x

Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri), bergurau dengan Presiden AS Donald Trump, Presiden Jokowi, Presiden Senegal Macky Sall dan Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto saat foto keluarga pada hari pertama G-20 di Hamburg, Jerman, 7 Juli 2017. Jokowi

Iklan

wahyu wicaksana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Legitimasi dan Diplomasi

Yang terjadi sekarang, perkembangan domestik di Indonesia merusak legitimasi negara ini di mata internasional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegerahan politik dalam negeri selama beberapa bulan terakhir mulai berdampak terhadap legitimasi internasional Indonesia. Kinerja diplomasi pun terpengaruh. Memang tidak banyak pihak menyadari kaitan antara ketiga hal ini. Bahkan beberapa kalangan elit getol menghubungkan gejolak di tanah air dengan aktivitas asing. Teori konspirasi mungkin logis, tetapi tidak pernah terbukti secara empiris. Faktor eksternal memang turut mempengaruhi situasi internal, tetapi bukan soal rekayasa konspiratif. Ada tren pengikisan tatanan dunia liberal yang sudah mendukung posisi Jakarta di dalam masyarakat global. Apa yang terjadi?

Legitimasi dalam praktek hubungan antarbangsa memiliki makna elaboratif. Tidak hanya pengakuan status legal negara menurut hukum internasional, tetapi menyangkut penerimaan atas eksistensi negara sebagai subyek politik yang layak untuk diikutsertakan dalam pergaulan internasional. Elemen kedua yang bernuansa politis sering kali lebih menentukan daripada kedudukan hukum. Legitimasi politik menjadi akses bagi suatu negara untuk mendapatkan kepercayaan negara lain, membina kerjasama ekonomi dan memperoleh bantuan ketika menghadapi krisis.

Di era globalisasi signifikansi legitimasi politik internasional semakin meningkat, terutama karena perluasan dan penguatan ruang gerak aktivisme sosial lintas batas negara. Sehingga agenda yang menjadi sorotan publik global terartikulasi sebagai salah satu input kebijakan luar negeri di berbagai negara. Dalam konteks ini, legitimasi Indonesia tergantung pada penilaian masyarakat internasional mengenai keberpihakan terhadap agenda-agenda yang merupakan kepentingan global. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab membela kepentingan global, misalkan demokrasi, perlindungan HAM dan lingkungan, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, pluralisme identitas, serta penjagaan perdamaian. Konten politik liberal terlihat jelas dalam bentuk pengutamaan hak-hak individu warga negara, dan sebaliknya pembatasan kedaulatan negara.

Konsistensi pada kepentingan global membuat Indonesia diperhitungkan oleh negara lain. Poinnya adalah inisiatif serta partisipasi dalam berbagai forum internasional yang memperjuangkan kepentingan masyarakat secara luas. Melalui Bali Democracy Forum, World Culture Forum, Interfaith Dialogue, Environmental Summit atau KTT Bumi, Indonesia menunjukkan kontribusi besar terhadap usaha global untuk mewujudkan demokrasi, kesetaraan dan kesejahteraan umat manusia. Indonesia diterima dan diakui memiliki peran penting, dan karena itu legitimasi kita sebagai bangsa kuat di hadapan bangsa-bangsa lain. Meskipun pada kenyataannya unsur-unsur pokok kekuatan nasional seperti prestasi pembangunan ekonomi, kemampuan militer, dan pengembangan teknologi masih tertinggal. Legitimasi Indonesia justru ditopang oleh soft power, bukan hard power, yakni nilai, kebijakan dan tindakan yang memberi daya tarik bagi bangsa lain untuk mengikuti langkah Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, yang terjadi sekarang malahan perkembangan domestik merusak legitimasi internasional. Reformasi yang awalnya bertujuan menyingkirkan militerisme, militansi dan oligarki dari kehidupan berbangsa, kini ketiga ancaman bagi demokrasi itu justru diserap oleh sistem politik. Muncullah mobilisasi massa bermotif sektarianisme, perlawanan terhadap hukum, kekerasan berlatar perbedaan SARA, serta korupsi yang dijustifikasi atas nama kehormatan politik. Indonesia menyuguhkan kepada masyarakat dunia sebuah tayangan politik demokrasi penuh paradoks; prosedur bagus, substansi cacad. Konsekuennsinya, masyarakat internasional mempertanyakan legitimasi Indonesia. Kita yang pernah dipandang berhasil menciptakan paduan elok antara demokrasi, kemanusiaan dan pembangunan, sekarang dipersepsikan sebagai negara menuju kegagalan (failing state), kehilangan soft power, dan akhirnya tidak legitimate lagi.

Contoh nyata, negara-negara tetangga seperti Australia, Singapura, dan Tiongkok mulai pesimis merespons proposal diplomasi Indonesia. Usulan Jakarta untuk memajukan Komunitas Keamanan ASEAN agar jadi wadah diplomasi guna mengatasi konflik di Semenanjung Korea hanya ditanggapi dingin. Rencana ekspansi Regional Comprehensive Economic Partnership ASEAN juga tidak terlalu diminati. Bahkan pada KTT Belt and Road Forum for International Development di Beijing bulan lalu, sempat terdengar nada sumbang dari perwakilan PBB menyoal kondisi dalam negeri Indonesia. Intinya, apakah Indonesia masih layak mendapat kepercayaan internasional?

Dinamika internasional turut berpengaruh. Sejak 2016 di Eropa dan Amerika Serikat bergulir sentimen antiliberal yang bermuara pada ketidaksukaan terhadap institusi multilateral, khususnya Uni Eropa (UE), IMF, Bank Dunia dan PBB. Mereka yang antiliberal menginginkan pengembalian peran negara secara penuh, tidak perlu ada pemerintahan dunia di atas negara berdaulat. Brexit dan kemenangan Donald Trump membawa pesan populis medan neonasionalisme dari Inggris dan Amerika Serikat (AS), dua negara yang dulu punya andil sangat besar dalam mendirikan tatanan dunia liberal. Trump sudah terang-terangan mengambil sikap kontraliberalisme; menarik diri dari Perjanjian Paris tentang lingkungan dan perubahan iklim, mengurangi keterlibatan AS dalam misi sosial dan ekonomi PBB, serta tidak tertarik dengan upaya perdamaian di Timur Tengah. Trump beranggapan AS sudah berkorban banyak untuk dunia, karenanya Amerika mau bangkit dengan cara baru.

Sentimen populis nasionalis cepat merembet kekawasan lain. Di Asia Timur tawaran bilateralisme AS lebih menarik perhatian Jepang dan Korea Selatan dibandingkan dengan Komunitas Ekonomi, Keamanan dan Politik ASEAN. Nilai dan norma interaksi bersama yang diajukan Indonesia melalui ASEAN dipandang sebelah mata. Sepertinya keraguan tentang kapabilitas Indonesia benar-benar diukur dari kondisi riil di dalam negeri. Seorang diplomat senior Tiongkok blak-blakan menyebut the ASEAN way, sebagai cerminan dari tata krama politik luar negeri Indonesia, sudah tidak relevan lagi. Dari Washington, berbeda dengan kebijakan Barack Obama yang mendorong skema liberal, Trump memandang Asia dan Dunia dengan satu perspektif saja, yakni kepentingan serta keunggulan AS “making America work again”.

Di tengah penurunan legitimasi internasional dan delegitimasi tatanan liberal, maka tantangan diplomasi Indonesia semakin berat. Selain suara Indonesia tidak lagi didengar, pamor organisasi di mana Jakarta berdiplomasi pun memudar. Kita tidak bisa lagi bangga mengklaim diri sebagai negara di mana demokrasi, modernitas dan agama bisa hidup saling bergandengan tangan, sambil menyebarkan nilai-nilai ke-Indonesia-an ke luar negeri. Indonesia butuh suatu pendekatan diplomasi baru yang bisa menunjang profil negara berbhinneka, progresif dan stabil. Namun, sekali lagi apapun fitur diplomasi yang ditampilkan, kondisi faktual di dalam negeri tetap jadi patokan masyarakat dunia.

Oleh I GedeWahyuWicaksana

Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga Surabaya. 

Ikuti tulisan menarik wahyu wicaksana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler