Politik Zaman Now dan Era Perjuangan [2]: Apa yang Diimajinasikan Politisi Masa Kini?
Sabtu, 27 Maret 2021 07:45 WIBBagaimana para pemimpin mengimajinasikan Republik ini 25 tahun mendatang? Jangan-jangan, dalam hal mengimajinasikan masa depan negerinya sendiri, kita tertinggal jauh dibandingkan dengan para perintis dan pejuang Republik puluhan tahun yang silam.
Di zaman perjuangan dulu, pemimpin dan rakyat jalan bareng—kemana-mana rentang-renteng tidak terpisah, sebab mereka sama-sama pejuang, sama-sama bergerilya, hanya saja berbagi tugas. Kedekatan itu membuat pemimpin melihat sendiri dan merasakan dengan penuh empati kehidupan rakyat yang umumnya serba di bawah standar, nyaris dalam segi apapun. Dari kedekatan itu pula, pemimpin mengerti benar bagaimana harus memberi bentuk pada Republik ini—horison penglihatan mereka terbuka karena mata melihat, telinga mendengar, dan mata hati mereka menangkap getaran harapan rakyat.
Zaman memang sudah berubah, tantangan semakin kompleks, sedangkan kapasitas dan kapabilitas kepemimpinan tampak cenderung menurun. Ini terlihat dari sikap, keputusan, serta tindakan, dari wacana dan narasi, bahkan dari diksi yang digunakan dalam berbicara. Belum lagi konflik kepentingan, yang membuat langkah pemimpin tampak tersendat-sendat karena ada yang menggayuti, tidak bisa lepas-bebas. Padahal dunia bergerak lebih cepat, berubah serba mendadak, saling terjalin, sehingga butuh kesigapan pemimpin untuk mengantisipasinya.
Apa yang paling dibutuhkan saat ini? Berbagai riset mutakhir menyebutkan bahwa mayoritas CEO perusahaan global memilih kreativitas dan imajinasi sebagai syarat penting dalam kepemimpinan untuk menjawab situasi global yang berubah cepat dan kerap tidak terduga. Syarat-syarat lain yang sebelumnya kerap disebut kini dianggap sebagai syarat minimal yang sudah seharusnya dipunyai, namun kekuatan kreativitas dan imajinasi semakin dibutuhkan. Kreativitas dan imajinasi membuat orang mampu belajar cepat [agile] dan bersikap adaptif terhadap perubahan—tidak bingung, gagap, dan lelet.
Mengukur kemampuan kreatif dan imajinatif pemimpin memang tidak mudah, namun jika kita ambil contoh bahwa impor selalu menjadi solusi instan bagi kekurangan sesuatu di dalam negeri, maka kita dapat membayangkan seberapa tinggi kreativitas dan imajinasi pengambil keputusan tersebut. Mampukah keterbatasan ini menjawab tantangan disruptif di era sekarang ke depan?
Kalau mau sedikit kompleks, mungkin kita dapat bertanya kepada para pemimpin: bagaimana mereka membayangkan pengaruh teknologi terhadap demokrasi kita dan kedaulatan Republik ini? Bagaimana para pemimpin mengimajinasikan Republik ini 25 tahun mendatang? Jangan-jangan, dalam hal mengimajinasikan masa depan negerinya sendiri, kita tertinggal jauh dibandingkan dengan para perintis dan pejuang Republik puluhan tahun yang silam. Pancasila dan UUD 45 adalah hasil imajinasi yang hebat; para perintis dan pejuang itu tahu bagaimana memberi wadah bagi bangsa yang baru lahir dengan latar belakang beraneka ragam.
Kreativitas menjadi unsur yang sangat penting untuk menghadapi perubahan cepat dan dahsyat, dan kreativitas sangat bertumpu pada kekuatan imajinasi—membayangkan sesuatu yang belum ada, yang bahkan tidak terpikirkan oleh kebanyakan orang. Kita membutuhkan kepemimpinan dengan kreativitas imajinatif ala Bill Gates, Steve Jobs, Brin n Page, hingga Elon Musk. Tak lain karena kompleksitas semakin tinggi, interkoneksi antar kepentingan kian pelik, begitu pula peran korporasi global makin mencengkeram kehidupan negara. Permainan strategi politik global juga semakin rumit.
Menghadapi semua itu, diperlukan kapasitas intelektual yang berbeda serta kemampuan imajinatif yang menembus masa, bukan dari jenis imajinasi ‘mengimpor beras justru menjelang petani panen raya’. Inilah tantangan kepemimpinan kita, yang sejauh ini sepertinya tak mampu menyamai kehebatan yang diperlihatkan para perintis dan pejuang Republik ini. Bangsa kita menghadapi tantangan serius dalam hal langkanya kepemimpinan visioner yang mengerti benar kemana kapal bangsa ini harus berlayar.
Tanpa kemampuan imajinasi, kita hanya meraba-raba, tergagap-gagap, dan terlambat merespon perubahan—respon terhadap pandemi merupakan contoh konkret mengenai hal ini. Kita bagaikan orang yang tidak paham bahwa satu hal bertautan dengan hal lain, sebab kita tidak memiliki cukup imajinasi untuk memikirkan hal itu; apa lagi menjangkau masa yang lebih jauh. Kita tidak cukup memiliki imajinasi bahwa ketika wabah meledak di Cina, dalam waktu yang tidak lama itu akan menjalar ke negeri ini melalui mobilitas manusia. Kita bagaikan orang yang tidak mengerti bahwa ada yang disebut ‘efek kupu-kupu’.
Kita belum memiliki lagi kepemimpinan dengan kualitas pemikiran dan imajinasi seperti yang ditunjukkan oleh para perintis dan pejuang Republik. Mereka bukan hanya aktif berpolitik dan menjalankan organisasi partai, tapi juga mendidik masyarakat, serta berpikir dan mengekspresikan pikiran tentang masa depan Republik dengan bahasa yang jernih—pertanda bahwa mereka mengerti benar kemana bahtera Republik ini harus diarahkan. Sungguh saya, di masa sekarang, kita jarang mendengar para pemimpin memaparkan imajinasi mereka tentang seperti apa Indonesia 25 tahun mendatang dan bagaimana kita menuju ke sana.
Politisi jelas banyak, sangat banyak, tapi negarawan terbatas, sangat terbatas. Inilah realitas yang tengah kita hadapi. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler