Jika Jokowi Menang dan DPR Didominasi Pengusungnya
Rabu, 8 Mei 2019 12:12 WIBTanpa kehadiran DPR yang mampu mengimbangi kinerja eksekutif, pemerintah dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada pandangan pengimbang yang kritis dari pihak lain.
Perolehan suara partai-partai politik untuk DPR dalam Pileg 2019 cukup memberi gambaran mengenai komposisi kursi di lembaga legislatif pusat. PDIP menempati posisi teratas, diikuti Gerindra, Golkar, NasDem, Demokrat, PKB, PKS, PAN, dan PPP. Partai-partai lainnya, baik lama maupun baru, mungkin tidak akan mampu menembus ambang batas parlementer 4%, sehingga mereka tidak akan memiliki wakil di DPR.
Apabila koalisi PDI-P [Golkar, NasDem, PKB, dan PPP] berjalan terus, maka partai-partai yang bergabung dalam koalisi ini memperoleh mayoritas suara. Pertanyaannya: apa yang akan terjadi bila Joko Widodo terpilih kembali sebagai presiden dan DPR didominasi oleh partai-partai pengusungnya? Akankah pemerintahan Jokowi mendatang akan menjadi terlampau kuat dan tidak terimbangi oleh parlemen? Terlebih lagi bila Demokrat dan PAN melepaskan diri dari ikatan dengan Gerindra dan PKS. Bagaimana dampaknya bagi perkembangan demokrasi kita?
Kita tahu, pemerintahan yang kuat membutuhkan dukungan parlemen agar kebijakan dan programnya dapat berjalan mulus. Sekalipun kita menganut sistem presidensial, secara faktual kebijakan pemerintah dapat dipertanyakan dan diganggu oleh interupsi partai-partai yang tidak bergabung dalam pemerintahan koalisi. Stabilitas politik dapat diperoleh apabila dukungan DPR kepada pemerintah benar-benar solid.
Namun, di sisi lain, bila mayoritas DPR dikuasai oleh partai-partai yang sama dengan yang duduk di kabinet, sikap kritis parlemen bisa jadi akan luntur. Anggota DPR koalisi pemerintah sangat mungkin mendukung apa saja kebijakan pemerintah. Kecenderungan ini mungkin akan semakin menguat dalam periode 2019-2024 mendatang, mengingat partai-partai politik lebih menyukai duduk di pemerintahan dan sekaligus di parlemen ketimbang hanya duduk di parlemen saja dan tidak masuk dalam kabinet.
Becermin pada pengalaman 2014, parlemen semula didominasi oleh Koalisi Merah Putih yang dimotori Gerindra. Koalisi ini berusaha mengimbangi eksekutif yang dikendalikan oleh Koalisi Indonesia Hebat dan dimotori PDI-P. Namun kemudian kekuatan Koalisi Merah Putih di DPR dipreteli dengan cara menarik PPP ke dalam kabinet, menyusul PAN, dan kemudian Golkar—walaupun PAN kemudian bergabung dengan Gerindra dalam Pemilu 2019. Dengan bergabungnya ketiga partai ini, Koalisi Indonesia Hebat praktis mengendalikan pemerintahan dan menjadi mayoritas pula di DPR. Dan kali ini, setelah pemilu 2019, bukan tidak mungkin Demokrat yang terbiasa netral akan memilih bergabung dalam pemerintahan yang baru. Maknanya, kekuatan pendukung pemerintah di DPR pun bertambah.
Di negara manapun, duduk di kabinet memang menjadi pilihan yang lebih menarik bagi partai politik ketimbang hanya duduk di parlemen saja. Sayangnya, dengan menempatkan wakilnya di kabinet, wakil partai di parlemen akan cenderung bias dalam menanggapi kebijakan dan tindakan pemerintah. Ya, bias sebagai partai sesama koalisi. Bagaimana mungkin parlemen yang mayoritasnya dikuasai partai-partai koalisi pemerintah akan menolak kebijakan pemerintah yang wakil partainya duduk dalam kabinet.
Apabila kebijakan dan program pemerintah itu bagus buat rakyat, bangsa, dan negara ini, dukungan DPR akan membuahkan hasil yang baik. Tapi, bagaimana jika terdapat isu-isu yang memerlukan sudut pandang yang sama sekali berbeda dari anggota parlemen karena rakyat dan negara berpotensi dirugikan atau dilemahkan? Akankah anggota DPR hanya mengikuti keputusan elite partai untuk mendukung kebijakan pemerintah dan mengabaikan suara rakyat yang telah memilih mereka?
Dilema ini muncul dan berpotensi melemahkan rakyat manakala para anggota DPR lebih menyuarakan kepentingan elite partai ketimbang menyuarakan kepentingan rakyat. Di negeri kita, kekuasaan elite partai—ketua umum khususnya—demikian besar, sehingga banyak anggota DPR yang akan sepenuhnya patuh kepada ketua umum ketimbang menanggung risiko dicopot dari kursinya di DPR dan digantikan orang lain. Para anggota DPR terpaksa memilih jadi petugas partai yang patuh ketimbang mewakili rakyat yang di saat pemilu telah dibujuk-bujuk agar mau memberikan suara mereka.
Tanpa kehadiran DPR yang mampu mengimbangi kinerja eksekutif, pemerintah dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan tanpa ada pandangan pengimbang yang kritis dari pihak lain. Meskipun presiden terpilih oleh rakyat, bukankah perolehan suaranya tidak seratus persen? Mampukah ia menjadi presiden yang mendengarkan suara seluruh rakyat? Dan mampukah minoritas parlemen menyuarakan kepentingan rakyat agar diadopsi pemerintah? >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler