Godaan Datang Silih Berganti
Minggu, 28 November 2021 16:35 WIB
Ini tentang godaan bagi aparat negara
Cerpen Kasidi
Godaan Datang Silih Berganti
Tri Budhi Sastrio
Ibarat musim, godaan itu datang silih berganti.
Entah dari etika dan profesi entah dari independensi.
Pendek kata, jiwa pikiran hati yang sudah ditempa
Laksana baja terus dihantam palu raksasa penggoda.
Hanya saja karena kokoh laksana karang samudra
Semua amanah tugas negara tetaplah terjaga.
Makan pagi sudah. Kali ini membeli nasi bungkus di warung langganan. Sampai pukul sepuluh siang memang belum ada sepeda motor atau mobil yang menepi untuk tambah angin atau tambal ban tetapi yang namanya makan ya jalan terus. Sepuluh ribu yang dikeluarkan menggunakan uang yang diterimanya kemarin.
Ya Tuhan memang tidak pernah ada doa yang meminta agar banyak sepeda motor atau mobil bannya bocor bahkan semoga semua lancar dan baik-baik saja tetapi jika ada yang mau tambah angin atau ban bocor ya semoga mau mampir ke sini,
Entah doa semacam ini memang manjur entah memang kebetulan saja tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih menepi. Pengemudinya turun. Pakaian necis, belum terlalu tua, tersenyum sambil turun dari mobilnya.
‘Pak, ban kanan belakang sudah tiga hari ini kok rasanya ada yang tidak beres. Periksa ya, pak. Jangan-jangan ada paku atau bocor halus.’
‘Baik pak,’ jawab Kasidi gembira. Jika seperti ini artinya ada pemasukan untuk dia. Ujung matanya sempat melirik logo dan tulisan kecil di pintu kanan depan.
BPK-RI. Aku tahu Garuda Pancasilanya tetapi makna lainnya, ya tidak paham.
Tekanan ban diukur. Jauh di bawah normal. Biasanya kalau begini tentu ada yang tidak beres.
‘Tekanan anginnya kurang dari separuh pak!’
‘Oh begitu? Ok pak. Silahkan ditambah anginnya.’
‘Tidak diperiksa dulu pak, mungkin ada bocor halus.’
Setelah berpikir sejenak dia mengangguk.
‘Baik pak.’
Kemudian baskom berwarna merah berisi air sabun khusus dan sepon berwarna biru diambil.
‘Silahkan duduk dulu pak meskipun cuma sebentar.’
Basa-basi itu tidak dijawab, dan memang sebentar.
‘Ada bocor halus dari pinggir velknya. Akan dibongkar sebentar, digosok halus diberi minyak khusus, dan selesai. Lima menit pak, paling lama. Silahkan duduk dulu. Akan segera didongkrak.’
Pria itu mengangguk, berjalan ke pintu depan dan membukanya.
‘Ratih, ayo turun dulu. Kata bapaknya mobilnya harus didongkrak. Ada bocor halus.’
Samar-samar terdengar suara bening halus. Seorang wanita baya, berkulit kuning langsat turun. Tidak terlalu cantik tetapi wajahnya yang segar membuat Kasidi tersenyum. Manis dan sehat. Monolog itu berhenti begitu saja karena tidak ada yang bisa dibandingkan, tidak temannya tidak kerabatnya. Tidak ada yang seperti dia.
***
‘Lalu kamu Bayu mengambil sikap apa?’
‘Ya aku menghadap atasan, menyampaikan permasalahannya, dan mohon ijin untuk mundur dan tidak menangani pemeriksaan yang ini. Tekanannya tidak cuma datang dari atas dan bawah, kanan dan kiri, tetapi juga dari segala penjuru, termasuk-termasuk teman-teman satu tim. Coba bayangkan, gila tidak jika sudah seperti itu.’
Wanita yang dipanggil Ratih itu tersenyum dan membalas dengan antusias.
‘Sama Bayu, aku juga berulang kali mengalami hal seperti itu. Pendek kata banyak orang tetap nekad dan semakin nekad, khususnya jika berkuasa. Makin tinggi kekuasaannya, makin aneh-aneh saja perilakunya. Memang tidak semua tetapi sangat banyak dah. Mereka terus saja berlagak pilon dan melupakan bagaimana kita semua mati-matian menjaga integritas, indepedensi, dan profesionalisme. Padahal mereka kan juga seharusnya begitu, khususnya yang berkaitan dengan kejujuran. Nah ketika aroma ketidak jujuran mulai terasa, mulailah mereka main kayu. Pokoknya godaan, rayuan, dan bahkan ancaman datang silih berganti. Dasar kampret. Kalau tidak mau mendapat masalah seharusnya kan tidak membuat masalah. Uang negara mau diembat eh ketika diperiksa malah yang memeriksa yang disalahkan. Coba, bagaimana kalau sudah begini …’
Keduanya tersenyum riang.
Ban sudah dilepas. Wah menarik ini. Integritas, indepedensi, dan profesionalisme. Aku saja yang cuma tukang tambal ban juga menjaga itu, apalagi kalian abdi negara. Ayo tetap tegak dan kokoh seperti karang di samudera. Jangan tergoda dan jangan mau digoda.
Diam-diam Kasidi ikut tersenyum. Senang mendengar yang seperti ini. Jika dari Sabang sampai Merauke begini semua itu yang namanya abdi negara, keadaan di masa depan pasti jauh lebih baik.
‘Bagaimana pak?’ Pria yang dipanggil Bayu itu tiba-tiba bertanya pada Kasidi.
‘Ini sedang dibersihkan dan nanti jika sudah diberi pelumas khusus, dijamin tidak akan bocor halus lagi pak.’
‘Ok pak. Sip.’
Keduanya saling tersnyum. Kemudian laki-laki paruh baya itu kembali ke teman perempuannya.
‘Nah, gara-gara mengundurkan diri dari tim yang sedang memerika kinerja gubernur, aku jadinya ditugaskan untuk menjelaskan prediksi BPK setelah pandemi ke sejumlah kolega di kotamu. Aku bersyukur sih karena justru bisa bertemu dengan kamu, Ratih.’
‘Iya,’ jawab si Ratih sambil tersenyum manis.
Wah di masa lalu mungkin mereka itu pernah akrab atau bahkan sangat akrab ya. Saling memanggil nama sih. Hanya saja kali ini Kasidi jelas sok tahu, dah! Memangnya kalau saling memanggil nama lalu berarti sepasang kekasih?
‘Aku juga mendapatkan buku prediksi BPK itu tetapi belum sempat membacanya. Apa sih isinya? Kamu kan pasti tahu persis karena nanti akan memaparkannya.’
‘Ya terpaksa sih tetapi memang ada banyak yang menarik, khususnya sejumlah skenario yang dipilih.’
‘Ayo ceritakan dong,’ kata Ratih manja.
Ya benar, ayo ceritakan aku juga ingin dengar. Profesi boleh cuma tambal ban tetapi wawasan kan harus tetap ‘lantip ning prasojo’. Diam-diam Kasidi tersenyum sendiri melihat bagaimana dirinya semakin sering menggunakan jargon ‘ndeso ning lantip lan prasojo’ untuk menyebut dirinya sendiri.
Sesaat kemudian, walau tidak benar-benar mengerti, tetapi Kasidi mendapatkan penjelasan seperti penjelasan yang sebelumnya tentu telah diberikan pada Kepala Negara.
‘Ada empat skenario untuk negara ini Ratih, dan keempatnya menggunakan pantai, laut dan samudra sebagai referensinya. Pertama, skenario Berlayar Menaklukkan Samudra. Intinya respon pemerintah terhadap krisis menjadi lebih efektif dan tingkat keparahan pandemi mereda. Kedua, skenario Mengarung di Tengah Badai. Intinya respon pemerintah terhadap krisis menjadi lebih efektif di tengah pandemi yang makin memburuk. Ketiga, skenario Tercerai-berai Terhempas Lautan. Intinya merupakan skenario terburuk yang menggambarkan masa depan yang penuh risiko dan bahaya. Respon pemerintah terhadap krisis kurang efektif dan tingkat keparahan pandemi makin memburuk. Keempat, skenario Kandas Telantar Surutnya Pantai, ditandai dengan meredanya pandemi namun respon pemerintah terhadap krisis kurang efektif.’
Bayu berhenti sebentar.
‘Bagaimana, Ratih? Paham, kan?’
‘Paham apanya? Ya sudah nanti aku ikuti seminarmu sambil membaca bukunya.’
Yah, kalau nona manis ini saja tidak paham lalu bagaimana aku? Berlayar Menaklukkan Samudra, Mengarung di Tengah Badai, Tercerai-berai Terhempas Lautan, Kandas Telantar Surutnya Pantai, memang terasa romantis melankolis tetapi kan ada banyak misteri di sana …
Ban sudah selesai sekarang dan bocor halus sudah tidak ada.
‘Sebentar saya pasang rodanya dan sudah selesai pak. Dijamin tidak bocor lagi.’
Kasidi menghentikan niat Bayu untuk berbicara lebih lanjut.
‘Baik, pak, silahkan!’
Semenit kemudian, semua beres. Uang serratus ribuan berpindah tangan, kembaliannya tidak diminta, ucapan terima kasih dan mobil pun meluncur pergi. Kasidi gembira, tip yang diterima jauh lebih banyak dari ongkos yang seharusnya diterima.
Kemudian kembali empat skenario yang didengarnya tadi, indah tetapi tidak jelas baginya, terngiang kembali. Berlayar Menaklukkan Samudra, Mengarung di Tengah Badai, Tercerai-berai Terhempas Lautan, Kandas Telantar Surutnya Pantai.
Betapa akan hebatnya jika dia dapat mendengarkan penjelasan lengkapnya, atau ya membaca bukunya. Akan kucari buku ini, tetapi di mana? (SDA30102021 – tbs/087853451949)

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Godaan Datang Silih Berganti
Minggu, 28 November 2021 16:35 WIBSeres
Senin, 22 November 2021 19:31 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler