x

cover buku Masyarakat dan Sastra Indonesia

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 6 Agustus 2020 10:52 WIB

Masyarakat dan Sastra Indonesia

Buku perintis Sosiologi Sastra Indonesia karya Yakub Sumarjo

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Masyarakat dan Sastra Indonesia

Penulis: Yakob Sumarjo

Tahun Terbit: 1979

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Nur Cahaya                                                                                             

Tebal: 161

ISBN:

 

Saya suka membaca karya sastra, khususnya cerita pendek dan novel. Saya sudah mulai serius membaca karya-karya sastra sejak dari SMP. Guru Bahasa Indonesia saya saat SMP, yaitu Ibu Harni adalah guru yang menginspirasi saya untuk “mengalihkan” kesukaan membaca saya dari sekadar membaca komik dan Kho Ping Ho, kepada karya-karya Balai Pustaka. Kegemaran saya membaca sastra itu berlanjut karena di SMA saya diasuh oleh guru Bahasa Indonesia yang juga menyenangi sastra. Guru SMA saya tersebut adalah Ibu Sutarti.

Meski sudah banyak membaca karya sastra, dan kadang-kadang membuat resensi novel-novel sastra, namun saya tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang bidang ini. Sebab saya memang tidak berlatar belakang pendidikan bahasa dan sastra. Itulah sebabnya saat membaca karya sastra saya hanya mendapatkan kenikmatan dari kisahnya yang indah. Padahal karya sastra bukan hanya mengemban peran hiburan. Karya sastra juga menjadi wahana untuk mendiskusikan kebermanusiaan kita. Bahkan orang-orang sosialis menggunakan sastra sebagai alat perjuangan bagi masyarakat yang tertindas. Bagi kelompok yang berpikiran bebas, sastra menjadi wahana untuk mengungkapkan pemikirannya supaya sampai kepada manusia lain secara gamblang dan menghibur.

Menyadari keterbatasan pengetahuan saya tentang sastra, maka saya mulai membaca buku-buku yang membahas tentang sastra. Meski akan sulit mengerti, tetapi saya paksakan diri untuk belajar ilmu baru ini. Maklum otodidak dan tanpa guru dan tanpa teman.

Salah satu buku menarik yang memberikan pengetahuan tentang sastra dan hubungannya dengan masyarakatnya adalah buku “Masyarakat dan Sastra Indonesia” karya Yakob Sumarjo. Buku lawas ini saya dapatkan dari lapak buku online denan harga yang tentu sangat murah. Meski terbitan lama dan murah tetapi buku ini memberikan banyak pengetahuan tentang sosiologi sastra.

Meski diakui bahwa buku ini belum sempurna, tetapi Yakob Sumarjo berinisiatif untuk menulis tentang sosiologi sastra Indonesia. Ia menghubungkan masyarakat dengan sastra dan sastra dengan masyarakat. Ia menganalisis data yang serba sedikit yang dia punya hubungan antara tempat tinggal, latar belakang, umur, pendidikan dan konteks sosial politik. Jadi bisa dikatakan bahwa buku ini adalah buku rintisan tentang ilmu sosiologi sastra Indonesia.

Selain membahas sosiologi sastra, buku ini membahas tentang penggolongan sastrawan ke angkatan-angkatan di Indonesia. Yakob Sumarjo menggolongkan kesusastraan Indonesia menjadi: (1) sastra jaman Hindu, (2) sastra jaman Islam, (3) Awan sastra modern, (4) Balai Pustaka, (5) Pujangga Baru, dan (6) Angkatan 66. Sastra jaman Hindu atau disebut juga sastra Istana memiliki ciri cita rasa sastra yang sangat tinggi berlandaskan religi dan kebaktian kepada raja. Sastrawan di jaman sastra istana adalah orang-orang yang mengabdi penuh untuk mencipta karya sastra karena bagian dari istana raja. Sastra jaman Islam sebenarnya masih melanjutkan tradisi sastra istana karena sastrawannya pada umumnya masih sangat dekat dengan istana. Tetapi pada masa sastra Islam, sifat sakral magi sastra menjadi hilang. 

Corak sastra di Hindia Belanda mulai berubah di tahun 1900-an. Sastra yang ditulis pada periode ini sudah mulai menyerap sastra barat. Sebab para penulisnya, yang kebanyakan adalah orang-orang ningrat, membaca karya-karya barat dalam bahasa Belanda. Itulah sebabnya karya-karya para periode awal tahun 1900-an berisi kisah-kisah kaum elite. Meski kebanyakan penulisnya adalah dari kaum elite, namun ada beberapa penulis dari rakyat kecil yang secara kebetulan mendapatkan akses pendidikan. Penulis dari kalangan rakyat tersebut diantaranya adalah Mas Marco Kartodikromo.

Khawatir dengan perkembangan sastra yang isinya menentang kebijakan pemerintah, atau menimbulkan rasa kebangsaan, maka Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Balai Pustaka pada tahun 1926. Karena penerbitan karya-karya sastra melalui badan penerbitan pemerintah, maka isinya pun tidak ada yang menentang pemerintah. Itulah sebabnya Yakob Sumarjo memaknai angkatan Balai Pustaka sebagai angkatan sastra kompromi. Pada umumnya penulis angkatan Balai Pustaka berasal dari Sumatra. Tema-tema yang dipilih juga sangat diwarnai oleh kehidupan masyarakat di Sumatra.

Periode Pujangga Baru muncul pada tahun 1933. Corak sastra pada periode ini sudah mengarah kepada corak nasional (Jawa). Persoalan-persoalan yang diangkat adalah persoalan nasional, bukan lagi persoalan daerah (Sumatra). Penggunaan Bahasa Indonesia menjadi ciri lain angkatan ini. Angkatan Pujangga Baru tidak hanya menulis novel, tetapi juga menulis puisi, drama dan kritik sastra. Angkatan ini juga sudah lebih matang dalam bersastra. Sebab karya mereka tidak lagi ditujukan untuk hiburan semata, tetapi sudah ada konsepsi seni. Karya-karya pada periode ini sudah ada bobot filsafatnya. Sajak-sajak mereka bernada sedih karena perasaan yang tertekan. Sedangkan drama-drama mereka menggunakan simbolisme masa lalu. Angkatan Pujangga Baru menerbitkan karyanya tidak hanya melalui buku, tetapi utamanya melalui majalah-majalah. Salah satunya yang paling terkenal adalah Majalah Pujangga Baru. Itulah sebabnya angkatan ini disebut sebagai angkatan Pujangga Baru.

Angkatan 45 muncul setelah masa penderitaan sastra di Jaman Jepang. Meski para sastrawan tetap berkarya, tetapi kontrol kuat dari Jepang membuat jumlah karya sastra di masa Jepang menjadi sangat sedikit. Angkatan 45 menulis tentang problematika masyarakat, khususnya Jakarta yang mendapatkan kemerdekaan. Masalah sosial yang timbul akibat kemerdekaan menjadi tema yang digarap oleh para penulis.

Angatan 66 muncul setelah masa sastra dikuasai politik. Tahun 1960-an sastra sedemikian rupa dibelit oleh partai-partai. Munculnya Lekra misalnya membuat sastra menjadi alat ideologi. Setelah Lekra dibubarkan, maka muncullah semangat sastrawan untuk mengecam kekuasaan partai yang menguasai sastra. Angkatan 66 selain menyuarakan semangat baru, pada umumnya banyak menyuarakan protes dan kemarahan. Namun karena para penulisnya pada umumnya adalah pegawai pemerintah, maka protes dan kemarahan tersebut dengan cepat padam.

Selain memberikan latar belakang pengelompokan sastrawan berdasarkan angkatan, dalam buku ini Yakob Sumarjo membahas masyarakat dan sastra dan sebaliknya. Dengan menggunakan data hasil angket yang dilakukan pada tahun 1974, ia menulis corak sastra dan masyarakatnya. Ia mengakui bahwa data yang digunakan kurang baik. Sebab ia hanya mendapatkan 46 angket dari 150 angket yang disebar dalam sebuah pertemuan sastrawan di Jakarta. Dalam tulisan yang membahas sastra dan masyarakat ia menunjukkan bahwa sebuah karya sastra tidak bisa dipisahkan dari situasi sosial dimana sang penulis hidup. Demikian pun sebaliknya. tema-tema yang ditulis sangat dipengaruhi oleh situasi sosial masyarakatnya. Yakob Sumarjo memberikan contoh corak sastra Indonesia yang sangat kota. Yakob Sumarjo juga menunjukkan usia pengarang, latar belakang pendidikan dak pekerjaan sangat mempengaruhi kesusasteraan. Demikian pun dengan politik. Sastra tidak bisa dipisahkan dari situasi politik yang dihadapi oleh pengarangnya.

Yakob Sumarjo secara khusus membahas kritik sastra. Ia membedakan dua jenis kritik sastra yang pernah muncul di Indonesia. Pertama adalah aliran kritik sastra yang menjadi jembatan dari sebuah karya kepada pembacanya. Sedangkan aliran kedua adalah kritik sastra yang bersifat ke dalam. Yaitu kritik sastra yang ditulis untuk keperluan para penulis itu sendiri. Coontoh aliran pertama adalah kritik sastra yang ditulis oleh HB Yasin. Warna kritik sastra HB Yasin adalah menjelaskan keindahan dan maksud dari sebuah karya kepada pembacanya. Meskin aliran ini kemudian ditinggalkan, namun nama HB Yasin tak bisa dilepaskan dari kepeloporannya dalam menulis kritik sastra. Selain menulis kritik sastra, HB Yasin adalah seorang dokumenter sastra yang luar biasa tekun. Itulah sebabnya ia disebut sebagai Paus Kesusasteraan Indonesia.

Aliran kedua, yaitu kritik sastra yang ditulis untuk konsumsi para pegiat sastra muncul setelah era HB Yasin. Para penulis kritik sastra aliran ini pada umumnya adalah seorang akademisi. Para penulis kritik sastra aliran ini tidak selalu sekaligus sebagai sastrawan. Bahkan banyak sastrawan yang menginginkan penulis kritik sastra yang bukan sekaligus sastrawan. Sehingga dengan demikian ia bisa lebih bebas mengamati dari luar.

Yakob Sumarjo juga menyinggung tentang Sastra Tionghoa dan sastra daerah. Kedua aliran sastra Indonesia ini eksis bersama dengan kesusastraan mainstream. Sastra Tionghoa yang dicirikan dengan penggunaan bahasa melayu pasar, bersifat hiburan dan produktif adalah sebuah kenyataan yang menjadi bagian dari sejarah kesusasteraan Indonesia. Sedangkan dalam hal sastra daerah, Yakob Sumarjo menunjukkan bahwa jenis sastra ini hanya hidup di daerah sesuai dengan bahasa yang dipakai. Sastra daerah tidak cukup kuat untuk menasional.

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB