Keliru Besar Jokowi Berharap Anies Mau Normalisasi Sungai atau Bikin Waduk: Inilah Sebabnya

Minggu, 5 Januari 2020 20:43 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
sukamahi
Iklan

Boleh jadi tidak ada yang salah dengan pernyataan Gubenur Anies Baswedan selama ini. Sejak awal ia memang membikin konsep anti-banjir yang beda, walau belum terbukti berhasil.

Boleh jadi tidak ada yang salah  dengan pernyataan Gubenur Anies Baswedan selama ini.  Sejak awal ia memang membikin konsep anti-banjir yang beda, walau belum terbukti berhasil.Itu sebabnya ia selalu bentrok dengan kebijakan pemerintah pusat yang menganut  ideologi pengendalian banjir secara lumrah, yakni lewat saluran sungai, kanal, pembuatan waduk di hulu atau waduk penampungan sementara di hilir.

Jangan heran bila Gubernur  Anies Baswedan menuturkan bahwa normalisasi Kali Ciliwung tidak membuat Jakarta terbebas dari banjir.  "Jadi ini bukan sekadar soal yang belum kena normalisasi saja, nyatanya yang sudah ada normalisasi juga terkena banjir," ujar ujar Anies di Kampung Pulo, Jakarta Timur, Kamis, 2 Januari 20210.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 


Konsep  yang lumrah
Konsep yang umum untuk menangani banjir perlu waduk di hulu dan kanal-kanal di hilir.  Intinya bagaimana air bisa dikendalikan alirannya saat melimpah,  hingga mengalir sampai laut tanpa menimbulkan petaka. Prinsip ini  pakai sejak zaman kolonial Belanda, negara  yang jago tata air.

 

Jika perlu ditahan dulu lewat waduk sementara  di tengah atau di hilir, mengantri sementara, untuk menunggu masuk ke laut. Karena saat  banjir, tak mudah juga air segera mengalir ke laut.  Juga diperlukan pompa-pompa untuk menyedot air di  wilayah yang cekung.

Konsep  seperti itu juga sudah dituangkan dalam Perda  No. 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.

Dalam Pasal 21 Ayat ( 3)  dinyatakan bahwa Rencana prasarana drainase dengan tujuan sebagai berikut:

  • perwujudan normalisasi kali untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 25  sampai 100 tahunan;
  • peningkatkan kinerja sistem polder (waduk, pompa danmsaluran sub makro/penghubung) untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 10 sampai 25 tahunan;
  • peningkatkan kinerja saluran mikro untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 2 (dua) sampai 10 (sepuluh) tahunan; d. penataan disepanjang aliran sungai, kali, kanal, waduk, situ, danau, dan badan air lain;


Konsep yang lumrah itu dibikin atas pemahaman bahwa banjir terjadi karena situasi tak lumrah.  Curah hujan yang tinggi dan merata, entah di hulu atau hilir, atau keduanya.   Sementara, daya resap tanah, sehebat apapun tidak bisa menampung  curah air dalam situasi tak normal.

Bukankah di zaman Belanda dulu,  Batavia  masih belum banyak hutan, belum banyak bangunan? Toh banjir juga.  Makanya Belanda bikin kanal. Di desa-desa, yang diibaratnya seluruh wilayah berupa resapan—sawah dan kebun-- tetap bisa terjadi  banjir.

Selanjutnya: konsep Anies...

<--more-->

Konsep Anies
Dalam program resmi yang dikirim ke KPUD saat pilkada  DKI 2017,  pasangan Anies-Sandi juga membuat program pengendalian banjir.  Anies  yang memang mencantumkan program: revitalisasi tanggul dan pompa air.  Tapi program yang lain amat beda dengan pola pengendalikan banjir yang lumrah, yakni

 

  •   Membangun sistem distribusi air dan lingkungan hijau
  •   Penerapan kebijakan zero run-off (Nol Limpahan) di bagian hilir, yang intinya adalah semua air dimaksimalkan untuk diserap lagi kedalam tanah, bukan dialihkan ke saluran.

 

Kata kuncinya, semua air harus diserap lagi ke dalam tanah, bukan dialihkan ke saluran.  Hingga kini pemikiran seperti ini  mungkin masih diyakini oleh Anies  yang seorang doktor politik.    Yang menjadi pertanyaan, apa pola ini bisa menampung seluruh air  saat kejadian curah hujan tidak normal? Ingat, banjir selalu terjadi saat keadaan curah hujan tak normal.  Apa mungkin ada pola serapan yang bisa menampung berjuta-juta kubik air dari hulu dan yang ditumpahkan dari langit dalam waktu pendek?

Hukum alam justru menunjukkan  terbatasnya kemampuan tanah dalam  menerap air. Ada titik jenuh pula ketika tanah tidak mampu menangkap air lagi.  Itu sebabnya air tetap bisa mengalir di sungai kendati dasarnya  tanah.   

Karena itulah sejak zaman purbakala, ada  sungai di bumi ini. Sejak dulu juga, “air mengalir sampai laut” seperti Lagu Bengawan Solo.  

Serapan penting untuk mengurangi banjir dan menambah stok air tanah, tapi  tidak bisa mencegah bencana  banjir.

Selanjutnya: efektivitas

<--more-->

Efektitivas Konsep Ahok vs Anies
Konsep pasangan Basuki dan Djarot saat kampanye dulu merupakan konsep lumrah.  Konsep ini diyakini bisa mengatasi banjir di Jakarta, mulai dari normalisasi sungai, pembuatan waduk, tanggul, dan seterusnya. Intinya bagaimana menyiapkan tempat air buatan saat curah hujan tidak normal.

Konsep itu mudah diukur dan dievaluasi.  Pembangunan infrastruktur  pengendalian banjir juga bisa dibuat untuk kepentingan jangka panjang demi meningkatkan daya tahan kota menghapi banjir.  Ingat, kita masih mengunakan pola pengendalian banjir yang disiapkan oleh Belanda dulu.

Dengan begitu, walau penyiapan  infrastruktur  anti-banjir  belum bisa diselesaikan pada suatu periode pemerintahan,  bisa dilanjutkan pemerintahan sesudahnya.  Itulah maka diatur dalam perda.

Adapun konsep memasukkan seluruh air ke dalam  bumi sungguh sulit diukur, bahkan diaplikasikan. Sekedar mengurangi genangani boleh, tapi bukan solusi  mengatasi banjir yang harus selalu  dipahami sebagai kejadian tak normal.

Masalahnya, publik  bisa menuntut apa-apa ke  Anies. Kita bisa cermati sekali lagi programnya pada kampanye pilkada DKI 2017.  Ia memang tak berjanji menormalisasi sungai atau bikin waduk.  ***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler