Munarman Tak Ributkan Lagi Izin, Tapi Inilah Jebakan Maut bagi FPI pada 2020

Selasa, 31 Desember 2019 17:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalangan Front Pembela Islam (FPI) tampaknya tidak terlalu mempersoalkan lagi urusan surat keterangan terdaftar bagi organisasi ini. Hal itu terlihat dari sikap Sekretaris Umum FPI Munarman yang menganggap polemik masalah ini sudah selesai.

Kalangan Front Pembela Islam (FPI)  tampaknya tidak terlalu mempersoalkan lagi urusan surat keterangan terdaftar  bagi organisasi ini.  Hal itu terlihat dari sikap  Sekretaris Umum FPI  Munarman yang menganggap polemik  masalah ini sudah selesai.

"Tidak ada paksaan terhadap ormas yang tidak mendaftar, tidak bisa disebut ilegal karena hak berserikat dan berkumpul itu dijamin oleh konstitusi," kata Munarman di Jakarta, 31 Desember 2019.

Seperti diberitakan oleh Antaranews,  Munarman menjelaskan aturan dalam Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, Perpu  dan Putusan MK Nomor 82 Tahun 2013. "Itu sudah jelas sekali bahwa ormas itu tidak perlu mendaftarkan dirinya. Nah, jadi saya kira sudah selesai diskusi tentang itu," ujarnya.

 

Munarwan juga mengatakan,  perbedaannya hanyalah  organisasi  yang terdaftar bisa bantuan dari APBN, atau APBD .  Namun,  ia mengungkapkan  bahwa selama 20 tahun ini FPI tidak pernah menerima fasilitas dari APBN.

Pendapat  tersebut  benar adanya.  Hanya,  pada tahun-tahun mendatang,  nasib FPI masih tetap rawan  karena pemerintah tampak menyorotinya secara tajam. Jika FPI salah langkah sedikit saja, akan bisa menjadi alasan pemerintah untuk bertindak tegas  terhadap  organisasi ini.

Selanjutnya: jebakan...

<--more-->
Jebakan Aturan Ormas
Pemerintah  selama ini telah menyiapkan “perangkap”  bagi ormas lewat  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017.  Kedudukan perpu ini mejadi kuat karena telah disahkan menjadi undang-undang.

Upaya melalukan ujian materi lewat Mahkamah Konstitusi pun kandas.  Dewan Perwakilan Rakyat memang pernah mengatakan akan mengoreksi aturan baru tentang ormas tersebut, tapi hingga kini belum dilakukan.  Revisi UU ormas sempat masuk prioritas legislasi 2019 tapi tidak teralisasi. Anehnya, rencana revisi UU tersebut kini  tidak masuk lagi pada perioritas 2020.

Masalah krusial yang  sering dikritik, lewat perpu yang ditebitkan pada 10 Juli 2017 itu pemerintah bisa membubarkan  organisasi tanpa lewat jalur pengadilan terlebih dahulu.  Dan hanya  berselang sembilan  hari setelah diterbit, perpu itu langsung memakan korban.  Pemerintah  secara resmi mencabut status badan hukum ormas   Hizbut Tahrir Indonesia  dengan alasan  kegiatan ormas  bertentangan  Pancasila dan UUD 1945.

Sanksi pencabutan status badan hukum seperti itu bisa menimpa organisasi lain yang dianggap melanggar larangan yang diatur dalam Perpu tersebut.   Larangan itu antara lain:  melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.  Ormas juga dilarang  melakukan kegiatan yang menjadi tugas penegak hukum   dan menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.

Selanjutnya: sikap pemerintah...
<--more-->

Sikap tegas pemerintah
Indikasi bahwa  pemerintah akan  bersikap tegas terhadap ormas yang melanggar aturan tersebut tercermin dari sikap pejabat pemerintah selama ini. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, misalnya, mempersoalkan masalah ‘kilafah’ yang dicantumkan dalam visi-misi FPI dan  rekam jejak kekerasan pengikut organisasi ini di masa lalu.

Itulah  yang menjadi alasan pemerintah belum mengeluarkan surat keterangan terdaftar bagi FPI. Padahal sudah lama status terdaftar organisasi ini kedaluwarsa.   Tito Karnavian  pernah mengatakan bahwa FPI  memang sudah buat surat di atas materai mengenai kesetiaan terhadap negara dan Pancasila, tapi problemnya di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi.

Pada AD/ART dari FPI, kata Tito, terdapat pernyataan bahwa visi dan misi FPI adalah penerapan Islam secara kafah dibawah naungan khilafah Islamiah, melalui pelaksanaan dakwah penegakan hisbah dan pengawalan jihad.

"Ini yang sedang didalami lagi oleh Kementerian Agama karena ada pertanyaan yang muncul, karena ini ada kabur bahasanya,"  kata Tito,  di Kompleks Parlemen Senayan, 28 November 2019.

Tito  juga mengatakan, menyangkut penegakan hisbah sering berujung pada tindakan main hakim sendiri. Dia mencontohkan aksi masa lalu seperti sweeping atribut Natal, perusakan tempat hiburan, dan sebagainya. "Ini perlu diklarifikasi, karena bertentangan dengan sistem hukum Indonesia. Tidak boleh ormas melakukan penegkan hukum sendiri," ujarnya.

***

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler