Gaduh impor pelontar granat polisi mereda. Sebanyak 5.932 butir granat 40 x 46 milimeter dititipkan ke gudang Markas Besar TNI, 9 Oktober 2017, setelah tertahan di Bandar Udara Soekarno-Hatta selama dua pekan. Hanya, persoalan belum tuntas jika Presiden Joko Widodo tidak segera membenahi aturan senjata yang semrawut.
Penitipan amunisi itu merupakan kebijakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto untuk menengahi friksi kalangan TNI dan Polri. Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia Mayor Jenderal Wuryanto menyatakan berjenis tajam dan mematikan .Amunisi itu diimpor dari Bulgaria bersama 280 pucuk pelontar granat yang akan dipakai Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian RI.
Menurut Wuryanto, amunisi ini bisa pecah dua kali dan meledak sendiri tanpa benturan setelah 14-19 detik lepas dari laras. "Jadi ini luar biasa, TNI sendiri tidak punya senjata dengan kemampuan seperti itu," ujarnya.
Aturan pengawasan senjata yang kacau
Dualisme aturan menyebabkan TNI merasa berhak mengawasi senjata standar militer yang digunakan non tentara. Adapun Kepolisian RI merasa berwenang pula mengurus senjatanya sendiri.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional Andrea Hynan Poeloengan menjelaskan sudut pandang polisi dalam tulisan Polemik Senjata Polri: Apakah Harus Gaduh Terus?. Ia berpijak pada Undang-undang No.8/1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. Intinya, senjata api milik anggota Angkatan Perang diatur oleh Menteri Pertahanan, dan senjata polisi dikelola oleh Kepolisian Negara.
Polisi juga berpegangan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1960 tentang Perizinan Senjata Api. Sesuai Perpu ini, wewenang perizinan senjata berada pada Menteri/Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang dikuasakan, kecuali perizinan senjata militer.
Nah, pada Orde Baru muncul Instruksi Presiden nomor 9 tahun 1976 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api. Dalam instruksi ini wewenang pengendalian senjata api di luar TNI diberikan pada Menteri Pertahanan/Panglima ABRI (kini TNI). Saat itu masalah tidak muncul karena kepolisian masih bergabung dalam ABRI.
Setelah kepolisian dipisah dari TNI pada era reformasi, urusan pengawasan senjata pun kacau. Soalnya, undang-undang dan Perpu lama yang memberikan kekuasaan polisi mengurus senjatanya sendiri, belum dicabut. Pemerintah harus membenahi masalah ini dengan membuat undang-undang baru atau perpu, lalu membikin aturan yang lebih rinci dalam peraturan pemerintah
Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2010 tidak cukup kuat karena bertentangan dengan undang-undang lawas tersebut. Peraturan menteri itu mengatur tentang perizinan dan pengendalian senjata api standar militer di luar TNI. Aneh pula jika Kepolisian RI harus tunduk pada peraturan lembaga lain yang setingkat.
Aturan pengadaan dan impor senjata
Aturan pengadaan senjata sebetulnya lebih jelas karena kita sudah memiliki Undang-undang Nomor Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Semua pengadaan senjata api harus seizin Kementerian Pertahanan. Presiden seharusnya tahu betul masalah ini karena ia juga menjadi Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan. Impor senjata juga harus mendapat persetujuan Komite.
Masalahnya, peraturan pemerintah sebagai pelaksana undang-undang itu, khususnya soal pengadaan senjata belum ada. Yang ada cuma Peraturan Menteri Pertahanan No. 7 tahun 2010 yang juga menyingung soal impor senjata.
Dalam aturan itu, impor senjata harus memperoleh persetujuan Menteri Pertahanan, impor senjata api juga harus mendapat rekomendasi dari Mabes TNI. Dalam kasus impor pelontar granat Brimob, rekomendasi inilah yang sempat bermasalah. Ternyata Kepolisian RI belum mendapat rekomendasi impor senjata standar militer itu kendati sudah mengajukan surat ke BAIS TNI pada 19 September lalu.
Peraturan Menteri Pertahanan itu memang tak cukup kuat untuk mengatur pengadaan senjata di luar TNI. Apalagi, kepolisian merupakan lembaga setingkat menteri. Jadi perlu peraturan pemerintah agar kepolisian terikat dengan aturan impor itu.
Presiden Jokowi juga perlu mendorong agar lelang pengadaan senjata dilakukan secara transparan. Tender pelontar granat Brimob janggal karena berlangsung super cepat. Di situs lelang Polri disebutkan tender pengadaan senjata itu menggunakan dana dari APBNP 2017 senilai Rp 26,94 miliar. PT Mustika Dutamas sebagai pemenang lelang diumumkan pada 15 September lalu. Masa penandatanganan kontrak disebutkan pada 26 September hingga 9 Oktober 2017. Anehnya, akhir September barang impor sudah berada di bandara.
Impor senjata seharusnya pula dilakukan secara selektif sesuai amanah Undang-undang Industri Pertahanan. Produk dalam negeri harus diprioritaskan. PT Pindad sebetulnya juga memproduksi pelontar granat walaupun tipenya beda. Kalaupun Pindad kewalahan memenuhi jumlah pesanan, pengadaan bisa dilakukan secara bertahap. Anggaran pun bisa dihemat. *
Artikel lain: : Penyebab Pidato Gubernur Anies Soal Pribumi Bikin Geger
Ikuti tulisan menarik Gendur Sudarsono lainnya di sini.