x

Ilustrasi Aksi Mahasiswa. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Iklan

Phiodias M

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 September 2021

Minggu, 24 Oktober 2021 15:47 WIB

Gejala Apatisme Intelektual, Apa Kabar Para Cendekiawan? (Bagian 7)

Kajian inefisiensi dan inefektivitas pendayagunaan sumber daya pembangunan, jelas itu murni subjek sains. Domain intelektual, bukan politik. Akan berubah menjadi isu politik ketika kajian itu digunakan menjadi legitimasi kekuasaan suatu kekuatan politik. Cepat atau lambat, suatu kekuasaan politik akan rontok ketika kajian ilmiah yang digunakannya tidak berdasarkan pada rasionalitas atau the best practices peradaban. Apalagi jika nantinya terbukti ada kesenjangan antara teori dan praktik dengan realitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagian 7 ini, merupakan rangkaian artikel bersambung yang gagasan pokoknya mengungkap bahwa ada 4 isu utama yang sedang dan akan dihadapi bangsa Indonesia. Yaitu: (a) apatisme intelektual; (b) fase pembuktian; (c) predikat bangsa sebagai objek peradaban dan (d) estafet regenerasi bangsa. Apatisme intelektual berimplikasi dominan atas ke-3 isu lainnya itu. Lihat Bagian 1. Penulis menganalisa keterkaitan ke-4nya dalam perspektif sejarah peradaban dan data empiris.

Bagian 7 ini masih terkait dengan pembahasan Bagian-bagian sebelumnya dengan lis judul berikut: Bab II Bagaimana Melihat 4 Isu Fundamental Bangsa (lihat Bagian 4); 2.1 Situasi Apatisme Intelektual; 2.1.3 Implikasi Apatisme Intelektual (lihat Bagian 5); a. Senyapnya kritikan rasionalistik; b. Tidak berubahnya predikat bangsa sebagai objek peradaban; c. Lemahnya pondasi dan strategi pembangunan bangsa; d. Lemahnya performa kelembagaan, refleksi dampak fundamental (lihat Bagian 6).

Bagian 7 ini akan membahas tentang sub-judul:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

e. Kadar diskursus kehidupan bangsa lebih dominan pada aspek teknikal daripada isu fundamental bangsa. Sub-judul ini akan dibahas sampai pada Bagian 8 dan 9.

Lebih mengemukanya diskursus aspek teknikal daripada isu fundamental bangsa pada lembaga yang kental dengan bobot kesaintifikannya itu, tentu mengundang tanya. Kecuali jika isu fundamental bangsa tersebut memang tidak lagi mencuat. 

Sulit menafikan bahwa isu fundamental bangsa itu tidak eksis dalam proses transformasi bangsa saat ini. Mengingat setidaknya 2 isu utama yang sedang menghadang perjalanan bangsa, yakni: (a) dimasukinya tahapan pembangunan bangsa pada fase pembuktian; (b) predikat bangsa masih sebagai objek peradaban.

Uraian isu pertama akan dibahas lebih detail pada Bagian 10. Sedangkan isu kedua akan dibahas pada Bagian 12. Definisi fase pembuktian telah dibahas pada Bagian 4.

Dalam perspektif sejarah peradaban bahwa fenomena rendahnya perhatian pada ketertautan aspek teknikal dengan isu fundamental tersebut, penulis anggap bukan kelaziman kodrat dan cara pandang keintelektualitasan kaum intelektual. Penulis berpandangan bahwa hal itu bisa dikategorikan sebagai fenomena disorientasi makna dan perkembangan sains. Dikhawatirkan, akan tergoda pada pendekatan lompatan berpikir, terlampauinya jejak argumentasi induk pemikiran. Ini sikap janggal dan terkesan kurangnya perhatian pada prinsip intelektualisme. Yang selalu berpegang pada prinsip jenjang perkembangan sains dan teknologi. Anak tangga kesaintifikan terdahulu menjadi menjadi pondasi anak tangga berikutnya. Tradisi ketertautan itu sudah terbangun sejak era filosof Yunani kuno. Kembali ditegas ulang oleh Francesco Petrarch. Sang konseptor Era Gelap Peradaban, penggerak Renaissance dan pencetus humanisme modern pada abad 14. Lebih mencapai bentuk konkritnya sejak munculnya teori empirisme Francis Bacon pada abad 17. Pengembangan-pengembangan sains dan teknologi pada umumnya, di bidang-bidang kedokteran, biologi, matematika, fisika, kimia, astrologi dan lainnya, selalu tertaut dengan pengembangan sebelumnya. Bahkan lintas bidang. Termasuk pengembangan teknologi di bidang kelistrikan, permesinan, komputasi, teknologi bahan dan aeronautika.

Mekanisme dan pola relasi rangkaian fenomena kesejarahan itu penulis sebut sebagai Dalil Ke-10. Dalam rangkaian itu ada 5 kaidah yang bekerja yakni: keutamaan, kesatuan, keterhubungan, keseimbangan dan keberlangsungan. Dalil ini akan diuraikan pada Bagian 14.

Terkait dengan sub-judul fenomena rendahnya perhatian pada ketertautan itu, penulis akan mengungkap beberapa catatan dan studi kasus, yakni:

1) Apa konsekuensinya jika fenomena rendahnya perhatian pada ketertautan itu akan berlangsung terus menerus ? Alasan penulis mengangkat isu itu, karena fenomena itu sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Publik tidak menyadari adanya konsekuensi yang cukup fatal bagi keberlanjutan perjalanan bangsa. Banyak pembelajaran bangsa yang terjadi pada masa lalu tidak dijadikan pedoman perbaikan bagi kebijakan negara ke depan. Seharusnya krisis 97/98 yang multi dimensi itu dijadikan pembelajaran sangat berharga bagi bangsa. Setidaknya, terkait dengan isu tema pembangunan nasional, penguatan 5 sektor pencerdasan bangsa, profesionalisme, etika dan mentalitas bangsa serta aspek prioritas pembangunan. Contohnya, UU Tata Ruang belum berperan efektif mendukung ketataruangan nasional karena terbatasnya ketersediaan petunjuk dan standar teknis pada tingkat akar rumput tugas keprofesionalitasan. Ini menyangkut dengan isu penguatan profesionalisme bangsa. Yang sampai saat ini baru menjadi slogan belaka. Ini berdasarkan fakta empiris. Keadaan belum efektifnya peran UU tersebut; berdampak pada sejumlah isu seperti: tercampurnya zoning ruang-ruang wilayah dan kota, integrasi peran dan fungsi antar kota, reklamasi, penanggulangan banjir, longsor, kemacetan lalu lintas, pengendalian pencemaran lingkungan. Juga terlambat terbitnya UU Keinsinyuran dan proses sertifikasi profesi. Yang menyebabkan tingkat kematangan profesionalitas kita belum sejajar dengan kebutuhan dan tantangan bangsa.

Fenomena rendahnya perhatian pada ketertautan itu, berpotensi bahwa bangsa abai dengan isu fundamental. Dengan kondisi demikian, wajar jika arah kebijakan negara condong pada pragmatisme. Sering terlihat solusi permasalahan bangsa secara tersegmentasi. Tidak mengejar dan menyentuh hulu masalah. Abai dengan dengan prinsip pengutamaan dan keutamaan. 

Kenapa penanganan isu pencerdasan bangsa baru sebatas penyatuan sektor pendidikan dan sektor riset dalam satu kementerian? Kenapa 3 sektor lainnya - profesionalisme, ketenagaahlian dan perencanaan - tidak dikoordinasikan dalam satu otoritas kewenangan? Apalagi jika isu ketatakelolaan dan usaha penguatan etika dan mentalitas bangsa ditambahkan lagi ke dalam satu otoritas kewenangan yang sama dengan di atas. 

Ilustrasi di atas sekedar memberi gambaran bahwa bagaimana jika kita menggunakan prinsip keutamaan dan pengutamaan agar minimalnya ekses solusi tersegmentasi. Dampak terpaku pada isu hilir atau aspek teknikal saja.

Dalam contoh keseharian kita sering dihadapi pada fakta-fakta kontradiktif. Seperti sering terdengarnya kampanye penggunaan teknologi digital/5G demi efisiensi dan efektivitas operasional. Tapi di sisi lain kita juga sering mendengar tentang isu konsolidasi dan ketidakakuratan data di lapangan. Tidak disadari bahwa diantara kampanye dan isu itu, menganga sejumlah isu fundamental yang perlu ditangani terlebih dahulu agar agar digitalisasi/pendayagunaan 5G itu akan menjadi optimal. Diantaranya terkait dengan isu pencerdasan bangsa, profesionalisme, etika dan mental, standardisasi teknis, kodifikasi sistem data; masih menjadi tantangan besar bangsa saat ini. Terkesan selama 76 tahun pembangunan nasional, usaha dan perhatian negara merapatkan jurang yang menganga itu masih terbatas. Saat ini kita harus menerima konsekuensi itu. Bangsa kita masih berpredikat sebagai objek peradaban. Salah satu dari 4 isu fundamental bangsa saat ini yang menjadi tema sentral pembahasan artikel bersambung ini. Akan dibahas lebih detail pada Bagian 12.

Dalam kondisi demikian, wajar jika sejumlah isu fundamental bangsa menumpuk yang akan beban generasi penerus bangsa seperti butir 2) di bawah ini.

2) Sejumlah isu fundamental bangsa saat ini. Tentu tidak pas jika penulis mengeritik subjek kurangnya perhatian pada ketertautan itu namun tanpa mendeskripsikan apa saja isu fundamental bangsa yang tengah menghadang perjalanan bangsa saat ini. Penulis mencatat ada 7 isu fundamental bangsa. Berdasarkan analisa penulis atas 8 indikator kondisi bangsa tersebut yang merupakan fakta empiris yang akan dibahas pada Bagian 12, 2.4 Pembangunan Nasional Selama 76 Tahun Merdeka dan Predikat Objek Peradaban. Juga terinspirasi setelah mencermati dokumen Visi Indonesia 2045 terbitan Bappenas 2019. Yaitu:

a) Agar "pembangunan kecerdasan atau kapasitas bangsa" menjadi tema pembangunan nasional. Dengan 2 alasan, yakni: 

a1) Tema 76 tahun pembangunan nasional yang condong pada kebijakan ekonomistik, bukannya humanistik, terbukti belum membawa perjalanan bangsa mendekati cita-cita proklamasi. Agar meningkatnya kapasitas pencerdasan bangsa.

a2) Merupakan the best practices peradaban. Tema itulah yang menaungi 9 fase kebangkitan peradaban Barat /modern. Akan dibahas pada Bagian 10, 2.2 Fase Pembuktian. Termasuk Jepang, Tiongkok dan Korea Selatan menggunakan tema itu dalam proses transformasi bangsanya.

b) Penguatan SDM dalam perspektif peningkatan pendayagunaan 5 sektor pencerdasan bangsa. Mengingat akan semakin kencangnya tahapan estafet regenerasi bangsa pada 2024, seharusnya elit generasi senior segera membereskan PR amanah Proklamasi yang masih terbengkalai ini.

c) Penguatan strategi penanganan pengembangan sumber daya bangsa. Penguatan SDM dikaitkan dengan kebutuhan/tantangan strategis bangsa dan peningkatan nilai tambah SDA. 

d) Penguatan riset, profesionalisme dan prosesor kecerdasan/perencanaan. Ketiga tipe peran kecerdasan ini akan menjadi sumber energi kecerdasan bangsa yang luar biasa. Saat ini penguatannya masih menjadi tantangan besar bangsa. Potensi pengembangannya masih terbuka lebar.

e) Penguatan pembangunan jati diri bangsa yang mencakup kesadaran kecerdasan, etika dan mentalitas kebangsaan. Tidak ada salahnya jika kita mengadopsi resep keberhasilan Restorasi Meiji Jepang itu. Mereka memulainya dengan penguatan pembangunan jati diri bangsa sebagai pondasi pembangunan. Juga mari kita belajar pada 9 tahapan kebangkitan peradaban Barat/modern dimana fase 1, 2 dan 4 (kesadaran humanisme, penegakan etika dan pembangunan mental) menjadi pondasi bagi 5 fase sesudahnya. Akan dibahas pada Bagian 10, 2.2 Fase Pembuktian.

f) Mendekatkan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan dan tantangan bangsa. Sebetulnya pendekatan seperti ini sudah dilakukan pada fase-fase awal era kebangkitan peradaban Barat yang melahirkan saintis-saintis terkenal seperti Galileo Galilei, Isaac Newton, Michael Faraday.

g) Menetapkan indeks kemandirian/kapasitas bangsa. Tanpa penetapan ini, terkesan rendahnya komitmen bangsa mewujudkan cita-cita Proklamasi.

3) Studi kasus kelembagaan. Terjadinya downgrade lingkup intelektualitas penalaran masalah bangsa adalah dampak paling serius dari situasi apatisme intelektual itu. Fenomena yang bukan ilusi penulis ini terjadi adalah akibat salah kaprah pemaknaan berpolitik dan politik praktis seperti telah diuraikan pada Bagian 5.

"Korbannya" tidak sembarangan, yakni lembaga-lembaga dalam lingkup kecerdasan peradaban (pendidikan, riset, profesionalisme, ketenagaahlian dan prosesor kecerdasan) yang kenamaan. Disini penulis hanya menyoroti 3 lembaga yang mewakili fenomena itu yaitu: a) Institut Teknologi Bandung (ITB); b) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan c) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Masing-masing mewakili 3 sektor pencerdasan bangsa, yakni: pendidikan, riset dan perencanaan. 

a) Institut Teknologi Bandung (ITB). Sepanjang Bagian 7, akan dibahas sub-subjek ITB. Sedangkan sub-subjek LIPI dan Bappenas akan dibahas pada Bagian 8 dan 9. 

Setelah dimasukinya Bagian 7 ini, penulis semakin yakin bahwa fenomena apatisme intelektual itu nyata adanya. Keyakinan itu berdasarkan pada bukti empiris, argumentasi model bejana berhubungan kecerdasan dan benchmarking pencapaian. Seperti analisa kondisi BUMN pada Bagian 6.

Analisa fenomena kurangnya perhatian pada ketertautan ini, menambah keyakinan itu. Dibahas dengan beberapa bagian berikut:

(1) Peran dunia pendidikan dalam perkembangan kecerdasan peradaban. Secara ringkas, penulis merasa perlu membahas tentang peran dunia pendidikan dalam perkembangan kecerdasan peradaban. Berdasarkan pada pemahaman penulis atas Dalil Ke-6 Peradaban tentang perkembangan 5 wilayah tipe peran kecerdasan peradaban. Lihat Bagian 3.

Definisi sejarah munculnya era peradaban pada suatu wilayah didasarkan pada 4 indikator. Adanya budaya tulisan, salah satu dari indikator tersebut. 

Berdasarkan interpretasi penulis atas operational mode-nya bahwa untuk menyebarluaskan budaya itu diperlukan 2 posisi peran. Yaitu pihak yang mengajar - disebut sebagai guru - dan pihak yang diajar - disebut sebagai murid. 

Atas dasar pemahaman pada tanda-tanda era peradaban itu, budaya ajar mengajar sudah ada sejak dikenalnya budaya tulisan itu. Seusia dengan dikenalnya era peradaban sejak 5.000 tahun lalu.

Namun menurut catatan sejarah, budaya tulisan yang mengandung pemahaman makna tentang pengaturan tata kehidupan publik pertama kalinya dikenal pada 1755 - 1750 SM. Adanya kode hukum Hammurabi, bangsa Babilonia.

Sedangkan metodologi dan kelembagaan pendidikan menurut sejarah dikenal pertama kali ketika berdirinya Akademi Plato pada 387 SM di Athena. Plato mengatakan bahwa untuk menguasai pengetahuan dilakukan melalui 4 metodologi, yaitu: kontemplasi, diskusi, mengajar dan riset. Sedangkan konten pengetahuan saat itu terkait dengan pemahaman tentang alam semesta.

Pada era filosof Yunani kuno, sudah dikenal tipe peran kecerdasan kedua, yaitu ketenagaahlian di bidang kedokteran. Terkenal dengan sumpah kedokteran Hipokrates.

Berdasarkan pada catatan sejarah tentang perkembangan sains dan teknologi dan pertumbuhan produktivitas dunia, maka bisa dikatakan pemaknaan dan pemahaman pengetahuan tidak mengalami perkembangan pada era Abad Pertengahan. Sejak runtuhnya kekuasaan politik kekaisaran Romawi Barat sampai munculnya gerakan Renaissance. Saat itu terjadinya konflik sudut pandang dalam memahami sains antara saintis dan otoritas dogma. Atas dasar kondisi itu Francesco Petrarch menamakan era itu sebagai era Gelap Peradaban.

Pada era Renaissance, pemaknaan dan pemahaman sains mengalami perkembangan. Kembali tersambung pada teori-teori sains era filosof Yunani kuno. Mengalami perkembangan pesat semenjak lahirnya teori empirisme Baconian pada tahun 1620. 

Dunia pendidikanpun berubah wajahnya. Bergeser dari dominasi cara pandang dogma pada cara pandang rasionalistik. Dengan pembuktian empiris sebagai hukum tertinggi sains dan teknologi. Semangat baru hasil kebangkitan peradaban Barat itu, menumbuhkan budaya baru. Yaitu semangat penelitian, merupakan tipe peran kecerdasan ketiga.

Berdasarkan pengamatan penulis pada 9 fase kebangkitan peradaban Barat/modern, lahir tipe peran kecerdasan ke-4 dan ke-5. Masing-masing dikenal sebagai profesionalisme dan prosesor kecerdasan/perencanaan. Topik ini akan dibahas lebih detail pada Bagian 10, 2.2 Fase Pembuktian. Lahirnya kedua tipe peran terakhir sebagai penyempurna proses perkembangan tipe peran kecerdasan peradaban. Ke-5nya mempunyai operational mode yang khas.

Dari uraian di atas, penulis ingin menyimpulkan 2 hal:

(1a) Pendidikan adalah induk yang melahirkan ke-4 tipe peran kecerdasan peradaban lainnya. Namun keberhasilan misi peradaban dan kekayaan perannya ditentukan oleh ke-4 tipe peran lainnya yang merupakan tipe peran yang dilahirkannya. Dunia pendidikan kita saat ini diwarnai keterbatasan peran dan kontribusi 4 tipe peran kecerdasan lainnya itu. Kondisi ini berdampak rendahnya pendayagunaan potensi 5 sektor pencerdasan bangsa pada pembangunan.

(1b) Dengan amendemen UUD45 tentang alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%, bisa terjadi ketidaktepatan pemahaman tentang makna pencerdasan bangsa. Seharusnya dimaknai bahwa pemahaman pencerdasan bangsa harus terkait dengan 5 sektornya, yaitu: pendidikan, riset, profesionalisme, ketenagaahlian dan perencanaan. Hasil perkembangan tipe peran kecerdasan peradaban sejak 5.000 tahun lalu. Jadi pencerdasan bangsa bukan hanya isu sektor pendidikan belaka. Pemahaman ini berdasarkan pada interpretasi penulis atas perkembangan tipe peran kecerdasan peradaban itu.

(1c) Dunia pendidikan pernah mengalami stagnasi perkembangannya pada Abad Pertengahan di Eropah. Ketika alur rasionalitas, interaksi logika dan pembuktian terhambat mekanismenya oleh pemahaman mutlak pihak otoritas politik. Fenomena stagnasi ini terbukti menghambat perkembangan sains teknologi. 

Penulis prihatin bahwa situasi stagnasi perkembangan rasionalitas bangsa itu tengah kita hadapi. Mengingat adanya fenomena rendahnya perhatian pada ketertautan aspek teknikal dengan isu fundamental tersebut. Apakah ini pertanda adanya gejala campur tangan politik dalam mendefinisikan objektivitas sudut pandang sains seperti yang terjadi pada era Gelap Peradaban itu?

(2) Karakter dunia pendidikan khas era kebangkitan peradaban Barat. Penulis mencoba menganalisa kekhasan dunia pendidikan era kebangkitan peradaban di Eropah. Dengan mencatat periode kehidupan, pendidikan, pembimbing akademis, mahasiswa/pengikut dan karyanya dari 5 tokoh saintis di bawah ini.

(a) Nicolaus Copernicus. Periode kehidupan: 1473 - 1543. Pendidikan: Universitas Krakow, Universitas Padova. Pembimbing akademis: Pietro Pomponazzi. Pengikut: Galileo Galilei. Karya terkenal: teori Heliosentrisme, Hukum Copernicus.

(b) Francis Bacon. Periode kehidupan: 1561 - 1626. Pendidikan: Trinity College, Universitas Poitiers, Universitas Cambridge. Terpengaruh oleh: Plato, Aristoteles, Roger Bacon, Niccolo Machiavelli. Mempengaruhi: Thomas Hobbes, Isaac Newton, John Locke. Karya terkenal: Teori Empirisme.

(c) Galileo Galilei. Periode kehidupan: 1564 - 1642. Pendidikan: Universitas Pisa. Belajar tentang kecepatan dalam kinematik, velositas, gravitasi. Terpengaruh oleh: Nicolaus Copernicus. Pembimbing akademik: Ostilio Ricci da Fermo. Mahasiswa: Benedetto Castelli. Karya terkenal: penemuan Ganymede satelit Yupiter, cincin Saturnus. Dikenal sebagai Bapak Sains Modern.

(d) Isaac Newton. Periode kehidupan: 1643 -1727. Pendidikan: Universitas Cambridge. Pembimbing akademik: Isaac Barrow, Benjamin Pulleyn. Mahasiswa: Roger Cotes, William Whiston. Karya terkenal: mekanika Newton, hukum gerak Newton.

(e) Michael Faraday. Periode kehidupan: 1791 - 1867. Pendidikan: the Royal Institution. Pembimbing akademik: Humphry Davy. Inspirator: Hans Christian Ørsted, memperkenalkan fenomena elektromagnetisme 1821. Penerus gagasan: James Clerk Maxwell, membuat model matematika yang dikenal dengan Hukum Faraday.

Berdasarkan catatan tersebut, kelima saintis tersebut mempunyai benang merah kesamaan, yakni:

(2a) Mereka tokoh saintis terkenal yang berkontribusi besar pada kemajuan pengembangan sains dan teknologi pada awal era kebangkitan peradaban Barat.

(2b) Eksistensi mereka merupakan bagian dari rantai perkembangan sains dan teknologi. Perguruan tinggi tempat mereka menempuh pendidikan berperan sebagai penjaga rasionalitas berpikir melalui diskursus kesaintifikan, fasilitator pengembangan sains dan teknologi, arsip dokumentasi gagasan dan penyambung estafet gagasan lintas generasi, bangsa dan waktu.

Dengan menjadi bagian dari rantai perkembangan itu, gagasan keilmuan mereka selalu terhubung atau terkait dengan gagasan masa lalu dan menginspirasi pada gagasan masa depan.

Terkait dengan konteks fenomena rantai perkembangan itu, isu rendahnya perhatian pada ketertautan aspek teknikal dan fundamental itulah yang menjadi kegundahan penulis. Ini merupakan isu kesaintifikan yang menonjol belakangan ini di tanah air. Melanda 5 sektor pencerdasan bangsa. Yang menjadi topik sentral sub-judul ini.

Bisa terbayang bukan akan potensi konsekuensi yang terjadi. Tidak solidnya rantai perkembangan kesaintifikan di tanah air akan berdampak bahwa isu fundamental bangsa semakin luput dari perhatian negara. Kita bersiap-siap akan memasuki era baru. VOC jilid dua.

(2c) Mereka sama-sama tertarik dengan isu misteri keilmuan yang relevan pada zamannya. Berusaha mengungkapnya demi kemajuan peradaban dan memberi kemanfaatan pada publik.

Tentu penulis berharap agar semangat pengungkapan misteri keilmuan yang relevan dengan aspek pembangunan nasional juga dimiliki para saintis di tanah air. 

Penulis menduga terjadinya fenomena rendahnya perhatian pada ketertautan itu, karena para intelektual menganggap bahwa urusan utak-atik sumber daya pembangunan nasional adalah urusan politik. Buah kebijakan NKK yang berdampak tercampurnya pemahaman politik praktis dan politik kebangsaan. Ini perlu pelurusan pemahaman, agar potensi buah pikir intelektual muncul ke permukaan.

Kajian inefisiensi dan inefektivitas pendayagunaan sumber daya pembangunan, jelas itu murni subjek ilmu pengetahuan. Yang selalu berpihak pada tercapainya efisiensi dan efektivitas di segala bidang kehidupan. Domain intelektual, bukan politik. Akan berubah menjadi isu politik ketika kajian itu digunakan menjadi legitimasi kekuasaan suatu kekuatan politik. 

Sebaliknya, cepat atau lambat, suatu kekuasaan politik akan rontok ketika suatu kajian keilmuan yang digunakannya tidak berdasarkan pada rasionalitas atau the best practices peradaban. Apalagi jika nantinya terbukti ada kesenjangan antara teori dan praktik dengan realitas. Maka seketika itu, terjadilah delegitimasi kekuasaan politik. Fenomena itulah yang dialami ketika rontoknya kekuasaan politik rezim Orde Baru atau bubarnya negara Uni Soviet.

(3) ITB era 1970-an. Pada era 1970-an, Institut Teknologi Bandung yang dikenal dengan singkatan ITB itu, para aktivis mahasiswanya terkenal bersuara vokal atas berbagai kebijakan pemerintah pada saat itu. Dua demonstrasi besar-besaran mahasiswa 1974 dan 1978, para aktivis mahasiswa perguruan tinggi ini turut serta. Yang pertama dikenal dengan Malari. Sedangkan yang kedua dikenal dengan nama pernyataan sikap mahasiswa.

Penulis termasuk saksi sejarah pada peristiwa kedua. Walau tidak menyimpan kliping koran media nasional yang meliput momen pernyataan sikap itu, penulis masih ingat dengan narasi headline koran nasional waktu itu. Tentu tidak pas jika narasi itu kembali diungkap disini. Untuk ukuran sekarang saja, di alam demokrasi ini pengungkapannya kembali akan terasa kurang elok. Bernada sarkistis dan straightforward

Walau secara moral penulis mendukung aspirasi mahasiswa 1978 itu, namun dengan ungkapan polos itu apalagi ditengah-tengah pemerintahan otoriter, bisa dimaklumi jika otoritas bereaksi keras atas pernyataan sikap itu.

Eksesnya tidak tanggung-tanggung. Terjadinya pergantian petinggi kampus dan penyetopan sebagian besar aktivitas kampus beberapa saat. Klimaks dari reaksi pemerintah itu, keluarlah kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus. Terkenal dengan singkatan NKK yang menjadi isu sentral pembahasan artikel bersambung ini.

Cuplikan peristiwa sejarah itu sengaja diungkap kembali disini sekedar menyegarkan memori dan menggambarkan bahwa betapa kontrasnya sosok civitas akademika ITB saat ini. Terkesan telah menjadi "Anak Baik" dan hanya peduli pada isu teknikal belaka. Kesan itu tertangkap pada saat ITB melaksanakan peringatan akbar, Peringatan 100 Perguruan Tinggi Teknik Indonesia. Akan dibahas di bawah ini.

(4) Mengemukanya aspek teknikal daripada isu fundamental. Pada 3 Juli 2021 ITB merayakan ulang tahun ke 101 tahun Perguruan Tinggi Teknik Indonesia. Ini merupakan rangkaian ulang tahun ke 100 tahun, setahun sebelumnya. 

Sehubungan dengan perayaan itu, panitia menyampaikan pada publik bahwa ITB telah melaksanakan 6 konferensi internasional dan 3 seminar nasional. Topik-topik tentang sensor, makanan dan kesehatan, lingkungan, kebencanaan, energi, teknologi informasi dan komunikasi menjadi tema-tema konferensi tersebut. Sedangkan topik-topik tentang pariwisata, kemaritiman dan pembangunan 4.0 adalah tema-tema seminar nasionalnya.

Penulis prihatin dengan agenda ke 9 tema tersebut yang menurut pandangan penulis termasuk dalam lingkup teknikal, bukan fundamental. Dalam pemahaman penulis, isu teknikal itu merupakan turunan dari isu fundamental. Dengan dibahasnya isu teknikal itu tanpa penyertaan pembahasan isu fundamental, dapat dianggap bahwa subjek isu fundamental kebangsaan sudah berjalan sebagaimana mestinya. 

Pada bagian 2), penulis menyampaikan contoh sejumlah isu fundamental bangsa saat ini yang perlu mendapat perhatian publik. Tentu harapan tadinya, salah satu dari isu tersebut atau isu lain yang setara konteks dan bobotnya relevan akan dijadikan subjek seminar/konferensi dalam memperingati momen akbar tersebut.

Atau bisa juga dipilih tema terkait dengan kodrat kesejarahan dimana peradaban mengamanahkan lembaga pendidikan sebagai induk dari 4 kelembagaan tipe peran kecerdasan yang dilahirkannya - riset, profesionalisme, ketenagaahlian dan perencanaan. ITB menyandang predikat induk itu.

Selayaknya relasi ibu dan anak dalam konteks transformasi kecerdasan, tentu Sang Ibu sangat berkepentingan memantau sejauh mana perkembangan kapasitas anak didiknya. Terutama terkait dengan peran dan kinerja kelembagaan dalam pembangunan nasional.

Sebagai contoh, dengan masih terbatasnya kontribusi BUMN - representasi lembaga ketenagaahlian -dalam pembangunan nasional, tentu subjek tantangan kinerja BUMN layak menjadi diskursus publik. Selama 10 tahun terakhir, BUMN berkontribusi sebesar 2,8% PDB pada keuangan negara. Jauh di bawah pencapaian perusahaan-perusahaan negara China yang mencapai 40% PDB pada 2020.

(5) Menanti jawaban Pimpinan ITB. Terkait dengan isu mengemukanya aspek teknikal daripada isu fundamental pada peringatan 100 tahun PTTI tersebut, penulis sudah mencoba kontak email dengan pihak Biro Komunikasi dan Humas ITB. Melalui email humas@pusat.itb.ac.id tanggal 23 September 2021, penulis mendapat jawaban atas pertanyaan tersebut. Secara singkat dijawab bahwa pesan elektronik penulis tersebut akan disampaikan pada pimpinan.

Tentu belum didapatkannya jawaban Pimpinan ITB dapat dimaklumi, mengingat kesibukan tugas kesehariannya. Namun jawaban itu tetap relevan dan penting terkait dengan posisi dan peran ITB khususnya dan dunia pendidikan umumnya dalam perjalanan bangsa ke depan.

(6) Harapan peran ITB ke depan. Sebagai penutup dari ulasan sub-judul ini, tentu penulis berharap agar civitas akademika ITB tetap menjadi "Anak Baik", namun jangan sampai lupa dengan kodrat keintelektualitasannya. 

Sebenarnya antara predikat "Anak Baik" dalam arti tidak menjadi sumber kegaduhan sosial dengan terjaganya kodrat keintelektualitasan, tidak mempunyai hubungan saling meniadakan atau dialematis. Seperti pameo makan buah simalakama itu. 

Bahkan keduanya harus ditempatkan pada posisi sejajar. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab bagi keberlangsungan kehidupan bangsa.

Penunaian kodrat keintelektualitasan itu sebetulnya bagian dari pemenuhan kewajiban pencerdasan peradaban. Berkesesuaian dengan fenomena hakekat penciptaan manusia.

Setiap manusia terlahir di belahan bumi manapun, tanpa kecuali, dilengkapi dengan 7 perangkat kehidupan (nurani, insting, jiwa, akal, emosi, panca indera, fisik). Dan siapapun manusia yang terlahir, perangkat itu hadir dalam keadaan suci dan mentah. Sedangkan proses pendewasaan atau peningkatan kapasitas kehidupannya otomatis menjadi kewajiban peradaban. 

Fenomena hakekat penciptaan manusia ini disebut saja sebagai rangkaian kewajiban pencerdasan peradaban.

Seperti yang sudah diuraikan pada Bagian 2, 1.2 Tujuan Penulisan.

Marilah kita kembalikan kebaikan yang pernah diterima dari negara lewat pendidikan. Kita eksis karena kebaikan itu. Ada isu fundamental bangsa yang sedang menghadang perjalanan bangsa. Perlu ditautkan dengan cita-cita proklamasi dan prioritas kebutuhan bangsa yang sedang berjalan dan masa depan.

Kepada siapa lagi harapan Ibu Pertiwi itu akan tertumpu. Kalau bukan pada kaum intelektual negeri khususnya, anak-anak negeri umumnya. Termasuk civitas akademika Institut Teknologi Bandung. Harapannya, tentu senantiasa akan adanya usaha menautkan aspek teknikal dengan isu fundamental bangsa itu di negeri tercinta ini!

#pencerdasanbangsa

Artikel yang akan datang: Gejala Apatisme Intelektual, Apa Kabar Para Cendekiawan? (Bagian 8) tentang - b) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ini kelanjutan dari 2.1.3 Implikasi Apatisme Intelektual; e. Kadar diskursus kehidupan bangsa lebih dominan pada aspek teknikal daripada isu fundamental bangsa; 3) Studi kasus kelembagaan; a) Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Baca juga: Gejala Apatisme Intelektual, Apa Kabar Para Cendekiawan? (Bagian 1), (Bagian 2) dan (Bagian 3).

Ikuti tulisan menarik Phiodias M lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB