x

palu hakim ilustrasi

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 26 November 2021 21:01 WIB

Putusan MK Akankah Mengubah Gaya Pemerintah-DPR?

Pemberian kelonggaran oleh MK untuk perbaikan undang-undang berpotensi membuat pemerintah dan DPR mengulang pola proses penyusunan serupa, dan kemudian lagi-lagi mempersilakan rakyat mengadu ke MK.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945—inkonstitusional. Walaupun begitu, MK masih membolehkan undang-undang ini dijalankan dengan batas dua tahun. Dalam kaitan ini, MK memakai istilah inkonstitusional bersyarat, syaratnya ialah harus diperbaiki. Apabila dalam tempo dua tahun sejak putusan diucapkan undang-undang ini tidak diperbaiki, undang-undang itu dinyatakan inkonstitusional permanen. Putusan yang membingungkan: prosesnya dinyatakan inkonstitusional, tapi produknya dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Mengapa produknya tidak dibatalkan?

Betapapun putusan MK itu terkesan gamang, ambigu, dan kompromistis, tapi pertimbangan yang digunakan layak diperhatikan. Pertimbangan pertama MK, metode penggabungan atau omnibus law dalam menyusun UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan undang-undang baru atau melakukan revisi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Omnibus law UU Cipta Kerja merupakan pengalaman pertama pemerintah maupun DPR. Penilaian para hakim MK ini menunjukkan bahwa duet pemerintah dan DPR harus memperbaiki proses penyusunan undang-undang semacam ini dari sisi metodenya. Proses trial and error tidak selayaknya ditempuh, sebab produk undang-undang ini mengatur dan memengaruhi hidup masyarakat.

Pertimbangan kedua MK, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik. Meskipun [pemerintah dan/atau DPR] telah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak, namun pertemuan itu belum sampai pada tahap substansi UU. Akhirnya, MK mengakomodasi apa yang menjadi keberatan masyarakat mengenai proses penyusunan omnibus law. Proses penyusunan undang-undang merupakan isu penting dan tidak kalah penting dibandingkan kandungan undang-undangnya.

Dalam berbagai kesempatan, berbagai unsur masyarakat telah menyampaikan keberatan mengenai proses yang ditempuh pemerintah dan DPR, namun waktu itu suara rakyat tidak diperhatikan. Mahasiswa dan buruh turun ke jalan, tapi aspirasi mereka juga tidak diacuhkan. Sebagai duet yang kompak, pemerintah dan DPR berjalan terus dengan agenda mereka sendiri.

Pertimbangan ketiga MK, draf UU Cipta Kerja tidak mudah diakses oleh publik. Masyarakat telah menyampaikan keluhan hal ini saat proses penyusunan undang-undang masih berlangsung. Berbagai alasan disampaikan oleh DPR, seperti belum ada draf yang final. Karena kesukaran mengakses ini, masyarakat sukar mengetahui perkembangan penyusunan undang-undang tersebut dari waktu ke waktu. Perubahan kandungan berlangsung cepat dan masyarakat sukar mengetahui apa yang tetap dan apa yang berubah, serta seperti apa perubahannya. Para hakim MK ternyata memahami keberatan masyarakat mengenai hal ini.

Ini keputusan yang sangat penting karena setidaknya dua alasan. Pertama, sejak awal penyusunan rakyat banyak sudah mengingatkan pemerintah dan DPR mengenai kandungan maupun cara penyusunan undang-undang ini, namun tidak diperhatikan secara selayaknya. Kedua, putusan MK ini merupakan peringatan bagi pemerintah dan DPR bahwa penyusunan undang-undang harus memperhatikan aspirasi rakyat banyak. Proses penyusunan undang-undang harus transparan, terbuka, dan perkembangan proses serta isinya harus mudah diakses oleh masyarakat.

Catatan Mahkamah Konstitusi itu penting, tapi apakah pemerintah dan DPR betul-betul memperhatikan pertimbangan MK tersebut dan apakah kemudian pemerintah dan DPR akan memperbaiki proses penyusunan undang-undang di masa mendatang, termasuk perbaikan UU Cipta Kerja seperti diperintahkan MK? Ataukah pemerintah dan DPR akan mendominasi revisi undang-undang ini dan tetap mengabaikan suara rakyat banyak? Lalu masyarakat dipersilakan kembali menggugat ke MK setelah perbaikan dilakukan? Bisa saja pemerintah dan DPR beralasan bahwa perbaikan sudah dilakukan sesuai perintah MK, walaupun ternyata yang disebut perbaikan itu tetap mengabaikan aspirasi rakyat banyak.

Inilah dilema dari putusan MK terkait istilah ‘inkonstitusional bersyarat’. Bila syarat perbaikan sudah dilakukan, walaupun tetap tidak menampung aspirasi rakyat banyak, akankah UU Cipta Kerja menjadi konstitusional? Begitu pula jika proses perbaikan undang-undang ini juga tetap mengabaikan suara rakyat banyak, akankah undang-undang tersebut ‘menjadi konstitusional’ hanya karena proses perbaikan sudah dijalankan? Apa substansi ‘perbaikan’. Proses dan kandungan, atau apa? Menjadi baik menurut siapa? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler