x

cerpen DILARANG MENCINTAI BUNGA-BUNGA karya KUNTOWIJOYO

Iklan

Naila Azalia Bahri

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bergabung Sejak: 9 April 2022

Minggu, 10 April 2022 12:51 WIB

Penggunaan Metafora pada Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

"Menangis adalah cara yang sesat untuk mengatasi kesengsaraan" sederhana tapi menghanyutkan, begitulah cerpen-cerpen karya Kuntowijoyo.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A. adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia. Beliau dikenal sebagai pengarang berbagai judul novel, cerpen dan puisi, pemikir dan penulis buku tentang islam. Karya yang kali ini akan dibahas adalah salah satu cerpen beliau yang berjudul Dilarang mencintai Bunga-Bunga.

Metafora itu apa sih? Apa kegunaan metafora pada cerpen ini?

Sapardi Djoko Damono menyebutkan salah satu dari ciri utama teks sastra adalah metafora. Metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Metafora termasuk dalam majas yang memiliki fungsi untuk memberikan penjelasan, memberikan kemudahan bagi pembaca untuk memaknai dan menafsir atas suatu karya. Suatu karya dikatakan berhasil ketika pembaca memiliki penafsiran yang banyak dan berbeda-beda. Dengan adanya metafora ini pembaca meningkatkan kekayaan kosakata dan kemampuan berbahasanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam cerita pendek Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo sedang menekan konsep masyarakat tentang maskulinitas (sifat, perilaku, peran dan atribut seorang laki-laki). Tentang bagaimana seharusnya perilaku diri seorang laki-laki. Laki-laki yang senantiasa bekerja mengeluarkan peluh dan bekerja dengan otot, tangan yang harus kotor, dan wajah yang basah karena berminyak terkena sinar matahari. Jika tidak seperti itu maka bukanlah laki-laki.

Cerpen ini bercerita tentang seorang laki-laki bernama Buyung yang menyukai bunga namun ditentang keras oleh ayahnya. Bermula dari kepindahan keluarga Buyung ke kota. Rumah baru yang ia tempatkan bersebelahan dengan rumah pagar tembok tinggi yang hanya memiliki satu pintu anyaman bambu yang rapat. Buyung mendapat kabar dari orang sekitar bahwa ada seorang kakek yang menempati rumah tersebut namun tidak ada yang tahu pasti tentang siapa si kakek itu. Karena desas-desus yang didengar dari orang lain ia semakin penasaran dan mencoba mencari tahu dengan cara menaiki pagar tembok melalui pohon kates dipekarangan rumahnya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat ada banyak sekali bunga ditanami di rumah itu. Setelah hari itu keingintahuannya tidak pernah padam, berikutnya ia mengintip melalui celah pagar kayu yang memiliki lubang-lubang akibat perbuatannya.

“Kau kualat. Dia keramat.”  (hlm.3)

Gaya bahasa metafora dalam kalimat di atas terletak pada kata “kualat” yang berarti mendapat bencana (karena berbuat kurang baik kepada orang tua dan sebagainya) dan “keramat” yang berarti orang suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan.

“Bertanyalah tentang lokomotif. Jangan tentang kakek-kakek sebelah rumah” (hlm. 3)

“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan bolehlah. Tetapi, engkau laki-laki” (hlm.4)

“Untuk apa tangan ini, heh?”

“untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja. engkau bukan iblis atau malaikat. Buyung. Ayo, timba air banyak-banyak. Cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja. Tahu!” (hlm. 23)

Sebelum membaca cerpen ini dari awal hingga habis aku bertanya-tanya mengapa harus bunga yang dilarang untuk dicintai? Dan aku mendapat jawabannya seperti ini, ada berbagai cara yang dapat digunakan penulis untuk menyampaikan suatu maksud dengan cara tersirat. Cara yang digunakan Kuntowijoyo dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga memakai perbandingan (metafora).

Dengan metafora “bunga”, Kuntowijoyo memberikan makna penting bagi pembaca. Apakah laki-laki tidak boleh bertanya selain lokomotif yang memiliki kesan begitu jantan? Apakah hanya dengan bertanya tentang lokomotif ia baru bisa dianggap sebagai seorang laki-laki yang sebenarnya? Salahkah laki-laki mencintai ketenangan, keteguhan hati dan bunga-bunga?

Apakah hanya seorang perempuan saja yang bisa melakukan itu?

Standarisasi sang Ayah tentang maskulinitas sangat sempit hanya dengan bengkel-lokomotif-baju kotor-tangan kotor. Lalu apakah laki-laki juga tidak bisa mengeluh lelah dan merasakan ketenangan? Dari apa yang kita baca dalam cerpen ini, ketenangan itu hanya dapat dirasakan ketika kita bekerja sampai lelah. Ayah Buyung selalu sibuk dengan pekerjaanya dan ia mengatakan bahwa malas adalah musuh terbesar laki-laki. Di sisi lain, kakek memiliki pandangan yang berbeda jauh dari sang ayah. Kakek, tetangga sebelah rumah yang menjadi sahabat baiknya Buyung. Kakek dikenal dengan sosok yang baik, lembut tutur katanya, memiliki ketenangan, dan bekerja untuk merawat kebun bunga.

"hidup adalah permainan layang-layang." (hlm. 6)

"Ya, dunia ini indah seperti bunga mekar. Membuat dunia tenang. Ini dunia kita!" (hlm. 17)

Di sisi lain, kakek memiliki pandangan yang berbeda jauh dari sang ayah. Kakek, tetangga sebelah rumah yang menjadi sahabat baiknya Buyung. Kakek dikenal dengan sosok yang baik, lembut tutur katanya, memiliki ketenangan, dan bekerja untuk merawat kebun bunga. Kakek mengatakan hidup ditemukan dalam ketenangan, bukan dalam hiruk-piruk dunia.

Lalu kepada siapa buyung harus percaya? Ayahnya atau Kakek?

Dalam hidup, kadang kita melihat segala hal dengan hitam-putih. Arah mana yang akan kita jadikan pilihan dalam hidup, hitam atau putih. Kadang kita juga lupa bahwa hidup ini dinamis, tentu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Keadaan seperti apa? Antara hitam dan putih ada abu-abu yang juga merupakan warna.

Akan sulit bagi buyung untuk menentukan harus percaya kepada siapa dirinya. Dunianya yang masih abu-abu belum mengenal luas dan kerasnya dunia. Dalam hidup ini, entah sudah keberapa kalinya kita mengikuti standarisasi yang ada. Laki-laki harus bekerja, tidak boleh dirumah saja. Perempuan kodratnya itu jadi ibu rumah tangga, tidak perlu untuk bekerja.

Setelah membaca cerpen ini harusnya kita sadar bahwa sosok buyung ini adalah cerminan diri kita. Hidup yang selalu memberikan banyak pilihan. Jika kita tidak menyukai hitam, maka boleh kita memilih putih. Jika tidak menyukai hitam-putih maka pilihlah warna lain yang ada, bahkan ketika kita memilih tidak menyukai semuanya itu pun boleh. Sangat boleh. Dalam hidup tidak ada sesuatu yang sangat benar dan yang sangat salah, kecuali kita benar-benar meyakininya.

Akhir dari cerita bagaimanapun, aku adalah anak ayah dan ibuku.  

Ikuti tulisan menarik Naila Azalia Bahri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu