x

Nasi bungkus berlogo kepala anjing yang disebut "Nasi Anjing" dibagikan kepada warga Warakas Tanjung Priok Jakarta Utara, Ahad, 26 April 2020. (ANTARA/HO-Polda Metro Jaya)

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 28 April 2020 14:51 WIB

Nasi Anjing: Niat Baik Minus Cara Baik

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam berbagi sesuatu yang bermanfaat, memang perlu cara yang baik, sebaik tujuannya serta sebaik niatnya. Apa lagi jika berbagi di tengah kesulitan, dibutuhkan kepekaan yang lebih dari biasanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Niat baik dapat berujung kurang baik hanya karena caranya kurang baik. Mereka yang hendak berbagi makanan kepada masyarakat di tengah situasi sulit seperti sekarang bisa saja alpa atau khilaf tentang hal itu. Mungkin tidak ada niat buruk ketika mereka memberi cap 'Nasi Anjing' pada bungkus makanan untuk dibagikan. Mungkin mereka terinspirasi oleh 'Nasi Kucing' yang sudah populer dan digemari banyak orang tanpa protes. Ukuran bungkus Nasi Kucing kecil dengan lauk serba secuwil, nah makanan berbagi ini kabarnya ukurannya lebih besar.

Tapi, bagi sebagian masyarakat, pemberian label tersebut dapat disalahpahami sebab konotasinya memang bisa berbeda. Niat baik di satu sisi bisa berubah jadi syak wasangka di sisi lain. Apa yang mungkin terlewat dari pertimbangan ialah bahwa sebagian masyarakat lebih akrab dengan kucing ketimbang anjing berdasarkan pertimbangan tertentu dan kebiasaan tertentu. Karena itu, nama nasi bungkus ini jadinya dipahami secara berbeda oleh calon penerima bantuan. Lho kok namanya Nasi Anjing, pakai gambar pula.

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam berbagi sesuatu yang bermanfaat, memang perlu cara yang baik, sebaik tujuannya serta sebaik niatnya. Apa lagi jika berbagi di tengah kesulitan, dibutuhkan kepekaan yang lebih dari biasanya. Perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan salah paham. Lebih berempati pada yang dituju. Kekurangpekaan memang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, yang repotnya bisa berubah jadi kemarahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti halnya produk-produk komersial, pemberian label atau merek maupun tagline tertentu memang bisa jadi daya tarik konsumen untuk membelinya. Tapi bisa pula menimbulkan konotasi lain, baik itu menggelikan, beraroma porno, atau menakutkan. Misalnya saja nama Bebek Setan, ada yang jadinya ngeri dan ada pula yang jadinya mengernyitkan dahi, "Setan?"

Bahkan sebuah merek dan label juga bisa pula dipahami sebagai rasis atau menghina, walau mungkin maksudnya heureuy atau kelakar, tapi toh kelakar ada tempatnya dan waktunya. Bila tempat dan waktu tidak cocok dengan suasana hati, bukan gerrrr yang meletup, tapi amarah.

Begitu pula dengan kemasan Nasi Anjing, yang bisa dikonotasikan secara serupa oleh sebagian masyarakat. Biarpun itu pembagian gratis, kemasan tetaplah perlu perhatian dan pertimbangan. Tak boleh ngasal. Andaikan kemasan itu tanpa label, masyarakat akan menerima dengan suka cita tanpa beban amarah; begitu pula dengan yang berbagi akan pulang dengan senang hati tanpa beban salah paham.

Sekedar cerita, pernah seorang konsumen marah-marah di sebuah warung makan baru yang menyajikan batagor Bandung. Batagor dan bumbu kacangnya sebenarnya enak, tapi selera makan konsumen ini rupanya nyaris saja buyar saat melihat batagor itu disajikan di atas piring bulat dari bahan logam. "Kok kaya di penjara saja," ujar konsumen sambil menatap hidangan di depannya. Memang, ia tetap menyantap batagor itu sembari berkomentar, "Enak sih batagornya, tapi tolong dong diganti piringnya."

Batagor sepiring itu habis tandas, barangkali karena konsumen ini tahu bahwa ia tetap harus membayar; jadi, gak mau rugi. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler