Lagu Didi Kempot, Stimulus Kecerdasan Emosional atas Stigma Maskulinitas Lelaki
Rabu, 6 Mei 2020 11:46 WIBMenyampaikan emosi kesedihan dan kerapuhan masih kerap dikaitkan dengan dikotomis feminitas dan maskulinitas dalam konstruksi sosial masyarakat tertentu. Identitas laki-laki dalam stigma maskulinitas selalu dituntut sebagai manusia yang kuat dan tegar, namun melalui karya-karya mendiang Didi Kempot dapat tersampaikan dengan semestinya tanpa harus merasa kehilangan identitas sebagai laki-laki maskulin.
Kabar duka kambali mengguncang masyarakat Indonesia dengan berpulangnya musisi legend dengan genre musik campur sari Didi Kempot pada 5 Mei 2020. Perjalanan karir bermusiknya sudah dimulai sejak tahun 1987-an silam, debut awal lagu-lagunya yang terkenal diawali dengan Stasiun Balapan dan Layang Kangen.
Musik campur sari sempat berada pada puncak popularitas di tahun 1990-an, bertahan hingga mendekati setengah dekade tahun 2000-an yang kemudian sempat meredup. Beberapa waktu kemudian Didi Kempot muncul kembali ke permukaan industri musik Indonesia dengan penggemar karyanya yang berasal dari lintas generasi di era yang berbeda. Bukan lagi generasi baby boomers yang memiliki tahun kelahiran 1970-an, namun generasi millennial.
Munculnya penggemar dari generasi millennial membawa karya-karya mendiang Didi Kempot menjadi trend baru dalam menikmati lagu-lagu yang merepresentasikan berbagai emosi yang ditimbulkan dari relasi percintaan, seperti kekecewaan, kesedihan, patah hati dan rindu. Aliansi penggemar dari generasi tersebut dilabeli dengan Sobat Ambyar, konon karena berisikan muda-mudi patah hati yang merasa terwakili oleh karya-karya musiknya.
Penampilan panggung mendiang Didi Kempot menyuguhkan citra laki-laki maskulin, dengan gaya rambut gondrong. Bahkan di beberapa video clip lagunya juga menampilkan peran sosok laki-laki yang berpenampilan macho didukung dengan berbagai atribut busananya.
Namun, setelah ditelusuri dari berbagai karyanya yang booming adalah karya yang dominan mengekspresikan kesedihan dan kerapuhan yang dialami oleh laki-laki dalam relasi percintaan. Sedangkan stigma kesedihan dan kerapuhan dalam relasi percintaan di masyarakat lebih diidentikan feminitas perempuan sebagai korban yang ditindas dan disakiti.
Tanpa disadari dalam kehidupan sehari-hari konsep dikotomis maskulinitas dan feminitas menciptakan tuntutan perilaku pada individu, sehingga tak jarang akan menimbulkan sekat-sekat pembatasan dan pemaksaan hal-hal tertentu, termasuk dalam menyampaikan emosi-emosi natural sebagai manusia. Kita ketahui pada konstruksi masyarakat tertentu pemikiran maskulinitas masih sebagai yang mendominasi.
Bahkan terkait penyampaian emosi negatif atau kesedihan, laki-laki sudah didikte budaya sejak dini dengan menggunakan ungkapan kalimat “anak laki-laki tidak boleh cengeng”, sehingga terbentuk mindset jika laki-laki menangis akan dianggap lemah.
Menilik kembali karya-karya mendiang Didi Kempot yang erat dengan ekspresi emosi kesedihan dan kerapuhan selalu laris. Terdapat beberapa lirik lagu yang menyampaikan emosi kesedihan laki-laki dalam relasi percintaan di 3 judul lagu yang selalu menjadi trending.
Berikut pada lagu Pamer Bojo pada potongan lirik, “cidro janji tegone kowe ngapusi, nganti seprene suwene aku ngenteni, nangis batinku nggrantes uripku, teles klebes netes eluh neng dadaku”.
Kemudian pada lagu dengan judul Cidro pada bagian lirik “remuk ati iki yen eling janjine, ora ngiro jebul lamis wae”, juga terdapat lirik “wes sak mestine ati iki nelongso, wong sing tak tresnani mblenjani janji”.
Lagu selanjutnya dengan judul Suket Teki pada bagian lirik “paribasan awak urip kari balung lilo tak lakoni, jebule janjimu jebule sumpahmu ra biso digugu”
Analisis sederhana dari beberapa lirik lagu tersebut seakan menjelaskan bahwa kondisi kerentanan emosional dalam relasi percintaan tidak hanya bisa dialami oleh perempuan saja, namun juga pada laki-laki yang dicitrakan dalam kehidupan sosial sebagai sosok maskulin. Karya mendiang Didi Kempot menggambarkan bahwa laki-laki maskulin juga merasakan emosi negatif yang sama saat mengalami ketidakadilan dalam relasi percintaan.
Memposisikan laki-laki dapat menerima dan merasakan segala emosi sedih tanpa mengingkari perasaannya, sehingga tidak terjadi pelampiasan emosi ke hal-hal negatif yang justru mungkin akan menimbulkan masalah baru yang tidak terkontrol seperti tindak kekerasan. Mengekspresikan kesedihan dengan menangis juga tidak akan mengurangi sisi maskulinitas laki-laki, sehingga dalam kehidupan sudah semestinya tidak selalu memenuhi tuntutan stigma sosial bahwa laki-laki harus selalu kuat dan tegar.
Melalui karya-karya tersebut, menimbulkan sikap permisif terhadap kesedihan dan kerentanan yang akan memberikan stimulus kecerdasan emosional, sehingga melahirkan ruh positif dalam aliansi baru maskulinitas. Kecerdasan emosional menurut ilmuwan psikologi Daniel Goeleman didefinisikan sebagai kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Betapa pentingnya kecerdasan emosional dalam kehidupan relasi percintaan, sehingga kecerdasan emosional yang baik termasuk salah satu faktor dalam menekan timbulnya kekerasan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari berbagai penelitian-penelitian ilmiah terkait studi relasi dalam ilmu psikologi di dunia. Demikian karya-karya mendiang Didi Kempot telah berhasil menjadi salah satu langkah rekonstruksi stigma maskulinitas dalam kehidupan sosial laki-laki
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Lagu Didi Kempot, Stimulus Kecerdasan Emosional atas Stigma Maskulinitas Lelaki
Rabu, 6 Mei 2020 11:46 WIBIlusi Teori Konspirasi Pandemi Covid-19, Fatal untuk Masyarakat Berliterasi Rendah
Selasa, 5 Mei 2020 06:37 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler