x

Iklan

Fajrianto Rahardjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2022

Minggu, 27 Februari 2022 11:03 WIB

Anomali Gugurnya Enam Perkara Gugatan Presidential Threshold dalam Putusan MK


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Presidential threshold atau yang menurut Gotfridus Goris Seran dalam bukunya Kamus Pemilu Populer; Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia dan Negara Lain (hal.557) diartikan sebagai "ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden”, bukanlah hal yang baru dalam praktek pemilu di Indonesia. Hal itu telah ada sejak lahirnya Orde Reformasi dan diselenggarakannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat untuk yang pertama kalinya pada tanggal 5 Juli 2004 dengan ditetapkannya ketentuan ini dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya pada pasal 5 ayat (4). Di sana disyaratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.  

Muatan materi presidential threshold dalam aturan a quo kemudian dirubah menjadi lebih tinggi persentasenya dengan UU No. 42 Tahun 2008 pasal 9 yang memiliki kesamaan bunyi dengan perubahan terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 222. Ada persyaratan bahwa: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Ketentuan ini selanjutnya yang digunakan sebagai acuan presidential threshold untuk pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2009, 2014, 2019 dan pada tahun 2024 jika tidak diadakan perubahan.

Namun dalam perkembangannya, ketentuan tentang presidential threshold ini sering menuai perdebatan di kalangan masyarakat maupun akademisi. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa presidential threshold ini inkonstitusional dan diskriminatif terhadap hak konstitusi setiap orang untuk menjadi presiden dan wakil presiden sebagaimana yang diatur dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Sehingga hal ini telah beberapa kali diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pro-kontra ketentuan a quo masih berlanjut sampai hari ini dengan kembali tidak dapat diterimanya Enam Perkara Judical Rivew (JR) permohonan penghapusan ketentuan pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang presidential threshold  yang salah satunya diajukan oleh tiga anggota DPD RI yakni Tamsil Linrug (Sulsel), Fahira Idris (DKI Jakarta), dan Edwin Pratama Putra (Riau) dalam Amar Putusan MK Nomor 6/PUU-XX/2022 beberapa hari yang lalu (24/2/2022).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam perihal gugatan, pemohon berpendapat bahwa ketentuan presidential threshold bertentangan dengan beberapa ketentuan konstitusi, sehingga patut untuk dihapuskan. Mulai dari bertentangan dengan pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, pasal 27 ayat (1), 28 D ayat (1)  dan (3), 28J, 22E ayat (1) dan (2), pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing), pemohon menganggap kerugian konstitusional yang dialaminya secara spesifik dan aktual atau setidaknya potensial merugikan hak konstitusionalnya adalah karena norma pasal yang diajukan pengujian telah membatasi hak para pemohon untuk ikut serta dalam menentukan pemerintahan. Persyaratan ambang batas telah membatasi para pemohon untuk mendapatkan calon Presiden dan Wakil  Presiden terbaik yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, membatasi lahirnya calon-calon pemimpin, dan membatasi hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum sebagaimana yang terjadi pada Pemilu tahun 2014 dan Pemilu tahun 2019 yang hanya terdapat 2 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Selain itu, pemohon yang merupakan anggota DPD yang memiliki fungsi legislasi dan pengawasan dalam setiap undang-undang, sehingga para pemohon memiliki keterikatan langsung maupun tidak langsung dengan pemberlakuan norma Pasal 222 UU 7/2017. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, para pemohon telah menampung aspirasi, masukan, dan tanggapan masyarakat di berbagai daerah yang menyatakan presidential threshold bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan Pemilu, dan prinsip demokrasi Indonesia sehingga patut untuk dihapuskan.

Pendapat Berbeda Hakim (dissenting opinion)

Dalam putusan tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Diantaranya yaitu Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo dan Saldi Isra. Suhartoyo dan Saldi Isra menyatakan bahwa permohonan pemohon agar ketentuan presidential threshold dihapus mestinya dikabulkan MK. Sementara itu, perbedaan pendapat datang dari Manahan MP Sitompul dan Enny Nurbaningsih. Dalam pokok pendapatnya, mereka mengamini bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan JR mengenai ketentuan presidential threshold.

Namun, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan harus dinyatakan ditolak. Menurut Manahan, sesuai putusan mahkamah sebelumnya, ketentuan presidential threshold bertujuan untuk mendapatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan legitimasi yang kuat dari rakyat. Selain itu, ketentuan tersebut juga dalam rangka mewujudkan sistem presidensial yang efektif berbasis dukungan dari DPR. Mahkamah juga telah menyatakan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy, sehingga merupakan ranah pembentuk undang-undang untuk menentukan dan/atau akan mengubah besaran persyaratan tersebut.

Urgensi Penghapusan presidential threshold

Merespon permasalahan a quo, penulis berpendapat bahwa penggunaan ambang batas atau presidential threshold yang tertuang dalam Pasal 222 UU 7/2017 untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan, dan mencederai nilai demokrasi “persamaan dihadapan pemerintahan”. Disadari atau tidak, dengan rezim presidential threshold, masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta pemilu. Dengan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta pemilu mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat dapat melihat ketersediaan calon pemimpin bagi masa depan. Selain itu, masyarakat juga disediakan pilihan yang beragam untuk calon pemimpin tertinggi di jajaran eksekutif.

Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih dan dalam derajat tertentu mendorong voters turn out dalam bentuk golput, karena calon terbaik menurut mereka tidak dapat menjadi riil pasangan calon presiden dan wakil presiden akibat pembatasan tersebut. Sebaliknya, penghapusan Presidential Threshold berarti membuka saluran politik rakyat dan dalam derajat tertentu meningkatkan partisipasi pemilih karena daya tarik calon presiden-wapres yang lebih banyak pilihan alternatifnya.

Meminjam pendapat Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam Putusan Mahkamah Nomor 53/PUU-XV/2017, Dengan penghapusan ketentuan  presidential threshold  tentunya akan hadir jumlah calon yang lebih banyak dan beragam, dan akan mengikis pembelahan serta ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat dengan tersedianya banyak pilihan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada proses pemilihan yang akan datang. Hal demikian juga diamini oleh pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie yang juga merupakan mantan ketua MK, menyatakan bahwa sebaiknya ambang batas pencalonan presiden 20 persen ditiadakan agar ada potensi munculnya lebih dari dua kandidat calon presiden-calon wakil presiden. Jika hanya dua pasang kandidat seperti Pemilu 2019, akan memperlihatkan pembelahan di kalangan masyarakat (Republika.co.id/22/52019). Selaras dengan Jimly, Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2013-2015, juga pernah menegaskan bahwa sistem ambang batas presiden atau presidential threshold saat ini tak logis diterapkan dan menghalangi partai politik yang tidak lolos parlemen mencalonkan kader potensialnya maju dalam Pemilihan Presiden (merdeka.com/5/82019). 

Sebagai penutup, melihat pendapat dari beberapa hakim konstitusi dan juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi, serta banyaknya elemen masyarakat yang merasa dirugikan dengan penerapan presidential threshold yang dibuktikan maraknya permohonan JR terkait ketentuan a quo, hemat penulis dapat terbaca dengan jelas bahwa ambang batas pencalonan Presiden tidak memiliki pijakan konstitusional dalam UUD 1945 dan dapat menimbulkan masalah dalam pemilihan presiden dan wakil presiden dimasa mendatang sehingga perlu untuk dihapuskan.

Ikuti tulisan menarik Fajrianto Rahardjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler