x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Sabtu, 30 Mei 2020 06:01 WIB

Kenapa Ramai Tagar Boikot TVRI? Oh, Ternyata ...

Dirut TVRI baru Iman Brotoseno dianggap publik punya rekam jejak digital yang kurang pas, karena pernah berkicau di twitter soal bokep alias film porno. Selain itu dia juga pernah menjadi kontributor majalah dewasa Playboy dan menjadi konsultan politik yang dekat dengan salah satu partai politik besar di negeri ini. Kenapa dia bisa melejit jadi Dirut TVRI?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiba-tiba ramai hari ini. Ribuan twit muncul dengan tagar Boikot TVRI - #BoikotTVRI. Entah apa yang terjadi dengan Lembaga penyiaran milik negara itu. Siapa pula yang menggerakkannya?

Sementara pada Rabu lalu (27/5/20) Dewas TVRI baru saja melantik Iman Btrotoseno sebagai Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (Dirut LPP TVRI). Posisi ini sebelumnya dijabat Helmy Yahya.

Lalu kok, ramai tagar boikot TVRI? Kenapa dan ada apa dengan TVRI?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ternyata selidik punya selidik, sang Dirut baru, Iman Brotoseno, dianggap publik punya rekam jejak digital yang kurang pas. Apa pasalnya? Karena beliau pernah berkicau di twitter soal “bokep alias film porno sebagai pemersatu bangsa”. Selain itu dia juga pernah menjadi kontributor majalah dewasa Playboy dan menjadi konsultan politik yang dekat dengan salah satu partai politik besar di negeri ini. Semua itu mencuat paska pelantikannya, sehingga menimbulkan polemik. Maka muncullah trending “tagar boikot TVRI”.

Dari sini ada dua pelajaran berharga yang bisa dipetik. Pertama, betapa jahatnya rekam jejak digital sesorang yang terpampang di media sosial. Karena itu, siapapun harus berhati-hari dalam berkomentar maupun berkicau di media sosial. Semua bisa ditelusuri dan menjadi “borok” yang kapan pun dapat diungkit kembali. Apalagi warganet atau netizen di negeri ini tergolong galak-galak.

Kedua, pemegang kekuasaan seperti Dewan Pengawas TVRI seharusnya memperhatikan beragam aspek sebagai kriteria untuk menunjuk Dirut TVRI yang baru. Utamanya bukan hanya soal performa, ilmu, pengalaman dan sebagainya. Tapi soal moral dan akhlak harus jadi kriteria utama. Sehingga tidak menimbulkan polemik dan kegaduhan yang sebenarnya tidak perlu.

Agak disayangkan, bila baru ditunjuk dan belum bekerja apa-apa sudah menimbulkan polemik. Sehingga menganggu spirit untuk memajukan kinerja TVRI dari kondisi yang sebelumnya. Bahkan tidak mungkin, dampaknya bisa menurunkan kepercayaan publik. Bukan hanya kepada individu Dirut TVRI melainkan juga kepada TVRI sebagai institusi. Maka, di sinilah pentingnya kehati-hatian, baik dalam urusan personal di media sosial maupun pemegang kekuasaan dalam menyeleksi jabatan publik.

Sementara memang harus ada yang dikoreksi dari warganet atau netizen. Kenapa rekam jejak masa lalu seseorang yang berupa kicauan di media sosial dijadikan “alat tembak” untuk memboikot TVRI. Bukankah seseorang pasti punya track record masa lalu. Dan itupun belum tentu tidak baik, apalagi hanya kicauan di media sosial. Jika pun begitu, kenapa yang diboikot institusi? Bukan individu-nya? Dalam konteks ini, maka ruang dialog harus dibuka seluas-luasnya. Agar ada kesempatan semua pihak untuk mengklarifikasi, sekaligus meluruskan hal yang dipersoalkan. Mana yang perlu diingatkan, mana yang harus direkomendasikan. Begitulah seharusnya.

Apa poin yag mau saya sampaikan melalui tulisan ini?

Saya tidak punya kepentingan kepada TVRI. Karena saya pun jarang menonton siarannya. Tapi saya tertarik sekaligus terpancing untuk menuliskannya. Bahwa di negeri ini, seringkali menempatkan seseorang pada jabatan publik tanpa memperhitungkan rekam jejak dari berbagai aspek. Utamanya soal akhlak. Sementara pendidikan karakter sedang digencarkan. Tapi justri pemegang kekuasaan seringkali mengabaikan soal akhlak dalam memilih pejabat. Termasuk akhlak dalam mekanisme seleksi dan pemilihannya. Ujug-ujug di masa Covid-19, dilantik saja. Apa iya harus begitu?

Dimensi akhlak ini harusnya jadi rujukan, untuk siapa pun dan untuk jabatan publik apapun. Karena akhlak menjadi pangkal segalanya. Selagi akhlak-nya jelek maka jeleknya perilaku dan sikapnya. Selagi akhlaknya baik, maka akan baik perilaku dan sikapnya. Dan saya percaya itu, karena itu ajaran agama. Jangan sebaliknya, karena bisa menjadikan publik ragu terhadap pengangkatan sebuah jabatan publik. Sehingga berkembanglah spekulasi krisis akhlak. Atau pernyataan, apakah tidak ada orang lain yang lebih pantas? Mari kita bertanya, kenapa semua itu bisa terjadi?

Semua jabatan publik di negeri ini, seharusnya memperhatikan kriteria akhlak dari orang yang dipilihnya atau diangkatnya. Apapun itu. Akhlak harus jadi acuan utama. Dan setidaknya, ada 4 kriteria akhlak yang bisa diukur dari seseorang untuk jabatan publik, yaitu:

  1. Apakah orangnya jujur dan dapat dipercaya?
  2. Apakah orangnya adil dalam mengambil keputusan?
  3. Apakah orangnya peduli terhadap orang lai, bukan dirinya sendiri?
  4. Apakah orangnya berperilaku etis dalam kehidupan?  

Dengan 4 indikator itu, silakan saja dicari tahu tentang si kandidat yang akan mengisi jabatan publik. Pasti bisa dan pasti bisa dibeberakan secara transparan. Jika perlu, alasan akhlak itulah yang menjadi key messages dari pengangkatan seorang pejabat publik. Tentu setelah soal visi-misi, kecakapan, kecerdasan, dan pengalaman sekali pun.

Terlepas dari akan seperti apa TVRI ke depan, saya tentu tidak bisa memprediksi. Tapi saya berharap, TVRI sebagai Lembaga penyiaran tertua milik negara bisa menjadi lebih baik. Lebih profesional dan lebih ber-akhlak. Sekalipun milik pemerintah, katakan yang benar bila itu benar dan katakan yang salah bila itu salah.

Akhirnya yang paling penting. Adalah “jangan terburu-buru dalam segala hal; karena terburu-buru selalu gagal meraih hasil yang optimal”….

#BudayaLiterasi

 

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler