Perppu dan Momen Bersejarah Seorang Pemimpin

Rabu, 16 Oktober 2019 10:00 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegentingan itu bukanlah semata-mata ditimbang dari sudut perundangan, melainkan kenyataan sosiologis bahwa suap dan korupsi telah mengarahkan bangsa ini menjauh dari cita-cita kemerdekaan yang ditegakkan dengan keringat, air mata, dan darah para pejuang.

Hingga sehari menjelang berlakunya undang-undang baru KPK, 17 Oktober, rakyat masih belum tahu apakah pemimpinnya akan jadi menerbitkan Perppu untuk menyelamatkan KPK atau tidak. Rakyat menunggu keputusan presidennya, yang barangkali masih perlu waktu lagi untuk menimbang-nimbang dan membuat kalkulasi. Namun rakyat tahu persis inilah momen bersejarah yang akan menunjukkan seberapa tajam kepekaan nurani serta seberapa dekat keberpihakan seorang pemimpin kepada rakyatnya.

Ketajaman kepekaan nurani itu akan mengantarkan seorang pemimpin kepada situasi kegentingan yang menuntut dirinya untuk menyelamatkan bangsa ini dari suap dan korupsi yang telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kegentingan itu bukanlah semata-mata ditimbang dari sudut perundangan, melainkan kenyataan sosiologis bahwa suap dan korupsi telah mengarahkan bangsa ini menjauh dari cita-cita kemerdekaan yang ditegakkan dengan keringat, air mata, dan darah para pejuang—yang akhirnya wafat di medan laga maupun yang sempat menikmati masa-masa lepas dari kolonialisme Belanda dan Jepang serta jatuh bangun membangun negeri ini.

Kenyataan sosiologis yang menuntut sikap dan tindakan pemimpin untuk menyelamatkan bangsa tersebut adalah wujud ‘kegentingan yang memaksa’. Dilihat dari sisi manapun, kenyataan sosiologis bahwa dampak suap dan korupsi demikian buruk terhadap kesejahteraan rakyat dan martabat bangsa sehingga memerlukan tindakan yang radikal, jauh lebih berbobot sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan seorang pemimpin bila dibandingkan dengan ‘terlanjurnya disetujui undang-undang hasil revisi’ oleh pemerintah dan DPR.

Kenyataan sosiologis itu juga jauh lebih berbobot dibandingkan nasihat-nasihat seperti ‘lantas mau dikemanakan kewibawaan pemerintah’. Justru, dengan mengoreksi apa yang sudah diputuskan tapi belum efektif dilaksanakan, seorang pemimpin telah memulihkan kewibawaannya di hadapan masyarakat. Pemimpin yang bijak tidak perlu malu mengakui kekeliruan, sebab itu hal yang manusiawi, namun jika ia tidak mengoreksi kekeliruan itu, ia akan melakukan kekeliruan lebih dalam lagi.

Perppu adalah jawaban atas kenyataan sosiologis sebagai ‘kegentingan yang memaksa’, sedangkan undang-undang hasil revisi itu merupakan wujud ‘kepentingan yang memaksa’, karena dirapatkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, disepakati tanpa resistensi apapun dari satu orangpun anggota DPR, serta disempurnakan dengan salah ketik yang mencerminkan ketergesaan dalam penyusunan. Selesainya revisi dalam waktu yang sangat pendek itu juga memperlihatkan bahwa niat dan gagasan yang tertuang di dalamnya telah dipikirkan sejak lama, tapi waktu yang singkat ini mungkin telah membuat seorang pemimpin tidak cukup punya waktu untuk memahaminya secara jernih dan cermat.

Kini waktu yang tepat bagi pemimpin untuk menuliskan sejarah tentang bagaimana menjadi pemimpin yang memahami benar kehendak tulus dari rakyatnya, yang sangat menginginkan bangsanya bersih dari suap dan korupsi. Tidak banyak orang yang punya kesempatan berharga dan monumental seperti ini, yang akan membuat jutaan rakyat mau bersaksi atas kualitas kepemimpinannya di dunia maupun di akhirat. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
Lihat semua