Beberapa hari lalu, di Bandung, protes pengemudi jasa transportasi konvensional (angkot, khususnya) terhadap jasa transportasi berbasis online kembali terjadi. Sempat, dalam satu hari, sulit mendapatkan angkot yang beroperasi di jalan. Di sebagian rute, sebagian sopir yang masih beroperasi menjalankan angkotnya tidak sampai akhir rute dan memilih memutar balik di tempat tertentu.
Kehadiran jasa transportasi berbasis aplikasi memang merepotkan para pemain yang sudah lebih dulu terjun di jasa ini. Konsumen (warga masyarakat) merasa lebih dimudahkan oleh model bisnis baru ini, sebab mereka dapat mengakses layanan sembari menunggu di rumah atau di manapun. Yang jelas, tak perlu menunggu di pinggir jalan—terhindar dari panas dan hujan.
Go-Jek, Grab, maupun Uber memang unik. Ketiganya mengaku bukan perusahaan transportasi, melainkan perusahaan teknologi. Mereka menyediakan aplikasi yang dapat dimanfaatkan pihak lain (yang disebut ‘mitra’, yakni para pengemudi dalam konteks jasa transportasi) untuk menawarkan jasanya. Namun perusahaan itu yang mengatur tarif jasanya, termasuk melalui program promosi, sedangkan mitra (para pengemudi) hanya dapat memilih di antara dua: ambil atau tinggalkan.
Kompetisi antara jasa transportasi konvensional dan online ini dapat dilihat dari sudut pemahaman terhadap cara kerja teknologi. Perintis Go-Jek, Grab, dan Uber memahami cara kerja teknologi informasi dan pengaruhnya yang besar terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk bisnis dan gaya hidup. Mereka memahami bahwa aplikasi tertentu dapat menjadi penghubung antara penyedia jasa dan konsumen. Di sisi lain, konsumen memerlukan kemudahan dan kenyamanan dalam bertransportasi.
Para perintis ini berpikir bahwa jika mereka mampu mengeksplorasi kekuatan teknologi ini maupun kebutuhan dan gaya hidup masyarakat, jasa transportasi berbasis aplikasi ini bisa jadi bisnis besar. Dan ini terbukti. Pemain yang lebih dulu berkutat di jasa ini barangkali tidak segera menyadari potensi besar teknologi berjejaring ini, hingga akhirnya pemain baru masuk dengan membawa serta model bisnis baru. Pebisnis besar seperti Blue Bird pun terlambat mengadopsi teknologi ini, apa lagi pengojek tradisional dan pemilik angkot.
Pemerintah dan perangkatnya, di pusat dan daerah, masih belum menemukan jalan keluar yang tepat untuk mengatasi kompetisi antara jasa transportasi berbasis aplikasi dan yang konvensional. Banyak orang, yang semula tidak pernah berpikir jadi pengojek atau sopir taksi, ikut bergabung dengan Go-Jek, Grab, atau Uber. Sementara, yang bertahan dengan angkot dan ojek pangkalan cenderung kian tidak mudah memperoleh konsumen. Bisnis mereka kian tertinggal.
Sepintas, ini kompetisi yang tampak wajar antara pemain yang memahami keunggulan teknologi dan mengadopsinya untuk diterapkan di bisnis lama dan pemain yang bertahan dengan model bisnis lama. Kompetisi ini juga menguatkan pandangan bahwa inovasi merupakan gagasan yang sukar ditolak bila bisnis ingin dipertahankan.
Namun, di sisi lain, kompetisi ini juga menunjukkan betapa liberal bisnis kita saat ini: siapapun yang datang membawa gagasan baru dan berjalan, silakan saja terus berjalan. Sedangkan mereka yang tidak mampu mengadopsi teknologi karena tidak memiliki pemahaman, kapabilitas, dan kompetensi yang diperlukan semakin terseok-seok tertinggal. Pemain tradisional ini (pengojek, pengemudi dan pemilik angkot), yang dihadapkan pada kesenjangan dalam adopsi teknologi, nyaris kurang dukungan dari regulator dalam upaya mempertahankan usaha mereka. **
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.