x

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 13 September 2019. Beberapa poin dalam draf revisi UU KPK yang didukung Jokowi di antaranya, kewenangan menerbitkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK dari unsur akademisi atau aktivis anti korupsi yang akan diangkat langsung oleh presiden, ijin penyadapan dari dewan pengawas internal KPK serta status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara. ANTARA

Iklan

Ratna Asri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 September 2019

Jumat, 4 Oktober 2019 17:39 WIB

Kata Moeldoko, Buzzer Itu Destruktif: Kenapa Pemerintah juga Dirugikan?

Dominasi para buzzer di media sosial sebetulnya terjadi di banyak negara demokrasi. Platform sosial media yang semestinya bisa dimanfaatkan secara positif oleh publik justru menjadi keruh karena dipenuhi buzzer

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Boleh jadi pemerintah mulai menyadari  mudarat  buzzer pro Jokowi  yang mendominasi media sosial. Mereka cenderung menciptakan situasi keruh.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan keberadaan buzzer atau pendengung sudah tidak diperlukan saat ini. Buzzer, kata Moeldoko, muncul karena perjuangan menjaga marwah pemimpin yang didukung. “Dalam situasi ini, relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran,"  kata Moeldoko  di Gedung Krida Bhakti, Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019.

Menurut Moeldoko, yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang membangun, bukan yang bersifat destruktif. Para pendengung, kata Moeldoko, selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati. "Itu lah destruktif, dan itu sudah tidak perlu lah."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mudarat buzzer
Dominasi  para buzzer di media sosial sebetulnya terjadi di banyak negara demokrasi. Platform sosial media yang semestinya bisa dimanfaatkan secara positif oleh publik justru menjadi keruh karena dipenuhi buzzer.

Mula-mula buzzer digunakan oleh perusahaan untuk mengejot penjualan suatu produk. Tapi lama-lama partai politik dan  tokoh politik yang berlaga dalam pemilu pun memakainya.  Fenomena ini tampak jelas pada pemilihan presiden lalu. Di dunia maya, buzzer pro Jokowi bertarung sengit dengan buzzer pro Prabowo.

Persoalnya, setelah pemilu usai, mereka masih terus beraksi.  Metodanya  tak berubah. Perbincangannya pun bukan pada esensi persoalan tapi lebih saling serang saja.  Nah, ini  menimbulkan  mudarat  bagi semua pihak.

Masyarakat tidak bisa mencerna secara  mudah penjelasan atau latar belakangan mengenai suatu kebijakan. Banyak kritik masyarakat  muncul akibat salah paham atau kurang kompletnya penjelasan pemerintah.

Sebaliknya, pemerintah juga tidak mampu menyerap kecaman atau aspirasi masyarakat karena terhalang oleh keruhnya komunikasi di media sosial.  Situasi ini amat berbahaya karena para pejabat pemerintah tidak bisa merumuskan kebijakan yag sesuai dengan keinginan masyarakat.

Saluran resmi lebih baik
Pemerintah Jokowi lebih baik menggunakan saluran resmi dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Juru bicara kepresidenan dan peran sekretariat negara  perlu dimaksimalkan dalam menjelaskan hal  penting, apalagi bersifat teknis. Kurang sigapnya juru bicara pemerintah dalam menanggapi isu  menyebabkan terjadi kesimpangsiuran, terutama di media sosial.

Kementerian pun sebaiknya menggunakan saluran resmi seperti juru bicara atau humas. Mereka jelas digaji menggunakan anggaran negara secara sah. Mereka sebetulnya juga sudah dilatih untuk berkomunikasi kepada publik. ****

Baca juga:
Pro Jokowi Kuasai DPR-MPR-DPD, Buzzer Dominasi Medsos, Cuma Mahasiswa Harapannya?

Ikuti tulisan menarik Ratna Asri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler