x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Leadership vs Captive Mind

Untuk menjadi the person you want to be, naik ke th next stage dari kesuksesan Anda sekarang, perlu tujuh tahap yang kelihatannya sederhana, tapi menantang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Leadership Growth: Becoming the New You is Cool

Tujuh tahap menjadi the person we want to be tampak sederhana, namun menantang.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mohamad Cholid

Practicing Certified Business and Executive Coach

 

“And you see the mountains, reckoned them rigid, while they will pass as the passing of clouds.“ Al Qur’an (An-Naml - 27:88).

 

Perspective matters. Kutipan firman Tuhan Pencipta Alam Semesta tersebut untuk mengingatkan betapa kita sebagai manusia umumnya memiliki keterbatasan dalam upaya memahami apa yang kita hadapi di dunia. Agama-agama besar selain Islam juga mengajarkan tentang ketidaksempurnaan manusia.

Umat manusia memang merupakan proyek Tuhan yang belum selesai. God creates human being as an unfinished project, kata Jim Rohn, dikenal sebagai business philosopher, sempat jadi mentor sejumlah top coach kelas dunia seperti Tony Robbins, Brian Tracy, dan sumber inspirasi tokoh lain di bidang re-edukasi bisnis seperti Darren Hardy dan Brad Sugar. 

Oleh karena itu banyak urusan dunia mesti diupayakan oleh manusia sendiri, seperti membangun jembatan, mengelola ekonomi, membuat kendaraan, mendirikan tempat ibadah, rumah sakit, mengembangkan diri, etc. 

Bagi yang berpandangan positif, kutipan diatas itu bisa ditafsirkan sebagai indikasi bahwa Tuhan demikian demokratis. Memberikan pilihan kepada umat manusia, dalam berperan sebagai “co-creator” di dunia ini, untuk mengembangkan diri, berpikir kreatif, bersedia terbuka mencari perspektif baru.

Dalam keterbatasan tersebut, umat manusia menghadapi tantangan besar, yaitu perilaku yang cenderung membiarkan diri terjebak dalam penjara pikiran mereka sendiri. Terperosok dalam limiting belief. Batasan-batasan yang mereka rekayasa sendiri, sesuai dengan personal bias masing-masing. Kemudian mereka menjadikan ini dasar menentukan perspektif dalam memahami dunia.

Gejala membiarkan pikiran terjebak godaan ideologi, praktik politik, serta personal bias, belakangan ini juga menjangkiti kalangan yang dikenal sebagai intelektual, pimpinan organisasi (bisnis dan sosial), serta tokoh masyarakat. Ini mengingatkan pada gambaran The Captive Mind, buku kumpulan esai Czeslaw Milosz (1911 – 2004), salah seorang pemenang Nobel Sastra, tentang kalangan intelektual Eropa Tengah dan Timur Pasca Perang Dunia II yang dicekam komunisme dan Stalinism.

Apa jadinya jika kita sebagai umat manusia dengan keterbatasan perspektif  – yang hanya mampu “melihat gunung-gunung diam, padahal mereka bergerak bagaikan awan berarak ” -- malah membiarkan diri masuk ke dalam perangkap limiting belief atau terjebak dalam captive mind?

Kemungkinan terbesar adalah, sebagaimana kata Darren Hardy, becoming prisoner of our assumption.  

Jika gejala ini menjangkiti para pimpinan organisasi, di lingkungan bisnis dan institusi lain, indikasinya adalah, mereka menggunakan otoritas untuk menolak gagasan-gagasan baru yang tidak sesuai dengan ego mereka.

Mereka mengambil keputusan berdasarkan cangkang pikiran sendiri. Alternatif perspektif baru untuk meningkatkan kualitas kerja institusi sering malah dianggap sebagai ancaman kemapanan, minimal gangguan.

Perilaku tersebut sungguh bertentangan dengan kehendak Sang Pencipta, yang memberikan kebebasan pada kita untuk selalu menemukan cara baru, perspektif lebih baik, dalam berinteraksi dengan dinamika kehidupan dunia.

Dalam konteks perusahaan, perilaku semacam itu tentu membahayakan, menyebabkan manajemen selalu mengandalkan pendekatan cara lama untuk mengatasi tantangan baru. Padahal tugas penting manajemen adalah, “to see the company not as it is, but as it can become,” kata John W. Teets, pengusaha dari Arizona dan sempat jadi President of the American Management Association.

Berdasarkan observasi dan interaksi dengan manajemen berbagai perusahaan, saya melihat, tantangan paling krusial bagi para leaders adalah bagaimana keluar dari limiting belief mereka sendiri.

Bagi mereka, upaya mengubah pola pikir lama dan mengembangkan perspektif baru dalam kepemimpinannya,  ibarat pergulatan udang lobster yang dalam pertumbuhannya harus melalui proses beberapa kali melepaskan diri dari cangkang yang membatasinya.

Proses tersebut memerlukan sikap rendah hati sekaligus berupaya keras untuk menjadi lebih baik. Itu adalah kelaziman, atau hukum alam,  bagi para pemimpin untuk jadi lebih hebat – sebagaimana yang dilakukan para Eksekutif Level 5 (versi Jim Collins, dalam dua tulisan sebelum ini).  

Caranya? Untuk sukses sebagai leader hari-hari ini, “Jadikan diri Anda pembelajar,” kata Jeff Immelt, Chairman of the Board dan CEO General Electric. “If you want to be successful, you’ve got to have an antenna up all the time; and you’ve got to be open to new ideas.”

Keluar dari limiting belief dan mendapatkan perspektif baru sesungguhnya merupakan kebutuhan penting untuk dapat mengatasi tantangan perubahan yang sangat dinamis, kadang disruptive, sekarang ini.  

Faktor penguat lain agar kepemimpinan Anda sanggup tegak menghadapi tantangan zaman, ibarat tiang utama sebuah tenda mampu tetap menjulang menghadapi badai, adalah melalui pertolongan tiang-tiang pasak atau para stakeholders yang terkait menjaga Anda.

Metode pengembangan kepemimpinan melibatkan stakeholders sudah dikembangkan oleh Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) sejak lebih dari seperempat abad lalu.

Perubahan perilaku untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi kepemimpinan agar menjadi lebih efektif, menjadi the person you want to become, dapat berhasil baik jika prosesnya dilakukan secara terstruktur dan dapat diukur. Tahapan-tahapannya dilakukan dengan konsisten dan cermat.

MGSCC menggunakan tujuh anak tangga sebagai tahapan untuk membantu para eksekutif menjadi the person they want to become, menjadi lebih hebat dari level keberhasilan saat ini.

Dimulai dengan kesediaan untuk bertanya kepada stakeholders. Lalu, mendengarkan mereka, dan berterima kasih atas masukan mereka.

Tahap berikutnya adalah berpikir dan memberikan respon. Disusul dengan melakukan perubahan (perilaku kepemimpinan) yang Anda janjikan, dan follow up.

Tujuh tahapan untuk naik ke the next stage dari kesuksesan Anda tersebut memang kelihatan sederhana, tapi kenyataannya masih merupakan tantangan besar bagi kebanyakan eksekutif.

Kita cek di dua hal saja, misalnya mendengarkan dan berterima kasih. Apakah Anda, sebagai pemimpin, sudah terbiasa melakukannya terhadap direct reports, peers, dan unsur stakeholder Anda lainnya?

Berapa porsi Anda benar-benar mendengarkan dengan seksama orang-orang penting di sekitar Anda? Berapa banyak Anda mendengarkan sembari siap menyambar atau memotong pembicaraan dengan kesimpulan-kesimpulan Anda sendiri?

Berapa sering Anda hanya mendengarkan yang Anda ingin dengar dan menghindarkan diri untuk mendengar fakta yang seharusnya Anda dengar untuk kepentingan institusi atau perusahaan?

Berapa kali dalam satu bulan Anda berterima kasih dengan tulus, tanpa komentar apa pun, atas masukan jujur dari para stakeholders?

Asal Anda tahu saja, perubahan perilaku melalui tujuh tahapan tersebut, menghayati proses becoming the person you want to be, is cool.

Itu proses untuk meningkatkan kemampuan memandang dunia dengan perspektif baru, menyelami kehidupan dengan dimensi yang lebih indah. Betapa dahsyatnya kalau kemudian kita memperoleh kemampuan merasakan irama alam, dapat mengenali tanda-tanda  “gunung-gunung yang bergerak bagaikan awan berarak.”

 

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Consulting

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leader of the Future Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu