x

Paulina, siswi SD Pelita Mutiara, YP Parulian, Medan, gemar membaca buku, berbagi cerita dan berpantu. Foto oleh Dedy Hutajulu

Iklan

dedy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Agustus 2019

Senin, 12 Agustus 2019 19:16 WIB

Membangun Budaya Berpantun

Berbalas pantun bukan saja demi merajut kembali budaya berpantun di kalangan generasi millenial, tetapi juga sekaligus wadah bagi anak-anak ini untuk berekspresi serta momentum membangun rasa percaya diri mereka atas buah-buah pikir mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jalan jalan ke Simalingkar
Singgah sebentar di Jalan Pala
Jadilah anak yang pintar
Supaya nanti dapat juara

ALBERT Hutagaol, murid kelas 2 SD Pelita Mutiara, Simalingkar, Medan itu melantunkan pantun di muka sesaat sebelum mengakhiri wejangan pagi. Spontan, Ike, teman sekelasnya membalas dengan pantun yang tak kalah asyik:

Australia negeri kanguru
Indonesia alamnya permai
Sungguh mulia jasamu guru
Mendidik kami menjadi pandai

Seakan tak mau kalah dari adik kelasnya, Paulina, siswi kelas 6 menyahut dengan pantun berikut:

Ada sisir ada kaca
Ada kuda mirip keledai
Rajin menulis gemar membaca
Itu pertanda anak pandai.

Tepuk tangan pun membahana. Guru dan kepala sekolah mengapresiasi anak-anak ini. Upaya berbalas pantun kini terus dikembangkan oleh Yayasan Parulian Medan. Berbalas pantun bukan saja demi merajut kembali budaya berpantun di kalangan generasi millenial, tetapi juga sekaligus wadah bagi anak-anak ini untuk berekspresi serta momentum membangun rasa percaya diri mereka atas buah-buah pikir mereka.

Seperti kita ketahui bersama, berpantun adalah bagian tak terpisahkan dari budaya Nusantara. Sebagai warisan budaya Melayu, berpantun amat tinggi nilainya. Sayang, modernisasi dan kemajuan teknologi informasi perlahan telah menggerus sebagian besar budaya lokal kita, termasuk pantun. Budaya berpantun dikuatirkan semakin ditinggalkan generasi millenial. Karena itu, upaya yang dikerjakan SD Pelita Mutiara melalui program literasinya, patut diapresiasi. Sekolah di pelosok Medan ini begitu serius dan konsisten mendekatkan anak terhadap pantun.

Harus kita akui, membawa kembali pantun sebagai bagian dari keseharian anak-anak kita bukanlah perkara gampang. Kata kuncinya adalah pembiasaan. Menciptakan sebuah kebiasaan baru tentu saja membutuhkan pengorbanan dan harus bayar harga. Namun Pelita Mutiara melakukannya justru dengan senang hati, dedikasi dan komitmen tinggi.

Merawat budaya berpantun tentu saja merawat keseluruhan budaya kita sendiri. Medan, misalnya didominasi budaya melayu. Itu artinya, posisi pantun amat tinggi derajatnya. Kita akan kerap mendengar pantun dalam berbagai kegiatan resmi. Namun jika tidak terbiasa dengan pantun, anak-anak kita seperti tercerabut dari akar sosialnya. Karena itu mengenalkan pantun kepada seluruh anak didik sejak dini amat penting.

Melalui gerakan literasi sekolah, budaya berpantun mudah diselipkan di berbagai situasi. Anak-anak juga merasa senang karena turut terlibat menciptakan pantun sesuai konteks dimana ia tinggal dan dimana ia berada. Kebiasaan berpantun ini menjadi satu daya tarik tersendiri sekaligus keunikan bagi SD Pelita Mutiara.

Kepala SD Pelita Mutiara Lenta Br Karo-karo mengatakan, sejak sekolah yang dipimpinnya itu menerapkan program literasi, anak-anak didiknya menyambut dengan antusias. Anak-anak gemar membaca dan berpantun. Sekolah berupaya mendorong siswa terus mengandalkan imajinasi dan pengetahuannya dalam berkarya. Beberapa kali sekolah mengumpulkan dan mendokumentasikan pantun-pantun dan cerpen karya anak didiknya. "Berpantun telah menjadi satu kebiasaan baik di sekolah kami ini," ungkap Lenta.

Meski berpantun amat digemari anak-anak, tidak otomatis membuat mereka mudah menciptakan pantun baru. Apalagi pantun yang lahir secara spontan. Akan tetapi, beberapa orang anak berhasil menciptakan pantun yang lebih orisinal, bukan plagiasi. Karya-karya orisinal itu kemudian didokumentasikan dengan baik untuk dibukukan kelak. "Tantangannya, bagaimana menghasilkan pantun baru yang bukan plagiat," kata Lenta.

Paulina, siswi kelas 6 juga mengakui, menciptakan pantun baru yang orisinal sangatlah tidak mudah. Akan tetapi, pembiasaan berpantun setiap hari perlahan tapi pasti telah berhasil melecut anak-anak didik untuk terus berkreasi. Sebagai hasil, ratusan pantun baru telah diciptakan anak-anak Pelita Mutiara. "Saya baru bisa menciptakan dua," urai gadis remaja berkacamata bulat itu.

Apa yang diperjuangkan Pelita Mutiara ini sepatutnya dipuji dan didukung. Merawat suatu budaya lokal sama dengan merawat masa depan budaya kita juga. Jika anak-anak setingkat SD di garis terdepan kota Medan ini saja begitu mencintai pantun, dan mau merawatnya, masakan kita (orang dewasa) justru tidak? Bukankah itu naif rasanya, menuding generasi hari ini mulai meninggalkan budaya kita, tetapi kita sendiri, para orang dewasa justru acuh-tak acuh dengan pengembangan dan perawatan budaya kita itu. Mari kita turut andil melestarikan budaya berpantun dari sekarang. (*)

Ikuti tulisan menarik dedy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler