Boleh jadi tidak ada yang salah dengan pernyataan Gubenur Anies Baswedan selama ini. Sejak awal ia memang membikin konsep anti-banjir yang beda, walau belum terbukti berhasil.Itu sebabnya ia selalu bentrok dengan kebijakan pemerintah pusat yang menganut ideologi pengendalian banjir secara lumrah, yakni lewat saluran sungai, kanal, pembuatan waduk di hulu atau waduk penampungan sementara di hilir.
Jangan heran bila Gubernur Anies Baswedan menuturkan bahwa normalisasi Kali Ciliwung tidak membuat Jakarta terbebas dari banjir. "Jadi ini bukan sekadar soal yang belum kena normalisasi saja, nyatanya yang sudah ada normalisasi juga terkena banjir," ujar ujar Anies di Kampung Pulo, Jakarta Timur, Kamis, 2 Januari 20210.
Konsep yang lumrah
Konsep yang umum untuk menangani banjir perlu waduk di hulu dan kanal-kanal di hilir. Intinya bagaimana air bisa dikendalikan alirannya saat melimpah, hingga mengalir sampai laut tanpa menimbulkan petaka. Prinsip ini pakai sejak zaman kolonial Belanda, negara yang jago tata air.
Jika perlu ditahan dulu lewat waduk sementara di tengah atau di hilir, mengantri sementara, untuk menunggu masuk ke laut. Karena saat banjir, tak mudah juga air segera mengalir ke laut. Juga diperlukan pompa-pompa untuk menyedot air di wilayah yang cekung.
Konsep seperti itu juga sudah dituangkan dalam Perda No. 1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
Dalam Pasal 21 Ayat ( 3) dinyatakan bahwa Rencana prasarana drainase dengan tujuan sebagai berikut:
- perwujudan normalisasi kali untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 25 sampai 100 tahunan;
- peningkatkan kinerja sistem polder (waduk, pompa danmsaluran sub makro/penghubung) untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 10 sampai 25 tahunan;
- peningkatkan kinerja saluran mikro untuk mengalirkan curah hujan dengan kala ulang 2 (dua) sampai 10 (sepuluh) tahunan; d. penataan disepanjang aliran sungai, kali, kanal, waduk, situ, danau, dan badan air lain;
Konsep yang lumrah itu dibikin atas pemahaman bahwa banjir terjadi karena situasi tak lumrah. Curah hujan yang tinggi dan merata, entah di hulu atau hilir, atau keduanya. Sementara, daya resap tanah, sehebat apapun tidak bisa menampung curah air dalam situasi tak normal.
Bukankah di zaman Belanda dulu, Batavia masih belum banyak hutan, belum banyak bangunan? Toh banjir juga. Makanya Belanda bikin kanal. Di desa-desa, yang diibaratnya seluruh wilayah berupa resapan—sawah dan kebun-- tetap bisa terjadi banjir.
Selanjutnya: konsep Anies...
Ikuti tulisan menarik Anas M lainnya di sini.