x

Jalur trekking hutan gambut Taman Nasional Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. TEMPO/Chitra Paramaesti.

Iklan

Debbie Balquisse

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Desember 2019

Senin, 16 Desember 2019 19:03 WIB

Perdagangan Tidak Imbang: Alam dan Manusia untuk Kapitalis di Era Neoliberalis

Pendapat penulis mengenai deforestasi dan eksploitas yang disebabkan pula oleh palm oil sebagai sektor pendukung ekonomi terbersar negara tetapi malah melanggar hak-hak manusia yang lain serta alam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Investasi asing dimulai pada kediktatoran Suharto, diikuti oleh militer bertahap, dukungan rezim baru dari Bank Dunia yang dimulai pada tahun 1967. Zaman yang dianggap kekekalan abadi ini merupakan liberalisasi perdagangan, investasi asing langsung dan ekonomi yang didukung oleh bank dunia adalah akar dari peraturan baru untuk mengeksploitasi sumber daya alam.

Undang-Undang Kehutanan tahun 1967 yang memberikan kekuatan pemerintah pusat untuk memiliki kekuasaan untuk mengendalikan semua wilayah hutan, apalagi itu melegalkan hak eksklusif Jakarta untuk mengeksploitasi 143 juta hektar hutan lebat di Indonesia. Konsesi asing semakin meningkat ketika Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan disahkan dan melegitimasi kekuasaan kontrol negara atas semua sumber daya mineral.

Eksploitasi besar-besaran sumber daya alam Indonesia mendorong Gross Domestic Product Indonesia (GDP) tumbuh dari US $ 7,5 miliar pada tahun 1968 menjadi US $ 242 miliar pada tahun 1996 (Soetjipto, 2018). Lebih lanjut, Bank Dunia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cepat dan lingkungan yang “stabil secara politis” adalah bukti kebijakan neoliberal, menjadikannya "East Asia Miracle." (Sonkin, Mousseau, Mittal, dan Frase, 2018:3)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seiring pertumbuhan ekonomi, pelanggaran terhadap kemanusiaan meningkat karena dilaporkan sedikitnya 500.000 orang tewas di jantung dingin rezim Soeharto tentang pemandian darah anti-komunis sementara Barat tidak hanya menikmati pertunjukan tetapi juga mendukung melalui lembaga internasional, misalnya, Program Transmigrasi. (Beech, 2017)

Proyek kelam abadi menyembunyikan masa yang menyakitkan bagi kelompok-kelompok pribumi, di mana tanah mereka dipaksa untuk diambil alih, tidak mengikuti aturan tradisional mereka sendiri seperti penanaman. Soeharto yang dijuluki bapak pembangunan yang menyetujui adanya dan memberi akses penuh terhadap Multinationals Company dan Foreign Investment untuk masuk dan tumbuh berkembang di Indonesia yang mengakitbatkan terjadinya exploitasi besar-besaran terhadap alam serta manusia itu sendiri. Buruh bukanlah sumber dari semua kekayaan.

Alam juga merupakan sumber nilai guna (dan tentu saja kekayaan materi terdiri) sebagai tenaga kerja, yang dengan sendirinya hanya merupakan manifestasi dari kekuatan alam, tenaga kerja manusia berdasarkan buku Karl Marx, Critiqu of the Gotha Program. Menurut penulis, sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi kita secara tidak langsung pun juga merampas secara sadar hak asasi manusia, setiap tahun, Departemen Komnas HAM Departemen Komplain dan Investigasi menangani setidaknya 1.000 pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh perusahaan terkait pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh sekitar 800 perusahan baru dan 200 kasus yang sedang dalam tahap penyelidikan. (Waagstein, 2015:8)

Orang-orang yang mempertahankan hak tanah mereka sendiri, tidak mematuhi perintah  industri akan sering bertemu dengan penderitaan yang pada akhirnya akan dibunuh oleh keamanan swasta dan yang mengatasnamakan “negara” Misalnya, pada tahun 2015, Jopi Peranginangin, seorang aktivis yang bergabung dengan Aliansi Masyarakat Adat (LMND) di Jakarta 2004, ia menentang perluasan perkebunan kelapa sawit yang ditemukan terbunuh, dan pada tahun 2018, seorang aktivis lingkungan menjadi target dan dikriminalisasi.

Menurut penulis, tetapi kenyataan bahwa dengan adanya pertumbuhan ekonomi terjadi pelanggaran hak asasi manusia seperti eksploitasi manusia, jam kerja yang panjang, upah yang tidak sesuai dengan waktu kerja, pengambilan tanah masyarakat adat, kekerasan serta pelecehan dalam lingkunan kerja.  

Peningkatan atas pengambilan tanah atau lahan bahkan merebut paksa hutan subur yang biasanya digunakan oleh masyarakat adat, itu mendefinisikan bahwa neoliberalis, cara berpikir membunuh lingkungan karena perdagangan yang tidak merata antara manusia dan alam. Neoliberal dalam hal ini digunakan untuk merujuk pada orientasi pasar selain kemanusiaan, tetapi lebih berorientasi pada pasar seperti menghilangkan kontrol harga, deregulasi pasar modal, invervensi pemerintah terhadap pasar dll.

Selain itu, peningkatan ekonomi neoliberalisme dapat merusak hak asasi manusia berdasarkan deregulasi, yaitu memberikan tanah mereka sendiri yang merupakan hak atas kepemilikan mereka, melakukan kekerasan terhadap buruh atau bahkan aktivis yang melaporkan kekurangan dalam sistem akan tercancam nyawanya secara paksa dan disengaja.

 Menurut penulis, pemerintah kurang tegas dalam ambil alih untuk mengamalkan sila ke-5 yaitu kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia yang dimana dari kasus ini kesejahteraan bahkan nyawa penduduk di sekitar kawasan industri itu bahkan masyarakat adat pun yang mereka memanfaatkan hutan mereka sendiri untuk kelangsungan hidup merasa terancam dan tidak aman, pengambilan paksa, pelanggaran, kekerasan bahkan peniadaan terhadap hak asasi manusia menurupakan tanggungjawab negara yang disini tidak terlihat andil-andil negara untuk memberikan sanski kepada asing atau swasta dalam penyelewenangan hak asasi manusia.

Menurut penulis, masalah-masalah seperti eksploitasa sumberdaya alam dan manusia bukanlah hal yang hanya terjadi di Indonesia saja dan juga dapat dikatakan sebagai permasalahan global. Negara-negara kurang terbelakang pun juga sering menjadi ‘target’ kapitalist dalam mengupayakan pendapatan profit yang maksimal. Tragedy of the common yang di cetuskan oleh ahli ekologi Amerika bernama Garret Hardin yang mengatakan bahwa inti dari tragedi ini berulang terjadi adalah karena keserakahan yang timbul dari sifat dasar manusia yang berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi kepemilikan bersama untuk pentingan pribadinya yang di dalam kasus ini diperankan oleh negara. Oleh karena itu, dalam tulisan ini menurut penulis cara untuk mengatasi exploitasi ini adalah melalui standardisasi.

Penerapan standardisasi global yang dicetuskan oleh PBB yaitu Sustainable Develompent Goals atau SDGs yang pada tujuan kedelapan adalah Decent Work and Economic Growth yang berhubungan erat dengan ketenagakerjaan dan diikuti dengan Climate Action dan Life on Land di nomer 13 dan 15 tentang keseimbangan lingkunan.

Masalah global yang paling menjadi highlight dalam SDGs yang berhubungan dengan kasus exploitasi sumberdaya alam dan manusia bukan lagi menjadi permasalahan developing countries dan underdeveloping countries tetapi mencakup semua, termasuk developed countries.  Dengan kata lain permasalahan yang di bahas disini adalah hak asasi manusia, yang juga merupakan perncerminan dari Universal Declaration of Human Rights mengenai perlindungan HAM Internasional oleh PBB yang disepakati secara global sehingga isu ini harus menjadi permasalahan bersama, sama hal nya dengan eksploitasi lingkungan yang sudah juga tercatat di dalam International Environmental Law (IEL) yang sangat relevan dengan proses exploitasi dan tumbuhan yang disetujui untuk diperbolehkan masuk dalam proses eksploitasi.

Oleh karena itu, penerapan standardisasi terhadap manusia serta lingkungan menjadi batasan sesuatu yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, yang melanggar dan yang tidak melanggar.

 

Ikuti tulisan menarik Debbie Balquisse lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu