x

ilustrasi bullying. Tempo/Indra Fauzi

Iklan

Nurdin Kalim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saatnya Menghentikan Perisakan

Sekolah dan kampus seakan-akan tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perisakan di lingkungan kerja mereka meski pemerintah sudah menghapus perploncoan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Perisakan di kalangan pelajar sudah saatnya dihentikan. Jangan sampai ada lagi pelajar yang mengalami nasib seperti SW, 12 tahun, siswi kelas VI sebuah sekolah dasar di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Beberapa bagian tubuh SW luka memar. Jalannya terpincang-pincang karena ia sempat diinjak-injak.

SW merupakan korban perisakan yang dilakukan sejumlah pelajar SMP di pusat belanja Thamrin City, Tanah Abang, Jumat pekan lalu. SW dijambak, dipukul, ditendang, hingga disuruh bersujud mencium kaki temannya. Di sekeliling SW ada beberapa anak lain yang melihat, tapi mereka hanya menonton dan merekam kejadian tersebut. Perisakan yang dipicu perselisihan di media sosial Facebook itu terekam dalam video yang viral sejak Senin lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kasus SW menunjukkan praktik perisakan di kalangan pelajar masih terus terjadi. Fenomena ini terus berulang saban tahun dalam satu dekade terakhir. Praktik serupa juga terjadi di kalangan mahasiswa. Yang mutakhir adalah pada 15 Juli lalu. Dalam sebuah video yang tersebar di Instagram, seorang mahasiswa difabel menjadi korban perisakan mahasiswa lain di Universitas Gunadarma, Depok.

Praktik perisakan di lembaga pendidikan sangat memprihatinkan. Anehnya, baik sekolah maupun kampus seakan-akan tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah perbuatan negatif itu. Padahal pemerintah telah menghapus sistem perpeloncoan di sekolah, lantaran dinilai sebagai akar dari “budaya” perisakan. Penyelenggaraan masa orientasi siswa tak lagi dipegang oleh organisasi siswa intra sekolah, melainkan diserahkan kepada para pengajar.

Perisakan yang masih terjadi menunjukkan lemahnya pengawasan. Jangan menganggap remeh perilaku perisakan. Penelitian menyebutkan, seseorang yang terus-menerus menjadi korban penganiayaan berisiko menderita stres yang bisa berujung pada tindakan bunuh diri.

Karena itu, perisakan harus dihentikan. Langkah efektif untuk menghentikannya adalah melawan dengan tegas. Sebab, para perisak biasanya menganggap korbannya sebagai target yang lemah, gampang dilecehkan, dan tak berisiko apa pun. Pandangan pelaku itu harus diubah dengan terapi kejut yang menimbulkan efek jera.

Pemecatan dari sekolah atau kampus memang merupakan sanksi tegas. Tapi itu langkah yang terlambat. Sekolah dan kampus seharusnya bertindak sejak gejala mulai tercium, sehingga tak ada lagi pelajar dan mahasiswa yang menjadi korban perisakan. Pencegahan sejak dini dapat meniadakan sanksi pemecatan siswa pelaku.

Komunikasi para guru dan murid mesti ditingkatkan. Siswa yang berpotensi menjadi pelaku perisakan perlu dirangkul dan diajari mengendalikan emosi serta mengembangkan empati kepada orang lain. Termasuk menghargai para difabel atau yang berkebutuhan khusus.

Para orang tua harus lebih memberi perhatian kepada pendidikan anaknya. Sebab, keluarga merupakan lembaga pertama tempat anak mendapat pendidikan dan penanaman nilai-nilai yang membentuk watak, sikap hidup, kepribadian, serta etika.***

Editorial Koran Tempo edisi Kamis, 20 Juli 2017

Ikuti tulisan menarik Nurdin Kalim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu