x

Iklan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Agustus 2020

Kamis, 20 Agustus 2020 21:07 WIB

Besipae dan Gimmick Sang Presiden

Sehari setelah Presiden mengenakan pakaian adat Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada perayaan kemerdekaan RI yang ke-75, terjadilah peristiwa memilukan itu. Bunyi letupan senjata aparat keamanan mengancam dan menakuti warga Besipae, Timor Tengah Selatan. Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirubuhkan. Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat. Masalah Besipae adalah masalah besar bangsa. ika negara tidak hadir mengatasi persoalan ini, untuk apa ggembar-gemborkan Pancasila?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari lalu, publik virtual diramaikan dengan video tindakan represif aparat keamanan terhadap warga Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Apapun yang melatarbelakangi tindakan tidak manusiawi aparat keamanan tersebut, kejadian itu menjadi hal yang sangat ironi mengingat sehari sebelumnya, pada Upacara Kemerdekan Republik Indonesia yang ke-75 Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat daerah Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.

Jagat maya pun ramai menghubungkan kedua peristiwa tersebut, terutama rakyat NTT. Beberapa pihak bangga dan tersanjung dengan orang nomor satu di negeri ini. Bahkan secara terang-terangan Bupati Timor Tengah Selatan menyampaikan rasa senangnya atas hal itu.

"Kami masyarakat TTS sangat bangga, karena pakaian adat kami dikenakan pak Jokowi saat upacara HUT RI," kata Bupati TTS pada Senin, 17 Agustus 2020 sebagaimana dilansir Tempo. “Sebagai warga NKRI kita harus mencintai kebudayaan kita sebagai warisan para leluhur yang memiliki cita rasa kebudayaan yang tinggi,” kata sang Bupati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sehari setelah peristiwa bahagia tersebut, terjadilah peristiwa memilukan itu. Bunyi letupan senjata aparat keamanan mengancam dan menakuti warga Besipae, Timor Tengah Selatan. Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirubuhkan.

Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat. Salah satu tokoh masyarakat Besipae, Nikodemus Manao, menyebut banyak anak-anak dan perempuan merasa trauma, apalagi setelah tiga tembakan peringatan aparat meletus (BBC, 20 Agustus 2020).

Tak sedikit publik yang ramai mengkritik sang Presiden. Kesan gimmick dan ironi terhadap Presiden Jokowi pun bermunculan. Salah satunya muncul dari akun intagram @rockygerung.ofc, yang mencuit: "Presiden pake baju Adat tapi tanah Adat justru digusur untuk kepentingan Korporasi."

Begitu juga Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyebut di balik baju adat yang dikenakan presiden adalah "potret gelap" masyarakat adat yang tidak hanya dialami masyarakat adat Besipae, namun juga masyarakat adat di berbagai daerah. Demikian ditulis BBC.

Bagaimana pun, dari sudut pandang penulis, ada dua aspek mengapa Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat daerah tersebut. Pertama, aspek kebudayaan. Presiden Jokowi mungkin berpikir bahwa selaku orang nomor satu di republik ini, beliau merasa bangga dengan keberagaman dan kekhasan budaya Indonesia. Karenanya merupakan sebuah kehormatan bagi masyarakat NTT, khususnya TTS ketika Presiden mengenakan pakaian adat mereka.

Kedua, aspek ekonomis. Tentu saja dengan mengenakan pakaian adat daerah kabupaten TTS, akan menambah nilai jual pakaian adat daerah itu, dengan harapan meningkatkan perekonomian masyarakat disana. Akan tetapi, bagaimana dengan aspek lainnya?

Presiden Jokowi bisa saja bangga, Gubernur dan Bupati pun juga boleh bersuka cita bahkan bila perlu berpesta-pora. Disaat yang bersamaan, rakyat Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, pemilik pakaian adat yang dikenakan Presiden tersebut, sedang dalam suasana mencekam. Mereka hidup dibawah ancaman laras senjata aparat negara, yang notabene digaji dari uang pajak rakyat. Presiden lupa dengan aspek kemanusiaan.

Perayaan Kemerdekaan yang Ironi

Kasus diatas, hanyalah satu diantara sekian banyak persoalan potret gelap bangsa ini. Masih banyak persoalan dalam kehidupan bernegara yang perlu dibenahi dan digarisbawahi. Republik ini telah mencapai tiga per empat abad, kemerdekaan masih menjadi mimpi bagi sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya masyarakat kecil.

Kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin yang kian melebar, perampasan hak rakyat oleh pemerintah, hukum yang tajam kebawah tumpul keatas, kemiskinan yang merajalela, akses komunikasi yang tidak  berimbang antara Indonesia bagian barat dan timur, birokrasi yang carut marut, sistem dan potret demokrasi yang masih suram adalah rentetang PR besar bagi bangsa ini.

Adalah sebuah ironi, di istana kepresidenan ramai merayakan kemerdekaan, sementara di sudut lain republik ini rakyatnya sedang hidup dalam ketakutan dan kemelaratan, berjuang mencari kemerdekaan.

Kita tidak patut bangga dan memukul dada merayakan kemerdekaan jika berbagai persoalan belum dibenahi. Jangan sampai kita telah sempit mendefenisikan kemerdekaan. Jika defenisi kemerdekaan hanya terbatas pada “lepasnya bangsa ini dari cengkeraman penjajah”, kepala kita telah terisi oleh mental imperialisme. Kemerdekaan yang sesungguhnya haruslah mencapai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kita tentu tahu, ketika sebuah video viral beberapa orang menginjak bendera Merah-Putih ditengah perayaan hari kemerdekaan. Tanpa bermaksud membenarkan tindakan anarkisme itu, tetapi pemerintah perlu menggarisbawahi bahwasannya itu tidak lain dari ekspresi kekecewaan dan luka atas ketidakadilan.

Bagi saya, bendera dan tetek bengek perayaan itu hanyalah euforia belaka. Apalah arti semua itu jika rakyatnya melarat dan menjerit dalam kemiskinan? Apalah arti kemewahan upacara Kemerdekaan jika negara masih gagal memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme? Apalah arti hingar bingar bunyi hormat senjata para prajurit tetapi memanfaatkan senjata itu untuk menekan dan mengancam rakyat?

Masalah Besipae adalah masalah besar bangsa. Negara tidak boleh menutup mata. Harga diri bangsa sedang dipertaruhkan. Jika negara tidak hadir mengatasi persoalan bangsa ini, untuk apa kita menggembar-gemborkan Pancasila?

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler