x

Iklan

Emanuel S Leuape Blonda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

KPI: Antara Upaya Preventif Atau Kuratif

Teguran dan sanksi yang dijatuhkan KPI ibarat “ritual musiman” karena tak ada efek jera

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pesatnya perkembangan lembaga penyiaran di tanah air tentunya menjadi satu realitas positif yang patut diapresiasi lantas melahirkan kemudahan bagi segenap masyarakat Indonesia dalam upaya pencarian informasi dan memperoleh hiburan. Sebagai lembaga yang memiliki kaitan langsung dengan ranah dan kepentingan publik, maka seyogianya lembaga-lembaga penyiaran baik radio maupun televisi (TV) dikelola dan diawasi penyelenggaraannya secara ketat. Memang dalam intern lembaga-lembaga penyiaran terdapat sub bagian yang bertugas melakukan pengelolaan dan pengawasan secara internal. Namun kita pun tak menutup mata terhadap realitas pengelolaan dan pengawasan secara internal sangat berpotensi pada terjadinya pelbagai bentuk penyimpangan mengingat adanya tabrakan kepentingan yang sudah pasti selalu memiliki prioritas orientasi keuntungan lembaga.
 
Oleh karena itu, perlu adanya bentuk pengelolaan dan pengawasan lembaga-lembaga penyiaran secara eksternal dan independen sehingga terbentuklah lembaga regulasi penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga regulasi penyiaran nasional Indonesia yang memegang peranan penting dalam upaya pengelolaan dan pengawasan terhadap segenap lembaga dan aktivitas penyiaran nasional Indonesia. KPI dibentuk dan berdiri pada tahun 2002 dengan berdasarkan payung hukum Undang-Undang (UU) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang mengisyaratkan penyiaran pada ranah publik harus dikelola dan diawasi oleh lembaga independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. UU ini sendiri merupakan hasil revisi UU Nomor 24 Tahun 1997 yang mana aktivitas penyiaran nasional masih dalam kontrol pemerintah.
 
Seperti yang diketahui, ada 3 hal pokok dalam jabaran tugas dan tanggungjawab KPI, yaitu: pengembangan struktur sistem siaran nasional, kewenangan pemberian izin operasional, dan pengawasan isi siaran. Nah, dua poin pertama kiranya telah dijalankan oleh KPI secara proporsional. Sedangkan poin terakhir menyangkut tugas pengawasan isi siaran masih menjadi homework yang oleh KPI perlu ditinjau kembali sehingga pelaksanaan kedepannya lebih efektif.
 
Beberapa waktu yang lalu, KPI dalam situs resminya (14/5/2014), kembali merilis 10 sinetron dan FTV bermasalah dan tidak layak ditonton dengan berdasarkan pada tingginya intensitas pengaduan masyarakat dan hasil evaluasi KPI yang mana isi siaran yang dimaksud melanggar UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Ironisnya, semua isi siaran yang dievaluasi bersifat Taping (Non-Live). Pertanyaannya mengapa evaluasi tidak dilakukan pra-tayang? Dan jelas jikalau dievaluasi pra-tayang sudah pasti ditemukan sejumlah pelanggaran yang telah disebutkan sebelumnya. Pengaduan masyarakat justru ada karena setidaknya ada dampak kerugian yang telah dialami. Terlambat bukan? Di samping itu, KPI juga pernah memberikan teguran kepada sejumlah stasiun TV yang menanyangkan isi siaran berbau erotis dalam bentuk siaran langsung (Live). Kenyataannya, isi siaran yang ditanyangkan secara live memang sulit diberlakukan evaluasi pra-tayang secara menyeluruh oleh karena sifatnya yang sinkronis. Namun hal demikian setidaknya masih ada ruang untuk dilakukan evaluasi terhadap keseluruhan rancangan konsep isi siaran sehingga mereduksi penyimpangan-penyimpangan P3SPS, tak terkecuali spontanitas yang masih sanggup diminimalisir dengan arahan seperlunya.
 
Sampai pada tahap ini, kita perlu kembali mempertimbangkan salah satu prinsip aktivitas komunikasi, yaitu sifatnya yang irreversible. Artinya, pesan yang telah dikirim oleh komunikator tidak dapat ditarik kembali dan berkesan secara permanen dalam persepsi komunikan. Dalam hal ini, apa yang disiarkan oleh media (kualitas) akan sangat berdampak pada khalayaknya. Adalah sesuatu yang patut diapresiasi jika pesan yang disampaikan itu positif maka akan membawa kebaikan baik khalayak dan sangat disayangkan, bila pesan yang disampaikan bersifat negatif tentu berdampak pada kerugian yang dialami khalayak. Sekalipun pesan yang jelek itu diperbaiki tetapi kesan pertama akan senantiasa membekas dalam diri khalayak (efek halo)*. Inilah aspek psikologis khalayak yang mesti dipahami oleh KPI dan terutama oleh lembaga penyiaran sebagai pelaku media. Mungkin hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi KPI dalam mengemban tugas dan tanggungjawabnya dalam mengawasi pelbagai isi pesan siaran.
 
Benang merah yang hendak ditarik bahwa fungsi pengawasan bukan hanya dilihat sebagai upaya penanggulangan (kuratif) semata melalui teguran sampai kepada ranah hukum dan perbaikan isi siaran. Tetapi mungkin lebih efektif bila upaya pengawasan itu dijabarkan dalam bentuk tindakan pencegahan (preventif) melaui evaluasi pra-tayang dengan mempertimbangkan dampak psikologis khalayak. Upaya pencegahan yang dilakukan oleh KPI sendiri merupakan satu program kerja yang tentunya tidaklah mudah. Selain keterbatasan sumber daya manusia (SDM) untuk melakukan pegawasan tiap unit lembaga, KPI juga tentunya harus terlibat dalam kompetisi kepentingan dengan lembaga penyiaran ketika harus masuk lebih jauh ke intern lembaga-lembaga penyiaran.
 
Tak dipungkiri banyak lembaga penyiaran lantas bersikap apriori dan acuh tak acuh terhadap keberadaan lembaga KPI sebagai regulator. Bahkan terkesan teguran dan sanksi yang dijatuhkan oleh pihak KPI ibarat “ritual musiman” dan karenanya tak ada efek jera kedepannya sehingga penyimpangan yang sama dapat berpeluang terulang kembali. Hukuman yang diberikan selalu punya cela untuk dihindari dengan pelbagai dalil semu dalam bidang hukum. Inilah persoalan kompleks yang turut mempengaruhi kinerja lembaga KPI tidak hanya dalam mengupayakan upaya kuratif, tetapi lebih utama tindakan preventif.  Upaya preventif ini pada dasarnya diperuntukkan bagi kebaikan bersama baik bagi kesan positif terhadap lembaga penyiaran (secara kolektif atau individual) maupun keteladanan nilai, sikap, dan perilaku yang diinternalisasikan khalayak dari isi siaran. Untuk itu, idealnya setiap pihak yang terlibat dalam aktivitas penyiaran nasional dituntut untuk dapat bekerjasama secara efektif dalam mewujudkan aktivitas penyiaran nasional Indonesia yang berkeadilan dan bermartabat. Hal ini terlebih ditujukan kepada lembaga siaran sebagai aktor sentral di balik aktivitas penyiaran rasional. Tanpa kerja sama mereka, niscaya aktivitas penyiaran Indonesia menjadi lebih baik. 
 
*individu lebih terpengaruh oleh kesan pertama     
 

Ikuti tulisan menarik Emanuel S Leuape Blonda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu