Erwin Hariadi Simamora, S.H : Kekuatan Mengikat dalam Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Hal Judicial Review Bermasalah dalam Praktek - Analisis - www.indonesiana.id
x

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Riau, Angkatan Tahun 2016, dengan Program Kekhususan Hukum Pidana

Erwin Hariadi Simamora

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Januari 2020

Rabu, 9 September 2020 14:36 WIB

  • Analisis
  • Topik Utama
  • Erwin Hariadi Simamora, S.H : Kekuatan Mengikat dalam Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Hal Judicial Review Bermasalah dalam Praktek

    Kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

    Dibaca : 1.293 kali

    Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

    Mahkamah Konstitusi atau yang sering disebut MK merupakan salah satu lembaga yudikatif. Sebagai lembaga yudikatif, MK mempunyai tugas-tugas  dalam hal membubarkan partai politik, memutus sengketa pemilu, menyelesaikan sengketa antar lembaga negara, dan menguji UU terhadap UUD NRI 1945.

    Sebagai lembaga Yudikatif,Mahkamah Konstitusi adalah Pengawal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dlam melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan (Judicial Review), setiap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Final dan Binding. Artinya sifatnya Orga Omnes dan mengikat bagi semua pihak dan terhadap peraturan perundang-undangan yang sama meskipun pemohon dan penggugat Undang-Undang tersebut bukan orang yang berperkara layaknya dalam perkara pidana dan perdata

    Saat ini sudah menjadi kekhawatiran bagi bagi kita, apabila melihat banyaknya Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dilaksanakan. Sangat miris  memang. Namun hal itu terjadi karena adanya kekosongan hukum dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mampu mengakomodir hal tersebut karena tidak ada sanksi yang mengatur terkait hal tersebut.

    Kurangnya perhatian, khususnya DPR dalam hal ini memicu polemic dalam pelaksaan putusan Mahkamah Konstitusi ditambah dengan adanya ego sektoral dimasing-masing lembaga dan kurangnya koordinasi diantara lembaga memicu makin buruknya sistem penerapan dalam hukum itu sendiri.

    Adapun aturan yang menjadi masalah saat ini adalah Dalam putusan No. 34/PUU-XI/2013 ini, MK menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam suatu kasus dapat dilakukan berkali-kali, akan tetapi Namun, tak lama kemudian Mahkamah Agung (MA) merespons putusan ini dengan Surat Edaran MA (SEMA) yang bertolak belakang, yakni SEMA No. 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan peninjauan hanya sekali. MA beralasan bahwa peninjauan kembali juga diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 14 Tahun 1985 tentang MA dan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

    Seharusnya, setelah adanya putusan tahun 2013 itu, secara mutatis mutandis putusan MK itu membatalkan ketentuan dalam dua UU tersebut. Mutatis Mutandis dalam hal ini maksudnya adalah putusan MK juga berlaku terhadap ketentuan sama yang disebut dalam dua UU tersebut.

     

    Penulis, 

    Erwin Hariadi Simamora, S.H

    Ikuti tulisan menarik Erwin Hariadi Simamora lainnya di sini.



    Suka dengan apa yang Anda baca?

    Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.