x

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional(PAN) Hatta Rajasa diapit (ki-ka) Ketua umum Gerindra, Suhardi, Ketua Dewan Pembina PAN Amien Rais dan Wakil Ketua Umum PAN Drajat Wibowo mengangkat tangannya

Iklan

syaifuddin Sayuti

Blogger, dosen, ex jurnalis tv, admin Blogger Reporter Indonesia
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saya Galau Jadi Orang Indonesia

Amien Rais dan Sandiwara Konvensi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya galau menyaksikan Indonesia akhir-akhir ini. Badut-badut politik tiap hari muncul ke permukaan. Masyarakat dipaksa menelan mentah-mentah semua sandiwara kebohongan demi sebuah kursi kekuasaan.

Akal siapa lagi yang bisa dipercaya jika kita melihat sudah tak ada lagi kesantunan politik yang dipertunjukkan. Lihat saja apa yang dilakukan capres Prabowo saat menerima koalisi Partai Amanat Nasional (PAN) bergabung dengan Gerindra. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa konon bakal disandingkan dengan Prabowo Subianto sebagai cawapresnya. Bagi yang mengikuti sejarah negeri ini terutama saat bergantinya kekuasaan dari pemerintahan Orde Baru nan korup ke era reformasi pasti paham dengan pertunjukan ini. PAN adalah penjelmaan Majelis Amanat Rakyat yang dibidani sejumlah tokoh pro reformasi seperti Amien Rais dan Goenawan Mohammad.

Banyak yang paham bagaimana sikap Amien Rais yang kemudian disebut sebagai Bapak Reformasi terhadap pemerintahan Soeharto yang korup. Itu mengapa menjadi satu alasan tahun 1999 Amien Rais mendapat tiket sebagai ketua MPR. Keberpihakan Amien Rais terhadap perubahan negeri ini mengagumkan banyak pihak (termasuk saya waktu itu). Saya kagum dengan keberanian dan suara lantangnya. Tapi apa yang terjadi kini, 16 tahun kemudian, Amien Rais juga yang menjadi motor bersatunya partai (simbol) reformasi dengan seorang capres yang merupakan representasi masa lalu, yang banyak dikaitkan dengan persoalan penculikan dan isu kudeta di tahun awal reformasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah saya terlalu bodoh memahami ini? Ini bukan masalah politik adalah persoalan kepentingan semata. Namun bagaimana menegakkan logika berpikir, nalar masyarakat akan persoalan sejarah yang belum selesai. Jika elit politiknya sudah 'tiarap' pada persoalan masa lalu bagaimana bangsa ini mau maju? Koreksi pada masa lalu adalah keharusan dan itu jadi pe-er bersama yang harus dituntaskan. Kita memang bukan bangsa pembelajar yang baik, dan itu kita wariskan pada anak bangsa yang pendek ingatannya.

Sandiwara Konvensi Tingkat Tinggi

Hal kedua yang membuat saya galau dan bingung bersikap adalah manuver Ketua Umum Partai Demokrat yang juga presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seperti diketahui Demokrat menggelar konvensi penjaringan calon presiden yang diikuti sejumlah tokoh dari dalam dan luar partai. Setelah berjalan berbulan-bulan dan sepi dari atensi media, akhir pekan kemarin hasil konvensi diumumkan SBY. Tidak ada yang terlalu mengejutkan hasilnya, dimana Dahlan Iskan sang menteri BUMN menjadi pemenang konvensi. Dahlan berdasarkan hasil riset sejumlah pihak menjadi pemuncak elektabilitas capres Demokrat. Namun belum lagi hasil konvensi tersebar merata di media dan masyarakat, kabarnya SBY punya 'pandangan' lain.

Kabarnya SBY sudah menentukan sendiri pilihan hatinya sebagai Capres/Cawapres Demokrat yakni adik iparnya yang mantan KASAD Jendral Purnawirawan Pramono Edi Wibowo. Konon Pramono akan dipasangkan dengan Aburizal Bakrie sang ketua umum Partai Golkar yang sudah tak laku digadang-gadang sebagai capres oleh internal partainya sendiri.

Saya terpekur. Inikah kesantunan politik itu? SBY pastinya lebih pandai dari saya soal strategi politik. Tapi SBY setidaknya mengerti akan sebuah proses politik. Dan konvensi capres partai Demokrat adalah bagian dari proses itu. Awalnya saya mengacungi jempol upaya konvensi yang digelar tersebut. Itu artinya Demokrat terbuka pada masukan, terbuka menerima kritikan tajam mengenai sosok para kandidat capresnya. Ini tak dilakukan satu parpol pun di Indonesia dalam Pemilu kali ini selain Demokrat. Jika ini dikelola secara cantik, bukan tak mungkin konvensi capres Demokrat akan dianggap sebagai kemajuan besar dalam peta perpolitikan nasional. Di saat semua parpol memiliki hak prerogatif pemilihan capresnya, Demokrat justru menyerahkan pada mekanisme pasar. Pasar yang menilai, pasar yang memberi masukan. Ini bagus untuk pelajaran demokrasi.

Namun dengan hasil konvensi yang kemudian anti klimaks dan kabar akan dinaikkannya ipar SBY sebagai capres/cawapres makin menunjukkan SBY atau Demokrat tak ada bedanya dengan parpol lainnya. Konvensi yang penuh sandiwara. Sadar atau tidak kita seperti memberi pelajaran berbohong bagi generasi muda, bagi anak-anak bangsa kita. Jangan salah jika 'pencuri' masih banyak di negeri ini, jangan kaget jika jumlah koruptor pun bukan berkurang. itu karena kita yang tak menggunakan akal sehat dalam berpolitik.

Ikuti tulisan menarik syaifuddin Sayuti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler