x

Demokrasi

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Minggu, 14 November 2021 16:40 WIB

Demokrasi Hanya untuk Satu Persen Kaum Elite

Artikel respon atas fenomena demokrasi yang semakin terkonsentrasi pada segelintir kelompok saja. Mereka yang belakangan di sebut sebagai elite satu persen. Dalam artikel ini, elite satu persen merujuk pada sekelompok kecil orang yang menguasai hampir separuh sumberdaya publik dan memduduki posisi kekuasaan di struktur pemerintahan. DPR maupun kementerian.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

DEMOKRASI menjamin kedaulatan rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.  Demikianlah mantra kuno yang sudah diperkenalkan sejak era Yunani kuno.

Demokrasi berlaku bagi siapa saja tanpa memandang perbedaan kelas sosial dan gender. Sepanjang anda dapat memantiknya, ia akan menyambar dengan cepat layaknyai si jago merah yang melahap cepat hutan di Kalimantan dan Sumatera. Lebih-lebih bagi kalangan politisi, sekelompok manusia yang mengklaim dirinya sebagai perwakilan sekian juta rakyat tanah air, yang merasa paling mengerti perihal demokrasi, membela mati-matian rezim ekstraktif nan korup, suka kebakaran jenggot ketika pembicaraannya diinterupsi. Sudah barangtentu menjadi sebuah amalan dalam setiap ibadah politiknya.

Kendati demikian, pengamalam mantra demokrasi oleh sebagian besar politisi tanah mesti di pertanyakan kekhusuhannya. Bisa jadi mereka hanya berpura-pura dalam melaksanakan setiap ibadah politiknya agar dipandang sebagai politikus yang taat, atau melantunkan teks-teks moralis di berbagai forum publik untuk sekedar meyakinkan rakyatnya sekalipun tak semua hadirin menghiraukan pidatonya, terlebih mereka yang telah sadar kalau itu hanyalah bualan belaka. Namun, itulah cara terbaik bagi mereka untuk tetap bertahan meski berbohong sekalipun. Dengan begitu mereka dapat membangun kepercayaan dan investasi politik untuk kepentingan pencalonan selanjutnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebab ini bukan soal benar salah, atau baik buruk, melainkan soal seberapa besar keuntungan yang diterima atas setiap pernyataan dan tindakannya. Karena mereka selalu mengkalkulasikan setiap pernyataan dan tindakannya dihadapan rakyat. Jika “berbohong” untuk menutup kesalahan jauh lebih menguntung maka sudah pasti kejuruan hanyalah penghambat dalam sirkulasi kekuasaan kedepan. Karena itu, kejujuran seperti barang antic yang sulit ditemukan dalam diri para politikus.

Terlebih demokrasi bagi mereka hanyalah sebuah cara mertansformasikan status sosial dari biasa saja menjadi sedikit luar biasa, dan bahak jauh lebih luar biasa. Soal ini, data LHKPN sebagaimana dirilis KPK beberapa bulan lalu setidaknya mengonfirmasi situasi ini. Dalam laporan itu, KPK menyebut, kekayaan 70% pejabat negara melambung di masa pandemic. Secara dominan kenaikan terjadi pada pejabat negara di kementerian. Pada loran yang sama, KPK juga menyebut 22,9% pejabat negara kekayaannya menurun dan 6,8% lainnya tetap.

Untuk Elite satu Persen

DEMOKRASI selalu menjadi tema gibah yang menarik dan unik. Karena itu, ia selalu ada dan menjamur meski praktiknya cenderung menyebalkan. Bagaimana tidak, slogan Demokrasi “dari,oleh dan untuk Rakyat” tak lebih dari sekedar lafalan wajib bagi politisi dimusim pemilu dan berbagai forum public lainnya. Dari, oleh dan untuk tidak lagi ditujukan kepada rakyat melainkan kelas satu persen. Jika dirangkai dalam bentuk kalimat, begini bunyinya “dari politikus, oleh oligarki dan untuk kelas satu parsen”. Transformasi demokrasi semacam ini hanya akan memindahkan kedaulatan dari tangan rakyat ke kantong kelompok oligarki. Hal ini membuat demokrasi menjadi semakin menarik dalam setiap kajian dan diskursus tentangnya. lebih-lebih, mengulitinya sambil menyeruput segelas arabika, atau sejenih hidangan lejat lainnya di berbagai tongkrongan, warung kopi mungkin adalah alternatif terbaik ketika kelas dan ruang belajar formal lainnya tak lagi relevan untuk sebuah diskursus yang setara.

“Siapapun yang terpilih, Oligarki tetap Menang”, begitu sepenggal kalimat yang menggambarkan situasi umum praktik demokrasi electoral. Kok bisa, bukankan pemilu mesyaratkan adanya kompetisi fair, adil dan setara? Bagaimana ceritanya yang keluar sebagai pemenang adalah oligarki, sementara hasil perhitungan suara menunjukan sejumlah kompetitor dengan jumlah suara melebih target yang berarti mereka berhak menjadi pemenang? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu pergi ke sebuah ruang, tempat dimana mereka membentuk jejaring politik-bisnisnya. Sebelum sampai pada pembasahan mengenai ruang, perlu kiranya kita mengenali dan mengantongi syarat-syarat pembentukannya. Dengan begitu, kita dapat memperoleh hasil yang relevan dan memadai dari penjelajahan kita terhadap jaringan oligarki.

Kita mulai dengan hasil kajian kementerian dalam negeri pada 2015 lalu. Kajian ini berkaitan dengan sejumlah uang yang mesti disiapkan oleh setiap politisi yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Menurut lembaga Negara itu, rata-rata ongkos politik yang harus disiapkan oleh setiap calon kepala daerah untuk dapat berkompetisi di pasar pemilu adalah antara 20-30 Milliyar. Pertanyaannya, dengan jumlah ongkos sebesar itu, apakah semua calon dapat memenuhinya? Atau jikapun dapat memenuhi standar ongkos tersebut, apa yang harus dilakukan dan darimana mereka memperoleh dana sebanyak itu? Anda sudah bisa menebak, atau dapat memprediksinya. Tepat disinilah syarat-sayat pembentukan jaringan itu dimulai. Para politisi akan menjaring sejumlah pengusaha dengan maksud memperoleh dukungan modal dan para pengusaha akan menyajikan beragam menu yang akan dipilih dan disanggupi oleh sang politikus.

Menindaklanjuti penawaran itu, mereka mesti membangun kesepakatan pertukaran saling menguntungkan. Sebab, seorang pembisnis yang taat tidak mungkin mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain secara gratis atau serta merta, setiap pengeluaran, apapun bentuknya selalu berangkat dari logika pasar, “menekan cosh produksi seminim mungkin dan menyerap keuntungan semaksimal mungkin” adalah keharusan jika tidak ingin rugi. Rasanya belum cukup jika hanya menyantap sajian data dari kemendagri saja, karena itu, untuk meneruskan perjalan kita menuju jaringan oligarki tersebut maka sebaiknya kita membuka peta jalan berukut sebagai petunjuk yakni, survey KPK tentang keterlibatan pengusaha dalam kontestasi demokrasi. Lembaga antirasuah itu menyebut bahwa, pada tahun 2017 sebanyak 82.3% calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mengaku dibantuk oleh pemodal. Tahun berikutnya (2018), sebanyak 70,3%  para calon kepala daerah di berbagai daerah mengaku dibantu oleh pemodal.

Untuk memperkuat keyakinan kita tentang “siapapun yang terpilih, oligarki tetap menang”, dan sebagai ikhtiar dari penjelajahan kita terhadap kelas satu persen maka kali ini penulis akan mengajak para pembaca untuk tiba di loksi, tempat para elit politik-bisnis membangun jaringan oligarkinya. pertama kita akan bicara tentang komposisi kabinet di ruang kekuasaan eksekutif dan kedua tentang sebaran kelompok pebisnis diberbagai pos kekuasaan pada lembaga parlemen. dengan begitu kita dapat memahami lebih jelas bagaimana cara kerja demokrasi memfasilitasi dan mengakomodir kelas satu persen. Perihal pertama, komposisi kekuasaan di kabinet Jokowi dapat dilacak melalui berbagai pemberitaan media. Sebagai missal, Kabinet Jokowi didominasi oleh kalang profesional non partai sebanyak 53% orang dan 47% lainnya dari kalangan partai politik.

Kalangan professional ini termasuk didalam pengusaha, akademisi, militer, polisi dan purnawirawan. Untuk pengusaha, sebagaimana umumnya dipahami bahwa mereka adalah sekelompok orang yang memiliki bisnis diberbagai sector sumberdaya alam, atau paling tidak memiliki privilege tertentu. Sebagai contoh, menteri Koordinator bidang kemaritiman, Menteri BUMN, Menteri Pendidikan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan sejumlah menteri lainnya yang berlatar belakang serupa, demikian halnya dari kalangan parpol, beberapa diantaranya juga merupakan pengusaha sekaligus pengurus partai. Airlangga Hartarto adalah contohnya.

Hal serupa juga terjadi pada lembaga parlemen, tempo bersama Auriga mewartakan bahwa sebanyak 262 anggota DPR RI berlatar belakang pengusaha. Rata-rata dari mereka tercatat memiliki saham, menjabat komisaris hingga menduduki kursi direksi di lebih dari seribu perusahaan. Bisnis mereka mencakup sector penyiaran, perdagangan umum, hingga industry ekstraktif. Lantas dimana letak kekuasaan kelas satu persen? Lembaga keuangan swiss, Kredit Suisse, dalam rilisnya sebagaimana dilansir oleh Katadata.co.id pada 2017 lalu, menyebut ketimpangan kekayaan di berbagai negara, Indonesi masuk dalam 9 besar Negara kekayaan tidak merata. Kelas satu parsen terkaya menguasai 49,3% kekayaan di Indonesia. Kondisi ini membuat Indonesia masuk dalam kategori terburuk keempat di dunia setelah Rusia (74,5%), India (58,4%) dan Thailan (58%). Sejumlah persoalan di atas tampak seperti keniscayaan bagi demokrasi pasar. Sebuah Demokrasi yang hanya menekankan kebebasan politik pada satu sisi dan secara bersamaan mengabaikan keadilan sosial. Dengan kata lain, jika kebebasan politik menjadi yang utama daripada keadilan sosial maka sudah tentu hanya sekecil kelompok berduit saja yang dapat mengakses dan mengontrol kebebasan politik, semenatara rakyat kebanyakan  terpaksa memilih soal-soal kebutuhan dasar (keadilan ekonomi dan sosial) ketimbang kebebasan. Padahal demokrasi menuntut perjuangan terhadap kehendak umum dan bukan kehendak orang per orang.  

 

Jejak Pengingkaran

Salah satu ciri dari demokrasi oligarki (kelas 1%) adalah adanya peminggiran kelompok masyarakat sipil. Kelompok masyarkat sipil disini merujuk pada seluruh elemen masyakat yang secara sadar hendak melakukan protes atau memperjuangkan hak-hak keadilan sosial ekonomi yang terampas oleh Negara berserta rezim satu persen pendukungnya. Karena itu, mereka menjadi kelas paling rentan dari segala aneka pembangunan yang syarat perampasan dan kerusakan. Melalui rezim ekstraktif, baik disektor lingkungan, batubara, minyak dan gas serta proyek infrastruktur skala besar lainnya, Negara beserta kelas satu persen mengupayakan berbagai cara untuk “menghantam” siapa saja yang menginterupsi atau memprotesnya. akibatnya, hampir dari segala urusan pembangunan sepanjang demokrasi satu persen beroperasikan, nyaris tak terhindar dari praktik kekerasan dan penangkapan terhadap kelas 99%. Baik langsung maupun tidak, kelas ini seperti ditakdirkan menjadi objek yang sewaktu-waktu dapat dikorbankan oleh kelas satu parsen. meraka, (rakyat 99%) hidup dalam situasi ketergantungan, bahkan sebagiannya semakin terpisahkan dari kedaulatan atas diri dan lingkungannya. Soal ini, barangkali kita perlu menyelami alam pikiran lebih luas untuk memeriksa lebih lanjut memori tentang segala pernyataan janji kampanye sepanjang Festival demokrasi digelar. Hal ini penting untuk merawat ingatan agar tidak kembali terjebak oleh bualan sang politikus beserta pendukung fanatiknya.

Perihal janji politik, dua tahun kepemimpinan Jokowi pada periode keudanya menjadi penting direfleksikan. Sekiranya membaca ulang “kitab Suci” Nawa Cita Jokowi-ma’ruf atau dokumen lainnya tentang janji pengabdian mereka adalah keharusan agar kita dapat menyajikan fakta secara jujur tentang pengingkaran-pengingkaran sebagaimana kita jumpai. Paling tidak mengembalikan beberapa hal berikut ke permukaan setelah sekian lama tertimbun dialam pikiran. Seperti, Polemik Capim KPK, Revisi UU KPK beserta sejumlah UU lainnya yang mewujud dalam skema Omnibuslaw. Dari korupsi Lobster dan bansos di masa Pagebluk, Jual Beli jabatan hingga pungli penggali kubur. Dari Proyek jalan Tol, Rel Kareta hingga Proyek penggusuran lainnya. Dari batubara, pasir besi, Minyak bumi, sawit hingga proyek Food Estate dengan daya rusaknya yang membentang dari lingkungan hidup, agraria, kehutanan, dan kelautan.

Hal penting lain yang mesti didaftar seturut kita menjejaki pengingkaran rezim adalah kekerasan kekerasan demi kekerasan oleh aparat negara terhadap rakyat sispil. Pemukulan, penangkapan, intimidasi, kriminalisasi, teror serta penyebutan lainnya yang merujuk pada pelanggaran Ham, pembungkaman demokrasi dan kebebasan berekspresi, adalah sisi gelap dari sekian banyak janji manis sang pimpinan di masa-masa kampanye. naasnya, kondisi demikian bukan menjadi pertimbangan untuk memperbaiki, rezim ini justru menggelontorkan sejumlah uang rakyat untuk promosi pariwisata atau membayar buzzreRp guna menyikapi kritik dan protes dari rakyat.

Sebagai penutup, penulis memandang bahwa hidup dialam demokrasi pasar memang serba dilematis. Pada satu sisi tuntutan kekebaban politik berlaku namun praksisnya hanya dapat dinikmati dan dikontrol oleh segelintir orang (politisi-pebisnis) secara bersamaan ketika rakyat menggunakan hak kebebasan politik untuk menyatakan pendapat di muka umum, secara damai sekalipun dapat dengan mudah dituduh subpersif dan mengganggu ketertiban. Atau umumnya ditangkap, somasi atau terror. Dari pihak yang berbeda, sekelompok kecil orang dengan kekuasaan politik-ekonomi dominan dapat secara sewenang-wenang merampas, mengeruk dan merusak sumberdaya alam, yang secara nyata telah merusak tatanan sosial demokrasi dan ekologis, seperti dilegalkan. bahkan jikapun mereka bersalah itu bukan perbuatan criminal. Demikian situasi yang kita hadapai sepanjang hidup di alam demokrasi yang Sembilan puluh Sembilan persen rakyat pemilik daulat dikangkangi oleh kelas satu persen orang.

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu