x

Iklan

Andree

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bagai Air dan Minyak: Peran Ganda Perusahaan Negara

Dilema tuntutan politik-ekonomi dan mandat kesejahteraan sosial BUMN/D

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Air dan minyak tidak dapat bercampur”, suatu konsep ilmiah yang dikenal hampir setiap orang. Jika dicampur, molekul minyak yang bersifat hydrophobic (‘takut air’) dan lebih ringan dari air akan terapung di permukaan.  Meskipun tampak tercampur jika diaduk kuat-kuat, tetapi setelah didiamkan minyak dan air akan kembali terpisah.

Situasi ini identik dengan amanat yang dipegang Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/D) di Indonesia.  Sebagai perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah, BUMN/D memiliki kewajiban ganda untuk menghasilkan laba dan memenuhi kesejahteraan sosial.  Jaringan BUMN/D cukup luas dengan 118 perusahaan di tingkat pusat ditambah lebih dari 600 anak-anak perusahaan dan BUMD.

Untuk memenuhi kesejahteraan sosial, BUMN/D ditugaskan menyediakan barang dan jasa berkualitas tinggi dalam jumlah yang memadai. Kata “memadai” umumnya dipilah lagi menjadi cakupan menyeluruh dengan harga terjangkau. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tugas inilah perbedaan utama perusahaan negara dan swasta.  Tugas yang mulia tetapi sulit dicapai karena pada kenyataannya tekanan politik untuk mempertahankan keterjangkauan dan tuntutan ekonomi untuk menghasilkan laba bagi pemegang saham (pemerintah) sering mengorbankan cakupan menyeluruh dan kualitas tinggi bagi pelanggan (rakyat).  Contohnya adalah di sektor air minum dan minyak yang praktis dimonopoli BUMN/D.

Indonesia dilayani lebih dari 390 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).  Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 menetapkan tarif air minum sebagai pemulihan biaya penuh ditambah 10%. Nyatanya, di tahun 2016 hanya 30% PDAM mematuhi pedoman ini. 

“Dikasih untung kok tidak mau?” Kuncinya adalah sistem pilkada langsung, di mana pelanggan PDAM adalah juga pemilih.  Mengingat 60% pelanggan/pemilih penghasilannya hanya sedikit di atas Rp 26.000 per hari, menaikkan harga air adalah keputusan ekonomi dengan resiko politik tinggi.

Meskipun merugi, PDAM masih harus menyumbang dividen ke kas pemerintah daerah.  “Sudah rugi, bayar pula” membuat banyak PDAM tidak mampu memperbaharui peralatan, memperbaiki kebocoran, apalagi memperluas layanan.  Ironis bahwa meskipun namanya mengandung kata minum, air PDAM tidak bisa diminum langsung dari keran. 

Situasinya cukup mengenaskan: Indonesia memiliki curah hujan tertinggi ke-9 di dunia (hampir 4 kali lipat Amerika atau Cina), tetapi kurang dari 20% penduduknya menikmati layanan air dari pipa.  Sisanya antara mendapatkan air secara swadaya atau bahkan tidak memiliki akses ke air bersih.

Di sektor minyak, Pertamina ditugaskan menjual bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu di bawah biaya produksi dan menagih kerugiannya ke pemerintah.  Subsidi merata seperti ini menciptakan siklus tornado: subsidi awal menyebabkan harga murah yang disambut permintaan meningkat yang artinya produksi harus digenjot dan tagihan subsidi membengkak; demikian seterusnya berputar-putar, membesar dan terus menyedot anggaran. 

Contohnya: Premium, BBM subsidi beroktan rendah (88) yang dijual di Indonesia selama hampir setengah abad.  Tidak ada pemerintahan yang berani menghapuskan subsidi Premium, sampai akhirnya pada tahun 2015, merosotnya harga minyak dunia disambut segera dengan penghapusan subsidi. 

Oktan 88 hanya digunakan di Indonesia dan sebenarnya biaya produksinya lebih mahal daripada oktan 92. Tetapi, karena permintaannya sangat besar, lima dari enam kilang minyak Pertamina memproduksi Premium.  Subsidi yang dibiayai pembayar pajak ternyata mengunci sumber daya yang berharga untuk produk mahal berkualitas rendah.

Data Global Subsidies Initiative menunjukkan bahwa sepanjang 2006-2011 (kecuali 2009), anggaran subsidi BBM lebih besar dibandingkan investasi jangka panjang untuk barang modal (infrastruktur). Ketimpangan alokasi ini berdampak negatif kepada kinerja Infrastruktur Transportasi Indonesia yang melorot 40 peringkat antara tahun 2007 dan 2012.  International Logistics Performance Index pun turut terseret dimana peringkat tahun 2016 lebih rendah dibanding 2007. 

Buruknya logistik mengakibatkan tekanan inflasi terhadap barang-barang konsumsi. Tentu kita semua pernah mendengar pernyataan The World Bank bahwa lebih murah mengimpor jeruk dari Cina ke Indonesia daripada membelinya dari Kalimantan. 

Menariknya, harga minyak dunia ternyata pernah jatuh juga di tahun 2009.  Mengapa subsidi tidak dihapuskan saat itu?  Ternyata, 2009 adalah tahun pemilu yang bukan sembarang pemilu, tetapi pemilu kedua (dan terakhir) untuk pemimpin saat itu.  Jadi jika 2009 dibandingkan dengan 2015: harga minyak sama-sama rendah, sama-sama tahun politik, political will-nya yang berbeda.

 

Jadi, apakah kepentingan politik-ekonomi dan amanat kesejahteraan sosial bisa “didamaikan” dalam BUMN/D? 

Kembali kepada air dan minyak, mereka ternyata bisa bercampur dengan bantuan deterjen.  Dengan satu ujung molekul hydrophilic (‘suka air’) dan ujung lainnya hydrophobic, deterjen menjadi pengikat kedua zat untuk membentuk campuran yang stabil. 

Political will yang kuat dengan kemampuan manajemen politik-ekonomi jangka pendek dengan kesadaran penuh akan kesejahteraan sosial jangka panjang adalah “deterjen” yang dibutuhkan untuk mengelola BUMN/D secara efektif, guna memastikan kepentingan politik-ekonomi tidak mengapung ke permukaan dan meninggalkan kesejahteraan sosial tenggelam ke dasar.

 

Ikuti tulisan menarik Andree lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu