x

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenali Si Bodoh-Bodoh Pintar

Kebenaran bisa menimbulkan ancaman, dan orang yang terancam justru akan menyerang balik. Ini sebabnya orang pintar pun bisa tetap tampak bodoh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam satu naskah dramanya yang terbit pada 1672, Moliere menuliskan kalimat yang di kemudian hari kerap dikutip sebagai kata-kata bijak ini: si bodoh yang tahu banyak lebih bodoh ketimbang si pilon yang tak tahu apa-apa. Ilmu pengetahuan modern, juga pengamatan jujur terhadap kecenderungan yang ada, terutama dalam konteks perkembangan politik akhir-akhir ini, memang membenarkan kata-kata aktor dan pengarang naskah drama dari Prancis ini.

Kenyataan pahit --tapi mungkin juga ironis-- itu sebenarnya berkaitan dengan satu dari sekurang-kurangnya tiga masalah yang timbul dalam upaya menyorongkan fakta sebagai cara melawan hoax, berita bohong, dan informasi palsu yang kini merajalela karena memang sengaja diproduksi dan disebarluaskan: bahwa kebenaran bisa menimbulkan ancaman, dan orang yang terancam justru akan menyerang balik.

Ada dua faktor berperan besar di balik “efek serangan balik” itu, yakni kecenderungan orang pada umumnya, ketika harus merasionalkan suatu fenomena, untuk mencari kawan dan atau hanya memilih penjelasan yang memang diinginkannya. Kecenderungan yang pertama lebih merupakan cara orang untuk tetap berhimpun di kaumnya atau kelompoknya, bukan keikhlasan mencari kebenaran. Yang kedua berkaitan dengan upaya mencari pembenaran atas apa yang sudah diyakini sejak awal.

Motif mencari kawan, sekutu, atau kelompok sudah teruji melalui percobaan yang dilakukan dua psikolog, Albert Hastorf dari Dartmouth College dan Hadley Cantril dari Princeton University, pada 1954. Melalui makalah berjudul “They Saw a Game”, Hastorf dan Cantril memaparkan bagaimana penilaian dan respons dua kelompok responden terhadap pertandingan American football yang menghadapkan tim Dartmouth Indians dan Princeton Tigers.

Pertandingan itu berlangsung keras dan kasar; seorang quarterback Princeton menderita patah tulang hidung dan seorang quarterback Dortmouth patah tulang kaki. Berdasarkan rekaman pertandingan yang diperlihatkan, mahasiswa Dartmouth cenderung mengabaikan pelanggaran-pelanggaran tim Dartmouth dan cepat melihat kesalahan-kesalahan pemain Princeton. Mahasiswa Princeton bereaksi sebaliknya. Hastorf dan Cantril menyimpulkan, sekalipun melihat rekaman yang sama, kedua kelompok responden punya pandangan yang bertolak belakang. Masing-masing punya persepsi sendiri, yang sangat dipengaruhi oleh kesetiaan pada kelompoknya.

Dalam konteks naungan politik, studi yang lebih mutakhir dilakukan dengan memperlihatkan video suatu demonstrasi kepada mahasiswa yang jadi responden. Kepada mereka dituturkan demonstrasi itu tentang apa: sebagian diberitahu bahwa aksi protes itu dilakukan aktivis yang memperjuangkan hak kaum gay di depan kantor rekrutmen tentara, memprotes kebijakan yang melarang mereka yang sudah ketahuan gay, lesbian, atau biseksual untuk menjadi anggota militer; sebagian yang lain diberitahu bahwa protes itu dilakukan kelompok antiaborsi di depan satu klinik aborsi.

Seperti eksperimen terdahulu, kedua kelompok responden punya perbedaan pandangan yang tajam mengenai apa yang terjadi. Pandangan ini dipengaruhi oleh kesetiaan politik masing-masing kelompok. Mahasiswa dari kalangan liberal santai saja menyaksikan demonstran yang mereka kira pendukung hak kaum gay, tapi risau terhadap demonstran antiaborsi. Mahasiswa konservatif bersikap sebaliknya.

Lagi-lagi seperti eksperimen terdahulu, perbedaan itu bukan tentang prinsip-prinsip umum, melainkan berkaitan dengan hal-hal khusus, misalnya apakah demonstran meneriaki orang-orang yang lewat atau apakah demonstran memblokade akses ke kantor atau klinik tersebut. Dengan kata lain, setiap anggota kelompok ingin melihat apa yang dia mau lihat, dan menyangkal fakta yang mengancam kesadarannya tentang siapa dia sesungguhnya. Inilah yang dalam psikologi sosial disebut motivated reasoning. Terhadap orang seperti ini, fakta tak bakal membuat dia menyadari kekeliruannya. Pembenci Jokowi, yang percaya bahwa Jokowi bukan muslim, misalnya, akan semakin yakin Jokowi memang bukan muslim sekalipun dikonfrontasikan dengan fakta bahwa Jokowi telah berhaji--dengan berbagai cara mereka berusaha mendeskreditkan semua hal yang berkaitan dengan fakta ini.

Bodohkah pendirian dan tindakan itu? Mungkin. Tapi, seperti kata Moliere, orang yang melakukannya bukan tak tahu apa-apa; mereka jelas terekspos pada bermacam-macam informasi, fakta. Pengetahuan itu yang menjadikan kepilonannya berada di level yang lebih runyam ketimbang orang yang cuma bebal karena tak tahu apa-apa.

 

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu