukan pada bulan Maret 2016 yang pada akhirnya berakhir bentrok yang menimbulkan korban dan kerugian yang tidak sedikit. Tentunya hal tersebut menimbulkan kecemasan bagi masyarakat pengguna jasa angkutan umum online. Pasca tragedi bentrok tersebut, ada perasaan was-was dan takut saat memakai jasa angkutan online baik mobil online ataupun ojek online.

            Kini perusahaan provider angkutan online mulai berekspansi ke kota-kota lain di Indonesia. Hal tersebut jelas di satu sisi akan banyak membuka lapangan kerja bagi masyarakat, tetapi di sisi lain akan membuat angkutan konvensional seperti angkutan kota, taksi, dan ojek biasa tergerus dan gulung tikar. Belum lagi adanya peluang bentrokan yang  akan terjadi seperti halnya yang terjadi di Kota Bogor dan Kota Tangerang antara pengemudi ojek online dan pengemudi angkutan kota. Hal tersebut tentu harus segera di antisipasi oleh negara dalam hal ini Pemerintah baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Peran Negara Dalam Pengelolaan Angkutan Umum

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Lalu bagaimana sebenarnya peran negara dalam pengaturan angkutan umum, khususnya pengaturan angkutan umum online?.

            Hal mengenai angkutan umum ini sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang telah diundangkan pada tanggal 22 Juni 2009. Bila kita membaca secara seksama UU LLAJ, sangat jelas bahwa negara harus berperan aktif untuk menyediakan angkutan umum yang layak bagi masyarakat, dan berupaya mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah serta menuntut penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

            Selain itu, terkait dengan angkutan umum, negara dalam hal ini Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan kebutuhan angkutan umum yang aman, selamat, nyaman, dan terjangkau. Dalam UU LLAJ tersebut memang tidak mengatur secara spesifik tentang bagaimana prosedur angkutan umum secara online, namun bukan berarti UU tersebut sudah out of date sehingga tidak layak digunakan. Untuk lebih memperjelas dan memperinci perihal pengaturan angkutan online tersebut maka sudah seharusnya Pemerintah membuat peraturan dibawah undang-undang yang mengatur secara khusus tentang angkutan umum online ini.

            Ditetapkannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek pada tanggal 1 April 2016 yang kemudian di revisi kembali pada tanggal 31 Maret 2017 dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017, sedikit banyak telah membantu menyelesaikan polemik angkutan umum online ini. Dalam kedua peraturan menteri tersebut, telah diatur tentang bagaiamana prosedur teknis angkutan online yaitu diantaranya adalah adanya kewajiban kerjasama antara perusahaan angkutan umum dengan perusahaan pengguna aplikasi sistem informasi khususnya terkait hal teknis seperti mekanisme pembayaran, larangan dan kewajiban bagi kedua perusahaan, penggunaan fasilitas digital dashboard yang wajib dilaporkan kepada dirjend, kepala badan, Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai bagian dari upaya melakukan pengawasan terhadap penggunaan angkutan online tersebut.

            Dalam Peraturan Menteri tersebut memang belum secara rinci mengatur  tentang angkutan apa saja yang dapat bekerjasama dengan perusahaan pengguna aplikasi online. Apakah hanya kendaraan roda empat saja? Lalu bagaiaman dengan angkutan online roda dua (ojek) yang notabene tidak bergabung dalam perusahaan angkutan sebagaimana diwajibkan dan diatur dalam UU LLAJ dan Permenhub 26/2017 yaitu BUMN, BUMD, PT dan Koperasi.

            Bila kita melihat jumlah angkutan online yang saat ini ada di Indonesia, maka angkutan dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua (ojek) online adalah yang paling banyak dan sebagian besar adalah masyarakat yang memanfaatkan sepeda motor pribadi mereka untuk meraup rezeki di jalan dengan jalan menjadi pengemudi ojek online. Banyaknya bentrokan antara pengemudi angkutan kota (angkot) dengan pengemudi ojek online yang terjadi di beberapa kota besar seperti Bogor dan Tangerang yang menyebabakan korban jiwa memang menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan juga Pemerintah Daerah.

            Peraturan Menteri Perhubungan yang masih sederhana dan belum rigid tersebut tentunya harus dapat dirinci dalam bentuk Peraturan Daerah yang dapat dikeluarkan oleh Gubernur, Bupati dan atau walikota dengan mengacu kepada UU LLAJ dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 juncto Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017.

Putusan MK tentang Angkutan Umum Online

            Bahwa terkait dengan permasalahan angkutan online ini, sudah ada masyarakat yang mengajukan pengujian UU LLAJ yaitu Aries Rinaldi, dkk., yang berprofesi sebagai pengemudi/driver Grab Online yang mempermasalahkan tentang konstitusionalitas Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ yang mengatur tentang penyediaan jasa angkutan umum yang dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain.

            Pengemudi Grab tersebut beranggapan bahwa Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ belum mengakomodir perorangan untuk menjadi pelaksana dalam penyedia jasa angkutan yang berpotensi akan merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon. Meskipun perkara yang diajukan oleh para pengemudi Grab tersebut ditolak oleh MK, namun MK dalam putusan perkara 78/PUU-XIV/2016 yang dibacakan pada tanggal 7 Februari 2017 telah memberikan pertimbangan yang dapat menjadi guideline bagi Pemerintah dalam upaya menyelesaikan permasalahan angkutan online tersebut.

            Dalam pertimbangannya, MK antara lain berpendapat bahwa para Pemohon sebagai pengemudi jasa angkutan online faktanya memang berada dalam naungan sebuah perusahaan angkutan online yang juga telah berbadan hukum, meskipun perusahaan tersebut bukan perusahaan angkutan umum namun hanya perusahaan IT Provider. UU LLAJsecara jelas mengatur pengertian badan hukum untuk penyedia jasa angkutan umum dimana yang dimaksud “badan hukum” dalam penjelasan Pasal 220 ayat (1) huruf c Undang-Undang a quo adalah badan (perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang dapat dilekatkan hak dan kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan lembaga. Menurut MK, sebuah perusahaan aplikasi penyedia jasa angkutan umum meskipun hanya menjual jasa aplikasi online bagi masyarakat tentunya harus juga didukung oleh Perusahaan Angkutan Umum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum yang juga berbadan hukum. Adanya fenomena baru yang saat ini terjadi di seluruh dunia khususnya terkait dengan penggunaan angkutan jalan yang menggunakan aplikasi online adalah suatu keniscayaan. Penggunaan aplikasi berbasis online yang berada dalam kendali setiap pengguna telepon seluler, yang pada awalnya dianggap mustahil untuk diwujudkan, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, hal tersebut kini telah menjadi kenyataan.

            Menurut MK, masyarakat selaku pengguna jasa angkutan umum mendapatkan keuntungan dengan adanya aplikasi tersebut. Begitupun dengan penyedia jasa aplikasi online dan pengemudinya yang langsung direkrut dari masyarakat juga merasakan keuntungan yang sama. UU LLAJsebenarnya sudah dapat mengakomodir adanya fenomena angkutan online ini. Hal tersebut juga sesuai dengan tujuan dibentuknya Undang-Undang a quo yaitu sebagai upaya mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

            Selain itu, menurut MK, negara memiliki kewajiban untuk membangun dan memajukan sistem transportasi nasional yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pengembangan wilayah dan pembangunan ekonomi. Hal tersebut akan mengikuti perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional yang menuntut penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Dalam konteks demikian, negara dalam hal ini Pemerintah harus segera menyelesaikan permasalahan penyedia jasa angkutan umum online ini secara adil, transparan, dan terkoordinasi dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) guna mengatasi permasalahan angkutan umum online tersebut dengan melengkapi secara operasional dan teknis ke dalam peraturan pelaksanaan.

            Menurut MK, dengan diaturnya ketentuan tentang penyedia jasa angkutan online yang harus berbadan hukum, hal itu justru lebih menjamin hak konstitusional para Pemohon (pengemudi Grab) atas pekerjaan yang layak serta hak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab, dengan adanya keharusan berbadan hukum demikian apabila terjadi sengketa, mekanisme penyelesaiannya menjadi lebih jelas. Demikian pula halnya bagi pengguna jasa angkutan online akan menjadi lebih pasti apabila ada keluhan atau tuntutan yang harus diajukan manakala merasa dirugikan.

            Putusan MK tersebut tentunya dapat menjadi guideline bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam membuat regulasi yang tepat dan adil dan pengelolaan angkutan online. Patut kita tunggu langkah konkrit Pemerintah Pusat dan Pemeritah Daerah dalam mengantisipasi permasalahan angkutan online ini agar terjadinya bentrok antara pengemudi ojek online dengan supir angkutan kota (angkot) tidak terjadi lagi seiring adanya ekspansi perusahaan angkutan online yang saat ini sedang gencar-gencarnya membuka cabang baru di seluruh kota di Indonesia.

            Tentunya kita berharap Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat membuat peraturan dan regulasi yang benar-benar adil, transparan dan akuntabel bagi masyarakat khususnya bagi para pengemudi angkutan konvensional dan para pengemudi angkutan online sehingga hak konstitusional seluruh warga negara dapat terpenuhi.

Oleh: Hani Adhani

Panitera Pengganti Mahkamah Konstitusi RI

Ikuti tulisan menarik Hani Adhani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler