Nasionalisme (dalam) Sebuah Baliho
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBMerupakan opini mengenai nasionalisme yang bisa muncul dari sebuah baliho. Nasionalisme disini merupakan nasionalisme dalam sudut pandang masyarakat.
Seeking what is true is not seeking what is desirable – Albert Camus
Di tepian jalan protokol kota dan banyaknya kendaraan serta pejalan kaki yang beraktivitas, terpampanglah sebuah baliho yang bervisualkan wajah dan untaian kalimat bernada eksistensialisme seorang calon pemimpin daerah. Baliho yang terdiam dan terpaku seolah menanti para manusia untuk sekedar berhenti dan melihat informasi apa yang terkandung di dalamnya. Tapi apalah daya, setiap insan manusia hanya melewatinya begitu saja.
Baliho, spanduk, atau media informasi apapun namanya akhir-akhir ini mulai semakin meramaikan jalanan protokol di setiap kota besar. Tentu bukan baliho rumah makan padang atau baliho minimarket berjejaring yang bahkan dalam jarak sekian meter selalu terpampang nyata. Media informasi yang saya maksudkan disini adalah media informasi yang menjadi ajang promosi bagi para calon pimpinan daerah yang memantapkan diri untuk maju dalam pesta demokrasi di tiap daerah. Baliho dan lain sebagainya tersebut tentu dibuat dengan mengerahkan segala sumberdaya yang dimiliki, baik dari sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial. Informasi yang ditampilkan dalam media komunikasi tersebut disusun sedemikian rupa sehingga diharapkan dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat sesuai dengan yang dikehendaki oleh tokoh atau kelompok yang berkaitan dengan media-media komunikasi tersebut.
Pertanyaannya adalah: apakah benar bahwa sebuah baliho yang dipasang dalam rangka menyemarakkan pilkada dapat menjadi ukuran untuk suatu hal yang disebut dengan nasionalisme? Jika masyarakat setempat tidak memedulikan baliho tersebut apakah berarti mereka tidak memiliki nasionalisme? Kedua pertanyaan tersebut muncul di benak kami sesaat setelah kami sampai di suatu jalan utama dari sebuah kota. Baliho di sudut jalan itu tidak hanya satu tetapi ada beberapa buah yang tentu saja sudah menyita ruang kosong yang tersedia.
Rasa penasaran akan jawaban dari pertanyaan tersebut akhirnya terjawab sudah. Entah karena yang kami temui adalah warga masyarakat yang sungguh polos atau karena merasa enggan dan tidak terlalu peduli dengan perpolitikan di negeri ini, jawaban yang muncul dari mereka ketika kami ingin meminta respon mereka mengenai baliho yang terpasang di sekitar mereka tersebut menyiratkan bahwa mereka tidak terlalu memedulikan foto siapa yang ada dalam baliho tersebut atau pesan apa yang akan disampaikan. Secara mendasar, mereka paham bahwa baliho tersebut adalah baliho yang berkaitan dengan pemilihan pimpinan daerah atau negara. Jawaban jujur yang mereka ketengahkan adalah siapapun yang akan menjadi pimpinan daerah atau negara, mereka hanya berharap kehidupan yang mereka jalani akan selalu damai dan tenteram.
Mendengar jawaban tersebut, sontak kalimat dari Albert Camus diatas menjadi sangat relevan. Ya, mencari sesuatu yang tepat, bukanlah berarti mencari sesuatu yang diinginkan. Ketika pihak yang berkaitan dengan baliho tersebut, memasang sekain banyak media komunikasi di ruang publik, apakah mereka sudah pula mempertimbangkan bagaimana respon masyarakat sekitar mengenai baliho yang terpasang. Atau mereka menganggap bahwa tidak perlu tahu bagaimana respon masyarakat sekitar, yang penting baliho terpasang dengan sukses. Entahlah. Tetapi akan sangat disayangkan apabila ternyata baliho yang sudah dibuat dengan susah payah (dan sejumlah besar uang dikeluarkan tentunya) ternyata tidak mampu menjadi penyampai pesan bagi masyarakat.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya. Apakah masyarakat yang memberikan jawaban bernada ketidakpedulian mereka terhadap baliho dan segala tetekbengek pemilihan kepala daerah atau kepala negara, berarti mereka tidak nasionalis? Tidak memiliki nasionalisme yang besar terhadap bangsa ini? Benedict Anderson (dikenal juga dengan nama Ben Anderson), dalam bukunya yang berjudul Kuasa-Kata, menyatakan bahwa konsep nasionalisme akan terbentuk ketika sudah ada bahasa bersama (1990: 420). Jika memperhatikan kalimat tersebut, maka tidak bisa kita menjastifikasi bahwa ketika masyarakat tidak memedulikan segala hal yang berbau politik, bukan berarti mereka tidak nasionalis tetapi lebih kepada tidak adanya bahasa bersama yang muncul sehingga tidak terbentuk nasionalisme. Bisa jadi dalam diri setiap warga masyarakat di sekitar tempat baliho tersebut sudah ada jiwa nasionalisme.
Baliho terpasang dengan gagah tetapi tidak ada bahasa bersama maka tidak akan ada nasionalisme. Berarti pesan dalam baliho juga tidak bisa tersampaikan. Ironi nasionalisme (dalam) sebuah baliho yang entah sampai kapan akan seperti ini.
Dosen Program Studi Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
0 Pengikut
Menghadirkan Pancasila dalam Era Revolusi Industri Keempat
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBNasionalisme (dalam) Sebuah Baliho
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler