x

cover buku Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga II

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 8 Desember 2020 05:18 WIB

Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga II

Buku ini mengungkap perubahan-perubahan besar di Asia Tenggara pada kurun 1450–1680. Analisis ini melengkapi informasi tentang alam, makanan, budaya material dan dinamika penduduk dalam buku sebelumnya. Reid memilih periode abad 15-17 karena adanya ledakan perdagangan dunia di abad 16. Saat itu Asia Tenggara mempunyai peran sangat besar, yaitu sebagai pemasok produk perdagangan di luar emas dan perak. Namun pada saat itu juga penguasa-penguasa lokal mulai kehilangan perannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 II

Judul Asli: South Asia in the age of commerce 1450-1680 II

Penulis: Anthony Reid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2011 (cetakan II)

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia                                                       

Tebal: xxxiii + 440

ISBN: 978-979-461-330-6

 

Jika pada jilid I, Reid banyak membahas tentang alam, makanan dan budaya material, di jilid II ini dibahasnya tentang perubahan-perubahan besar di Asia Tenggara pada kurun 1450 – 1680. Analisis terhadap perubahan-perubahan besar itu melengkapi informasi tentang alam, makanan, budaya material dan dinamika penduduk yang telah dibahas di jilid I.

Reid memilih periode abad 15-17 adalah karena adanya ledakan perdagangan dunia di abad 16, dimana Asia Tenggara mempunyai peran yang sangat besar, yaitu sebagai pemasok produk yang diperdagangkan diluar emas dan perak. Namun pada saat itu juga, penguasa-penguasa lokal di Asia Tenggara mulai kehilangan perannya karena datangnya Eropa. Jika sebelumnya kerajaan-kerajaan seperti Majapahit dan lain-lainnya memegang peran penting dalam perdagangan rempah dari pusatnya di Maluku, pada periode abad 15-17, peran mereka mulai surut dan digantikan oleh kekuatan Eropa.

Reid mengungkapkan pengaruh ledakan perdagangan di Asia Tenggara terhadap demografi, tata kota, kepemimpinan masyarakat, agama dan distribusi kemakmuran. Buku ini juga dilengkapi dengan daftar dinasti-dinasti penting di Asia Tenggara dan bahan bacaan lanjutan bagi pembaya yang ingin memelajari Asia Tenggara lebih lanjut.

Asia Tenggara, khususnya Maluku adalah sumber dari rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Kedua produk yang diperdagangkan ke Eropa, Timur Tengah dan China ini, pada waktu itu belum diproduksi diluar pulau-pulau kecil di Maluku. Adalah orang China yang mula-mula menemukan nilai berharga dari cengkeh. Pelayar China datang langsung ke Maluku. Namun kemudian peran mereka digantikan oleh orang-orang Melayu dan Jawa, yaitu diantaranya adalah orang-orang China yang membelot dan memilih tinggal di wilayah Melayu dan Jawa.

Selain dari cengkeh dan pala, Asia Tenggara juga merupakan sumber produksi lada. Lada memang bukan monopoli produk dari Asia Tenggara. Lada baru menjadi komoditas penting setelah abad ke 15. Bahkan lada menjadi komoditas yang sangat penting bagi Sumatra, Jawa dan Kalimantan Selatan di abad 17-18. Karena lada dari wilayah ini harganya sangat bisa bersaing daripada lada dari India. Dengan tiga komoditas utama yang diperdagangkan dunia saat itu di luar emas dan perak, Asia Tenggara memegang peran yang sangat penting.

Setelah perdagangan di Asia Tenggara lesu karena beberapa sebab, tiba-tiba Asia Tenggara menjadi kembali ramai dengan perdagangan. Kedatangan rombongan Ceng Ho dari China (1405) dan masuknya pelayar Portugal ke wilayah ini di abad 15. Ramainya perdagangan di Asia Tenggara ini selain disebabkan oleh rempah-rempah asli dari Indonesia juga disebabkan karena semakin banyaknya produksi lada di Indonesia. Lada yang banyak ditanam di Jawa, Sumatra dan Kalimantan bagian selatan menjadi komoditas utama yang diperdagangkan.

Akibat terbesar bagi demografi karena maraknya perdagangan ini adalah terjadinya perpindahan penduduk, baik menentap maupun sementara di kota-kota bandar internasional. Interaksi antar bangsa dalam rangka perdagangan ini menimbulkan pluralisme di kota-kota bandar. Pluralisme ini berpengaruh kepada kepemimpinan di wilayah ini pada abad berikutnya. Orang-orang asing membaurkan dirinya menjadi orang lokal dengan memeluk agama mayoritas di wilayah tersebut, mengganti pakaiannya dan mengikuti cara hidup masyarakat lokal (elite lokal).

Perdagangan antar benua yang marak ini menggerakkan perdagangan lokal. Sebab kota-kota bandar memerlukan pasokan makanan seperti beras, sayuran, ikan dan sebagainya. Kota-kota bandar menjadi penghubung antara komunitas internasional dengan pedalaman yang masih tertutup. Reid menyatakan bahwa sepinya kota-kota bandar di tahun 1900, bukan disebabkan lambannya perkembangan kota di jaman sebelumnya, tetapi justru karena proses kolonisasi. Kolonialisme menyebabkan kota-kota pelabuhan menjadi kota tertutup karena orang lokal tidak bisa bermigrasi dan tinggal di sana (hal. 82). Bukti bahwa perdagangan di era abad 15-16 membuat kota-kota dagang yang semarak adalah adanya benteng-benteng yang dibangun secara kokoh dan lanskap kota yang mewadahi berbagai pemukiman dan kegiatan di kota-kota tersebut. Meski kota-kota tersebut memiliki benteng, tetapi pada umumnya kota tersebut tidak terkurung tembok.

Barulah pada jaman kolonial, kota-kota tersebut mulai bertembok. Mula-mula tembok untuk memisahkan antara penguasa dengan orang asing. Namun kemudian tembok-tembok juga dibangun untuk melindungi dari serangan dari pihak musuh. Kota Makassar misalnya membangun tembok di Sombaopu untuk menghalangi serangan Belanda.

Selain dari perkembangan kota, ledakan perdagangan di abad 14-15 juga membuat wilayah Asia Tenggara memiliki uang sebagai sistem tukar. Uang keping yang berbahan dasar emas, perak dan tembaga sudah lazim digunakan di kota-kota bandar dimana perdagangan internasional terjadi. Meski sudah menggunakan keping mata uang, namun pada umumnya kota-kota tersebut tidak memiliki mata uang lokal.

Dari sisi kepemimpinan, era ini membawa warna baru. Selain dari orang kaya (elite lokal) terdapat juga orangkaya yang berarti saudagar. Saudagar pun ada dua jenis, yaitu mereka yang berasal dari luar atau keturunan luar dan orang lokal yang bergiat di perdagangan sehingga mempunyai kekayaan. Para saudagar ini pada umumnya mempunyai hubungan dengan orang kaya (elite lokal) dan mempunyai peran politik. Bahkan para saudagar asing ini seringkali berperan lebih mendalam sampai menggeser elit lokal dalam kekuasaan politik. Elite lokal yang menjadi bangsawan karena perang dan pertanian lambat laun juga masuk ke perdagangan.

Ledakan perdagangan di abad 13-14 membawa pengaruh agama-agama dari luar ke asia Tenggara. Aga Hindu Budha dari India, Kunghucu dari China, Islam dari Timur Tengah dan Kristen dari Eropa ikut terbawa oleh para pedagang. Agama Hindu dan Budha sangat berpengaruh kepada para bangsawan keraton, sebelum akhirnya abad 13-14 Islam mulai berpengaruh dan kemudia Kristen. Islam mengalami kejayaan pengaruh di wilayah Asia Tenggara pada abad 15-17. Penyebaran Islam di wilayah ini terjadi secara luar biasa. Kekalahan Malaka oleh Portugis tidak berakibat pada berkembangnya agama Kristen, tetapi malah menimbulkan konsolidasi kekuatan Islam di wilayah Asia Tenggara. Termasuk sisa-sisa kekuasaan Hindu-Budha di Jawa (Majapahit) justru jauh ke tangan Islam. Kekristenan, meski tidak semasif Islam juga berhasil menancapkan kukunya di wilayah ini, seperti misalhnya di Filipina dan Kristen (Katholik) di Indonesia Timur. Sedangkan penduduk Asia Daratan, karena mereka sudah kuat memegang agama Budha Therawada, pengaruh agama Islam dan Kristin tidaklah terlalu masif dibanding dengan wilayah bawah angin.

Agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen berhasil masuk ke wilayah Asia Tenggara yang sudah memiliki sistem agama sendiri ini karena agama-agama ini tidak mengharuskan masyarakat untuk mengubah perilakunya. Agama-agama ini puas dengan penerimaan pasif dari masyarakat Asia Tenggara. Islam hanya menambahkan orang untuk mengucapkan kalimat sahadat untuk menjadi Islam. Saat itu Islam tidak menuntut perubahan perilaku yang ketat kepada pemeluk barunya di Asia Tenggara. Demikian pun dengan Kristen yang hanya mensyaratkan pembabtisan saja. Agama-agama baru (Islam dan Kristen) ini juga lebih praktis karena roh/tuhannya bisa dibawa kemana-mana. Mereka tidak perlu kembali ke desa asal untuk melakukan ritual. Dengan demikian agama ini lebih praktis dan sesuai dengan mobilitas orang yang semakin gencar.

Agama, khususnya Islam dan Kristen ini berperan besar ketika masa kolonialisme masuk ke wilayah Asia Tenggara. Agama (Islam dan Kristen) menjadi salah satu identitas pemersatu dalam persaingan dagang dan kekuasaan (monopoli melalui kekuasaan dan senjata).

Meski cukup berhasil, perkembangan agama Islam dan Kristen bukannya tanpa tantangan. Konsep bahwa kekuasaan spiritual terpisah dari kepemimpinan elite menyebabkan penolakan dari bangsawan yang sudah merasa mapan dengan ajaran dimana raja adalah pengejawantahan tuhan di bumi. Setidaknya mereka adalah wakil dari tuhan di bumi. Pemisahan spiritualitas dari kepemimpinan ini membuat legitimasi para bangsawan menjadi berkurang. Namun sering kali agama digunakan sebagai sebuah faktor pendukung suksesi berdarah. Kerajaan-kerajaan kecil menerima agama baru untuk konolidasi kekuatan menentang kerajaan besar yang menguasainya dan masih menolak agama baru tersebut. Contohnya Perlak yang mendahului Pasai dan Trengganu yang mendahului Pattani.

Pada abad 13 dan sebelumnya muncul negara-negara besar di Asia Tenggara. Diantaranya adalah Angkor, Pagan dan Jawa. Selain itu juga banyak kerajaan-kerajaan kecil yang ada karena proses penaklukan dan hubungan dengan para pelindungnya.

Negara-negara besar itu mengalami kemunduran terutama karena para pedagang luar negeri berhasil sampai kepada sumber barang yang diperdagangkan. Dengan hadirnya para pedagang sampai ke sumber barang, maka peran negara-negara tersebut menjadi hilang. Akibatnya negara-negara tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan pemerintahannya. Apalagi kehadiran agama-agama (India) menyebabkan akses tanah berpindah dari penguasaan kerajaan ke penguasaan para agamawan.

Kerajaan-kerajaan yang muncul berikutnya bercirikan kerajaan yang berbasis perdagangan (laut) dan hasil kolaborasi antara penguasa lokal dengan para pedagang tersebut. Para pedagang tersebut selain membawa kemajuan ekonomi juga membawa “perlindungan” dari tempat asal mereka. Para pedagang yang berkolaborasi dengan penguasa local juga membawa teknologi senjata yang jauh lebih maju daripada alat perang yang dimiliki oleh penguasa lokal. Di abad 17, aliansi kerajaan-kerajaan berbasis agama (Islam dan Kristen) mulai semakin kentara. Perseteruan agama terbawa dalam penguasaan aset ekonomi di Asia Tenggara.

Perdagangan yang marak di awal abad 15 sampai dengan abad 17 telah membuat Asia Tenggara kehilangan perannya dalam perdagangan dari wilayah pedalaman. Mau tidak mau, para penguasa lokal harus bekerjasama dengan para pedagang pendatang supaya mereka bisa terus eksis.

Maraknya perniagaan tersebut juga membawa budaya dan agama dari luar ke Asia Tenggara, membawa sistem hukum yang lebih melindungi kepemilikan individu, sistem ekonomi yang terkoneksi secara global dan sistem kenegaraan modern. Selain itu dominasi kolonialisme Eropa telah membawa kemiskinan yang parah di Asia Tenggara.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler