x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pembakar Bendera Bisa Dijerat Pasal Kebencian

Dalam ajaran Islam, menyakiti orang lain dengan cara apapun, termasuk mencaci maki terlebih menebarkan kebencian, merupakan ajang membuka aib sendiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Entah apa yang ada dalam pikiran mereka yang dengan penuh kebencian membakar bendera. Padahal, bendera tak menunjukkan arti apapun, kecuali secarik kain yang seringkali dikaitkan dengan identitas kekelompokan. Apapun dalihnya, membakar bendera milik kelompok tertentu adalah ekspresi kebencian yang mendalam dimana secara agama dan hukum jelas tidak dibenarkan. Agama melarang siapapun untuk membenci sekalipun bersalah, terlebih jika tidak. Kebencian tentu saja akan mendorong kepada permusuhan yang pada akhirnya timbul konflik kekerasan dimana hal ini mengganggu keutuhan bangsa dan negara.

Dalam ajaran Islam, menyakiti orang lain dengan cara apapun, termasuk mencaci maki terlebih  menebarkan kebencian, merupakan ajang membuka aib yang tanpa disadari telah membuka borok dirinya sendiri di depan publik. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad sangat marah ketika ada diantara umatnya yang saling membenci. “La tu’dzuu ‘ibadallahi wa laa tu’ayyiruuhum wa laa tathlubuu ‘auraatihim” (Janganlah kalian sakiti hamba-hamba Allah dan janganlah kalian caci-maki dan jangan kalian menuntut agar saudaramu membuka auratnya). Siapapun pasti kecewa jika rasa kebencian dikobarkan kepada pihak tertentu yang dengan jelas ditunjukkan oleh perusakan simbol-simbolnya.

Jika ungkapan kebencian ditegaskan ke publik terlebih sengaja disebarkannya, hal ini juga dianggap sebagai upaya melawan hukum. Saat ini, soal ujaran kebencian yang dipublikasikan di media sosial jelas berimplikasi hukum sesuai dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Walaupun seringkali ketentuan pasal ini multitafsir terkait apa sebenarnya yang dimaksud “rasa kebencian” yang dimaksud, namun paling tidak ada upaya hukum untuk memberikan rasa keadilan masyarakat. Frasa “kebencian” memang terkait dengan perasaan yang tentu saja sulit dibuktikan, kecuali memang ditunjukkan dengan ucapan dan perbuatan. Lalu, bagaimana dengan ungkapan rasa kebencian yang ditujukan kelompok tertentu dalam hal melakukan pembakaran terhadap simbol-simbol, seperti bendera? Saya rasa anda dapat menilainya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Wajar jika banyak pihak yang kecewa terhadap kejadian pembakaran bendera terlebih didorong oleh betapa besarnya rasa kebencian dalam diri para pembakarnya. Yang menjadi sangat disayangkan, kejadian itu berlangsung ditengah hari jadi santri dimana teladan atas nilai-nilai moralitas para santri, sebagai masyarakat pencinta ilmu, pengabdi guru, hormat dengan sesama, toleransi, menjaga tradisi baik dalam berbangsa dan bernegara, justru tercoreng. Bukankah jelas bahwa santri adalah pencari ilmu dengan tujuan sebagai sarana mencapai ketakwaan kepada Tuhan? Takwa tentu saja penuh dengan nilai-nilai moral kebajikan yang menghiasi setiap orang yang gemar mencari dan mencintai ilmu pengetahuan. “Afdlalul ‘ilmi ‘ilmu al-haal wa afdlalu al-‘amal hifdzu al-haal” (ilmu yang paling utama adalah prilaku/akhlak dan prilaku yang paling utama adalah menjaga akhlaknya), demikian bunyi teks yang tertera dalam kitab utama para santri, Ta’lim al-Muta’allim.

Peringatan Hari Santri Nasional justru dirusak oleh oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan dirinya santri, padahal bukan. Saya yakin, santri jelas memiliki nilai kewarasan berpikir, kedewasaan bertindak, dan tentu saja selalu menjaga nilai-nilai moral yang diajarkan para guru dan kiainya. Santri adalah elit masyarakat karena secara sosial terdidik dan mendapatkan kelebihan ilmu pengetahuan dibandingkan masyarakat lainnya. Sudah sejak dulu, para santri sangat dihormati masyarakat karena sikap dan prilakunya yang terpuji, cerdas, dan sangat menghormati sesamanya. Hampir tak pernah ditemukan dalam sejarah, santri dituduh sebagai pembenci atau bahkan membuka auratnya sendiri dengan menebarkan kebencian kepada pihak lain yang jelas saudaranya sendiri.

Bagi yang merasa santri, tentu saja merasa kecewa dengan adanya prilaku menebar kebencian kepada sesama santri yang juga sedang mempelajari agama Islam. Tidak hanya itu, definisi santri sebagaimana termaktub dalam KBBI, sebagai “orang yang saleh” jelas menafikan segala macam terkait prilaku buruk dan tindakan apapun yang mendorong upaya kebencian. Kesalehan membentuk setiap pribadi menjadi lebih baik, lebih bermanfaat, disukai masyarakat dan menjauhi hal-hal apapun yang dianggap buruk oleh dirinya sendiri. Mengumbar perasaan benci apalagi diiringi dengan prilaku yang berlebihan, jelas dibenci agama dan terkait dengan pelanggaran hukum sosial.

Marilah kita jaga nilai-nilai kesantrian kita, dengan tetap berpegang teguh kepada kebenaran dan yang paling utama menjaga prilaku dengan tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Bagi saya, ajaran-ajaran pesantren yang sedemikian luhur semestinya dipedomani, dihayati, dan diaktualisasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Menjadi santri jelas bangga terhadap ajaran-ajaran moral dan nilai-nilai kebajikan yang telah diajarkan, bukan justru tercederai dengan mengumbar aspek kebencian kepada pihak lain. Penting untuk diingat, negara jelas secara tegas akan menghukum mereka yang mengumbar rasa kebenciannya kepada pihak lain, sekalipun pihak lain bersalah. Hal ini jelas demi mengantisipasi kerusakan yang lebih besar, terlebih jika dilakukan pembiaran kepada mereka yang menebarkan kebencian.

Saya bangga menjadi santri yang tak pernah jadi pembenci, karena saya yakin ajaran moral pesantren yang dititipkan kepada para santrinya mendorong terciptanya suasana senang dan gembira bukan menebarkan rasa ketakutan kepada masyarakat. Saya juga meyakini, bahwa ajaran Islam memuat nilai-nilai luhur moralitas, bahkan dalam hal mengajak kepada kebenaranpun harus dilalui dengan cara-cara bijak (hikmah) dan cerdas (mau’idzatul hasanah). Semoga para santri masih tetap teguh menjadikan ajaran-ajaran pesantren yang bermartabat, sebagai penjaga atas nilai-nilai tradisi, budaya, adat, dengan mengedepankan sisi kehalusan berbudi tanpa harus diiringi emosi apalagi sampai mencaci maki. Selamat Hari Santri, Mari Jaga Kewarasan Diri!

 

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu