x

Iklan

Supryadin Advocasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2019

Rabu, 8 Mei 2019 12:18 WIB

Pilpres 2019, Pertarungan Oligarkhi untuk Merebut Kue Kekuasaan

Pilpres 2019 adalah elit orgarkhi dalam merebut kue kekuasaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menarik Pemilu serentak tahun 2019, menjadi tanda tanya untuk kita semua bahwa antara Kubu 01 dan Kubu 02, siapa yang menang dan kalah. Untuk sekarang menjadi rahasia Komisi Pemilihan Umum, sebelum diumumkan terhadap publik sesuai ketentuan yang berlaku.

Untuk kubu 01 sangat menunggu keputusan resmi dari KPU dalam mengumumkan, meskipun para pendukungnya sudah mendeklarasikan bahwa 01 yang akan menjadi presiden 2019-2024 berdasarkan hasil lembaga survei Cuick Count.

 Sedangkan kubu 02 sudah mendeklarasikan bahwa mereka yang memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil lembaga survei Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun ada bertentangan hasil ke dua lembaga survei itu, sebenarnya tidak dapat mempergaruhi keputusan KPU untuk mengumumkan secara resmi.

Keputusan KPU adalah bagian keputusan rakyat indonesia juga, karena rakyat yang memilih pada tanggal 17/april/2019 kemarin. Sesuai yang dikantongi suara yang terbanyak. Maka dia yang berhak menjadi presiden dan wakil presiden selanjutnya.

Memang pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini, sangat memunculkan perbincangan di kalangan komunitas rakyat mulai dari kaum Petani, kaum Buruh, kaum Nelayan. Bahkan koorporasi pemilik modal.

Berkaitan Visi-Misi ke dua pasangan Calon pilpres antara Jokowi-Mahruf Amin dan Prabowo-Sandi sama-sama mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.

Jika mengutip di bukunya Handbook, (Sistem Politik Indonesia). Ada empat yang sangat relevansi dalam budaya politik, sehingga melahirkan prilaku-prilaku aktor politik.Ini ada keterkaitan dalam pemilu serentak kali ini, yakni;

Pertama Kebudayaan Subjek-Parokial merupakan tipe kebudayaan politik saat sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat suku yang feodalistik.

Kedua Kebudayaan Subjek-Partisipan adalah secara proses peralihan dari budaya subjek menuju budaya partisipan yang berlangsung sangat berpengaruh oleh cara bagaimana peralihan kebudayaan parokial menuju kebudayaan.  

Ketiga Kebudayaan parokial-partisipan sebagai kondisi biasanya terjadi di dalam negara yang sedang berkembang. Hampir semuanya relatif memiliki budaya parokial. Karenanya tidak aneh jika terjadi hampir semau sistem politik di negara berkembang terancam oleh fragmentasi parokial yang tradisional. Seperti di jalankan negara republik Indonesia sekarang

Ke Empat Parokial-Subjek-Partisipan sebagai kebudayaan masyarakat yang menekakan pada partisipan rasional dalam kehidupan politik digabungkan dengan partisipasi rasional dalam kehidupan politik, yang digabungkan dengan adanya kecederungan politik parokial dan warga negara maka jadikan sikap-sikap tradisional. 

Betapapun menimbulkan ketegangan antara kultur dan struktur serta kecederungan menuju instabilitas struktur.

Jika kita mengamati setelah Pilpres selalu saja mengklaim menang kubu 01 dan kubu 02. Ini membuat masyarakat ikut merasakan kebingungan atas stigmalisasi yang muncul di publik.

Bahkan media sosial seperti Whats App, Instagram dan lebih-lebih di Facebook menjadi tempat ujaran kebencian di yang dilakukan pendukung. Sehingga mereka mengiring isu-isu yang tidak jelas terhadap masyarakat sosial.

Prilaku seperti itu membuat masyarakat yang tidak tau persis persoalan yang terjadi, dan ikut merasakan juga kekecewaan, takut, dan marah atas tindakan tim pendukung tersebut.

Bahwa problematika memilih demokrasi tidak hanya sampai disitu, sebab ada dua persoalan yang juga sulit didamaikan antara islam dan demokrasi, yaitu soal kedaulatan dan skularisme. Sejak era islam klasik, para ulama telah mengembangkan al-din wa al dawlah, yaitu kesatuan islam da Negara.

 

 

Perdebatan ini tak kunjung tuntas hingga hari ini. Bahkan perdebatan soal islam dan demokrasi lebih banyak melahirkan pertanyaan dan ketimbang jawaban.

Realitas politik antara oligarkhi dan demokrasi tidak mudah dipisahkan seperti berbicara definisinya masing-masing. Sebab faktanya meskipun suatu negara berbentuk demokrasi, tetapi kecederungan penguasaan negara bisa dikuasai oleh segelitir orang elite politik.

Demokrasi dicengkreman olirgakhi, atau demokrasi cita rasa oligarkhi, bisa saja terjadi. Kondisi seperti ini ditunjukkan oleh sistem politik Indonesia sejak 2014 sampai dengan sekarang ini. Indonesia memang menganut sistem demokrasi, tetapi sistem ini terperangkap di dalam satu mekanisme politik oligakhi.

Tentu saja, oligarkhi ini merusak sistem. Oligakhi yang dimaksud adalah oligarkhi partai. Oligarkhi partai yang tengah berlangsung di Indonesia saat ini telah mengendalikan presiden, juga masuk dalam proses APBN.

Ketika demokrasi Indonesia terkonsolidasi, para oligarkhi mengukuhkan posisi sebagai pelaku utama dalam kehidupan politik Indonesia. Cengkeraman mereka dalam kehidupan politik Indonesia terlihat sangat jelas dalam struktur dan operasi parpol.

Kita mengamati selama ini antara kubu 01 dan kubu 02, mana lebih dominasi dalam memperebutkan kekuasaan atau menarik perhatian rakyat Indonesia. Tentu mereka mempunyai propaganda politik yang berbeda.

Hadirnya oligarkhi ini mulai dari keberlangsungan sistem politik yang dipilih. Sistem politik kita, dalam skema penyelenggara pemilu, berdampak pada inkonsistensi tak berkesudahan dalam praktik presidensialisme di negeri ini.

Kepentingan menjadi hendaknya dalam mencapai kekuasaan dalam membangun kesepakatan-kesepakatan politik yang menguntungkan kelompok kepentingan dan pemilik modal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Supryadin Advocasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler