Tantangan Industri Travel and Tourism PascaCovid-19

Kamis, 21 Mei 2020 15:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Travel and Tourism merupakan industri penyumbang 9,8% dari total PDB dunia saat ini. Industry ini juga memiliki proporsi perempuan yang tinggi dalam pekerjaan, serta terbukti sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia dan mayoritas negara berkembang di seluruh dunia. Travel and Tourism memainkan peran kunci di segenap 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) PBB yang ada. 

Lebih lanjut, tantangan Travel and Tourism secara general berkenaan dengan enam hal: keamanan, krisis kesehatan, demografi, kelangkaan sumber daya, pengelolaan limbah, dan etika industri. Semua masalah ini yang secara khusus akan mempengaruhi alam. jika kelima hal ini dapat diimplementasikan dengan benar dalam Travel and Tourism, maka industri ini dapat bertahan dan terus beroperasi di masa depan alias Sustain.

Perjanjian COP 21 Paris  atau the COP 21 Paris Agreement tahun 2015 telah menetapkan sebuah tugas yang menantang berupa menahan kenaikan suhu global hingga tidak lebih dari 2˚C dari masa jejak masa pra-revolusi. pada hari ini, industri  Travel and Tourism menetapkan kebijakan iklim yang lebih ambisius yaitu membatasi kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5˚C di atas tingkat pra-revolusi industri.

Pada KTT WTTC Global ke-16 (the 16th WTTC Global Summit in Dallas in April 2016) ekonom Jeremy Rifkin menyatakan kepada para delegasi betapa dramatisnya perubahan iklim untuk masa depan industri Travel and Tourism. “Kita sekarang berada dalam perubahan iklim waktu nyata, ini bukan lagi sekadar tentang latihan akademis. Satu hal yang paling menakutkan dari perubahan iklim ialah perubahan siklus air di bumi. Ekosistem bumi didasarkan pada siklus air. Dari setiap satu derajat suhu yang naik di planet akibat dari emisi CO2, maka atmosfer menyerap 7% lebih banyak curah hujan,” kata dia.

Jeremu Rifkin kemudian menjelaskan bahwa air di masa depan berpotensi besar menjadi bencana, kemudian salju musim dingin yang lebih ganas, banjir musiman yang menghancurkan perkotaan, kekeringan pada musim panas yang terlalu panjang, kebakaran hutan dan kabut asap, badai, hingga tenggelamnya pulau dan negara kepulauan.

Kemudian, terdapat empat permasalahan kunci atau Key issues yang secara keseluruhan muncul dan menjadi tantangan pada Travel and Tourism setelah krisis kesehatan pandemi COVID-19) berakhir ialah: degradasi ekosistem, keanekaragaman hayati dan bentang alam;  ancaman dampak dari perubahan iklim pada kelayakan dan keberlanjutan destinasi; dan kesiapan serta respons dari  keselamatan / keamanan termasuk krisis kesehatan.

Segenap permasalahan kunci tersebut kemudian dapat disempitkan lagi ke dalam dua isu kritis yang relevan dengan industri Travel and Tourism, yaitu: 1)    Perubahan iklim dan 2)   Degradasi destinasi.

Menelisik tentang kontribusi industri Travel and Tourism untuk mencapai solusi dari isu kritis yang pertama yakni climate change, pelaku bisnis dan organisasi pariwisata dewasa ini wajib melangkah maju dengan mengadopsi target yang lebih ambisius berdasarkan ilmu iklim untuk mempertahankan alam, menginternalisasi penetapan harga karbon, terlibat dalam pengembangan kebijakan iklim, dan menaikkan tarif pembiayaan untuk penghijauan.

Lebih lanjut, industri Travel and Tourism juga dipandang perlu mempercepat transisinya ke periode masa depan rendah karbon demi menjaga iklim sebelum  terlambat. Untuk dapat berhasil menerapkannya, peraturan yang memaksa harus dibuat jelas, pelaku bisnis juga harus membuat koneksi lintas sub-industri pariwisata dan menerapkan solusi gabungan.

Industri Travel and Tourism perlu meningkatkan kesadaran di segenap stakeholders tentang bagaimana menetapkan target dampak iklim berdasarkan ilmu pengetahuan, hal ini berhubungan dengan bagaimana mengukur dan mengkomunikasikan kemajuan secara transparan sesuai kerja standar dan metrik.

Untuk mencapai transformasi yang diperlukan, sektor Travel and Tourism perlu berkolaborasi dan mengadakan kemitraan baru untuk mempercepat inovasi teknologi, capaian kebijakan, dan kesepakatan sosial yang menempatkan pariwisata pada jalur yang kuat menuju ekonomi rendah karbon.

Dengan kata lain, tindakan kolektif antar stakeholders kini teramat perlu diimplementasikan pascapandemi COVID-19 demi mendukung tujuan terciptanya destinasi pariwisata yang berkelanjutan secara holistik (ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan).

Terkait isu kritis yang kedua yaitu degradasi destinasi pariwisata, para pemangku kepentingan terkait industri Travel and Tourism memiliki peran sentral dalam mengamankan integritas budaya dan sosial di destinasi wisata.

 

Selain pemanasan global yang harus ditekan tidak melebihi 2% yang telah dipaparkan di atas, industri Travel and Tourism juga harus mampu menekan delapan permasalahan lain  dalam dunia pariwisata.

 

Kedelapan tersebut ialah pencemaran tanah dan air, hilangnya hutan, penggunaan karbon, kepadatan penduduk, kerusakan warisan budaya, peningkatan biaya hidup, kebocoran ekonomi, dan terkucilkannya bisnis serta komunitas lokal dari monopoli ekonomi. Selain itu, dari sisi sosial pun manusia harus diutamakan kesehatan dan kesejahteraannya.

 

Dengan kata lain, tindakan kolektif antar stakeholders kini teramat perlu diimplementasikan pascapandemi COVID-19 demi mendukung tujuan terciptanya destinasi pariwisata yang berkelanjutan secara holistik (ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan).

 

 

<--more-->Tantangan Industri Travel and Tourism di Indonesia

Dewasa ini, produk hukum sekaligus praktik tata kelola destinasi yang berkelanjutan (sustainable) masih sangat lemah di Indonesia. Hal ini ditengarai oleh permasalahan lingkup internal yang elementer. Kendala mendasar ini setidaknya terbagi menjadi empat hal, yakni:  1) tumpang tindih kebijakan,  2) penegakan hukum (law enforcement) berstandar ganda, 3) kesadaran stakeholder yang lemah terkait perubahan iklim, dan 4) lemahnya harmoni antar stakeholder. Seperti yang diketahui bersama, kebijakan merupakan  sebuah ‘kendaraan’ mayor untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan semua pihak, yaitu kelestarian destinasi. Kelestarian destinasi ini baru dapat terealisasi jika harmoni antar trisula pariwisata tercipta: yaitu elemen ekonomi, sosial, dan lingkungan.

 

Pada masa ini, ekonomi dianggap super penting bagi keberlanjutan industri pariwisata yang sukses. Namun sangat disayangkan, kebijakan pro-capital semacam ini cenderung menekankan pada kepentingan ekonomi sahaja.

 

Di sisi lain, ditemukan juga fakta bahwa elemen sosial dan ekologis secara tidak langsung selalu dikesampingkan. Jika hal semacam ini diteruskan, bukan tidak mungkin destinasi pariwisata beserta seluruh flora fauna dan sumber daya yang menyertainya akan punah kurang dua generasi mendatang.

Oleh karena itu, kepemimpinan politik kuat di Indonesia yang terbebas dari cengkeraman oligarki dan kleptokrasi merupakan dasar dalam pijakan terkait upaya mencabut akar permasalahan.

 

Melalui kepemimpinan yang mampu memberi tiga efek (yaitu efek mendidik, efek jera, efek memaksa) di tiga lingkup (lokal, regional, dan nasional), maka “perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan destinasi berkelanjutan” dapat dijalankan secara serempak, harmoni, kredibel tanpa kepentingan satu pihak, dan tentunya berintegritas penuh.

 

Tanpa hal mendasar yang telah dikemukakan tadi, impian destinasi pariwisata yang berkelanjutan melalui kebijakan dengan narasi seindah apa pun dan ratusan perangkat hukum tidak akan berguna. Segenap upaya tersebut hanya akan sampai ke tahap di atas kertas saja.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
MUHAMMAD DHIYA ULHAQ

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler