Boleh jadi pemerintah mulai menyadari mudarat buzzer pro Jokowi yang mendominasi media sosial. Mereka cenderung menciptakan situasi keruh.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan keberadaan buzzer atau pendengung sudah tidak diperlukan saat ini. Buzzer, kata Moeldoko, muncul karena perjuangan menjaga marwah pemimpin yang didukung. “Dalam situasi ini, relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran," kata Moeldoko di Gedung Krida Bhakti, Jakarta, Jumat, 4 Oktober 2019.
Menurut Moeldoko, yang diperlukan saat ini adalah dukungan politik yang membangun, bukan yang bersifat destruktif. Para pendengung, kata Moeldoko, selalu melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati. "Itu lah destruktif, dan itu sudah tidak perlu lah."
Mudarat buzzer
Dominasi para buzzer di media sosial sebetulnya terjadi di banyak negara demokrasi. Platform sosial media yang semestinya bisa dimanfaatkan secara positif oleh publik justru menjadi keruh karena dipenuhi buzzer.
Mula-mula buzzer digunakan oleh perusahaan untuk mengejot penjualan suatu produk. Tapi lama-lama partai politik dan tokoh politik yang berlaga dalam pemilu pun memakainya. Fenomena ini tampak jelas pada pemilihan presiden lalu. Di dunia maya, buzzer pro Jokowi bertarung sengit dengan buzzer pro Prabowo.
Persoalnya, setelah pemilu usai, mereka masih terus beraksi. Metodanya tak berubah. Perbincangannya pun bukan pada esensi persoalan tapi lebih saling serang saja. Nah, ini menimbulkan mudarat bagi semua pihak.
Masyarakat tidak bisa mencerna secara mudah penjelasan atau latar belakangan mengenai suatu kebijakan. Banyak kritik masyarakat muncul akibat salah paham atau kurang kompletnya penjelasan pemerintah.
Sebaliknya, pemerintah juga tidak mampu menyerap kecaman atau aspirasi masyarakat karena terhalang oleh keruhnya komunikasi di media sosial. Situasi ini amat berbahaya karena para pejabat pemerintah tidak bisa merumuskan kebijakan yag sesuai dengan keinginan masyarakat.
Saluran resmi lebih baik
Pemerintah Jokowi lebih baik menggunakan saluran resmi dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Juru bicara kepresidenan dan peran sekretariat negara perlu dimaksimalkan dalam menjelaskan hal penting, apalagi bersifat teknis. Kurang sigapnya juru bicara pemerintah dalam menanggapi isu menyebabkan terjadi kesimpangsiuran, terutama di media sosial.
Kementerian pun sebaiknya menggunakan saluran resmi seperti juru bicara atau humas. Mereka jelas digaji menggunakan anggaran negara secara sah. Mereka sebetulnya juga sudah dilatih untuk berkomunikasi kepada publik. ****
Baca juga:
Pro Jokowi Kuasai DPR-MPR-DPD, Buzzer Dominasi Medsos, Cuma Mahasiswa Harapannya?
Ikuti tulisan menarik Ratna Asri lainnya di sini.