x

Ilustrasi Kepemimpinan. Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 28 Februari 2021 17:47 WIB

Pemimpin pun Tak Perlu Enggan Mengakui Kesalahan

Mengakui kekeliruan bukanlah hal buruk bagi pemimpin asalkan ia segera memperbaiki diri, dan mengakui kekeliruan lebih baik ketimbang mencari-cari argumen pembenaran atas tindakan yang salah atau tidak tepat. Sebab, argumen pembenaran akan mudah runtuh karena tidak dibangun di atas landasan kejujuran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Di masa lampau, kita punya banyak pemimpin yang arif bijaksana, yang sungguh-sungguh memikirkan masa depan bangsa: bagaimana bangsa ini bisa bangkit dari mental terjajah, bagaimana menjadi bangsa yang punya harga diri, bagaimana menjadi bangsa yang menjunjung kejujuran, keadilan, dan nilai-nilai baik lainnya, yang semestinya menjadi sumber rujukan bagi segala jenis aturan yang dibuat legal di gedung parlemen.

Salah seorang pemimpin itu ialah pendiri Taman Siswa, tak lain Ki Hajar Dewantoro—sosok sederhana yang mendidik anak-anak bangsa agar menjadi manusia terhormat. Di antaranya Ki Hajar mengajarkan prinsip bahwa siapapun yang memimpin harus bisa memberi teladan kepada yang dipimpin. Prinsip ini diringkaskan dalam ungkapan ing ngarso sung tulodo, yang mashur tapi juga yang semakin jarang dipraktekkan dalam hidup keseharian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keteladanan pemimpin itu penting, sebab rakyat akan selalu memperhatikan apakah seorang pemimpin berpikir, bersikap, dan berperilaku seperti yang ia sampaikan kepada rakyatnya. Rakyat akan mengikuti teladan yang diberikan oleh pemimpinnya—jika pemimpin memberi teladan yang baik, rakyat akan mengikuti dengan penuh hormat. Bila sebaliknya yang terjadi, rakyat mungkin akan bertanya-tanya, bingung, atau tertawa tapi di balik punggung.

Salah satu keteladanan yang diperhatikan rakyat ialah konsistensi antara perkataan dan tindakan. Jika terjadi kontradiksi di antara keduanya, dapat dimengerti bila rakyat berpikir bahwa perkataannya itu tidak sesuai dengan yang ia pikirkan, sedangkan tindakannya itulah sebenarnya wujud nyata dari pikirannya.

Apabila pikiran seorang pemimpin berubah-ubah, mungkin saja rakyat mula-mula menyangka bahwa pemimpinnya memiliki pikiran yang dinamis, sehingga perubahan merupakan hal biasa. Tapi bila sering terjadi, mungkin rakyat mulai menduga pemimpinnya tidak konsisten dalam berpikir, berkata, maupun berperilaku—kadang begini, kadang begitu; mungkin tergantung mood, lain kali tergantung kepentingan.

Bila ketidak-konsistenan pemimpin berlangsung secara konsisten, ini berpotensi menjadi perkara serius, sebab rakyat lantas tidak memiliki rujukan yang pasti mengenai suatu hal. Rakyat tidak bisa diminta untuk memaklumi ketidak-konsistenan dengan alasan bahwa itu merupakan wujud pikiran yang dinamis. Repotnya lagi jika kemudian dicari argumen tertentu untuk membenarkan ketidak-konsistenan itu, dan bukannya menyadari bahwa si pemimpin perlu melakukan introspeksi diri. Bila kontradiksi antara perkataan dan tindakan kerap terjadi, kepercayaan rakyat terhadap pemimpin berpotensi berkurang perlahan-lahan.

Mengakui kekeliruan bukanlah hal buruk bagi pemimpin asalkan ia segera memperbaiki diri, dan mengakui kekeliruan lebih baik ketimbang mencari-cari argumen pembenaran atas tindakan yang salah atau tidak tepat. Sebab, argumen pembenaran akan mudah runtuh karena tidak dibangun di atas landasan kejujuran—kuncinya adalah kejujuran. Mengakui kekeliruan bukanlah hal yang memalukan, sebab berbuat kesalahan itu manusiawi—pemimpin hebat dalam sejarah manapun pernah melakukan kesalahan, namun mayoritas memang tidak memiliki keberanian untuk mengakuinya.

Rakyat akan lebih bisa menerima pengakuan kekeliruan seorang pemimpin ketimbang pemimpin mencari-cari argumen pembenaran yang ternyata tidak cukup kokoh. Apa lagi jika ia mengerahkan pembantunya maupun pendukungnya untuk membela argumen pembenaran yang tidak jujur. Pemimpin yang tidak pernah mengakui kesalahan atau kekhilafan bukanlah karena ia memang sepenuhnya benar, melainkan karena ia merasa paling benar.

Kembali kepada nasihat Ki Hajar, ing ngarso sung tulodo—di depan memberikan contoh. Pengakuan pemimpin atas kekeliruannya juga merupakan teladan baik yang bisa dicontohkan. Rakyat akan lebih bisa menerima pengakuan semacam itu, sebab rakyat memahami bahwa dalam batas-batas tertentu kesalahan sangat mungkin terjadi sepanjang itu kekhilafan yang tidak disengaja. Pengakuan jujur semacam itu menandakan kebesaran dan kerendahan hati pemimpin, dan rakyat akan menghargainya dan mencontohnya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler